Problematika Sertifikasi Dunia Pendidikan

oleh: Teguh Wiyono

Pemerintah memberikan perhatian serius kepada lembaga pendidikan khususnya para pendidik. Pendidik mempunyai kedudukan sebagai tenaga professional pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Dengan adanya sertifikasi guru sebagai upaya peningkatan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan.
Pelaksanaan sertifikasi guru dimulai sejak tahun 2007 setelah diterbitkannya Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan. Landasan hukum yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan sertifikasi guru sejak tahun 2009, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Tahun 2013 merupakan tahun ketujuh pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan.
Tujuan pemerintah memberikan sertifikasi kepada mereka yang tergolong dalam satuan pendidikan, supaya mereka mampu bekerja dengan profesioanal dengan kompetensi yang dimilikinya dan mampu hidup layak dalam kehidupanya. Dengan syarat mereka harus mengajar dengan 24 jam yang sesuai dengan keahlianya selama satu minggu dan harus menyelsaikan 27 perangakat dalam pembelajaran.
Namun realita di lapangan terjadi berbagai problem, di antaranya: Pertama, mereka menggunakan berbagai cara yang kurang baik agar mendapatkan sertifikasi, misal memalsukan ijazah. Kedua, membuat perangkat yang serba copy paste. Ketiga, banyak para guru yang kurang memiliki rasa sosial dengan masyarakat sekitar, karena mereka sibuk dengan perangkat yang harus diselesaikan dalam setiap harinya.
Keempat, munculnya sifat kepala sekolah yang otoriter yang seakan-akan tandatangan kepala sekolah sangat penting sehingga bawahanya harus tunduk kepada atasannya. Kelima, adanya kesenjangan antara para guru, karena mereka merasa sama-sama mengajar dan mengabdi tetapi gajinya berbeda. Keenam, meningkatnya kasus perceraian antar guru yang disebabkan gaji istrinya lebih tinggi dari suaminya.
Ketujuh, meningkatnya penganguran di kalangan pendidikan yang baru lulus terutama fakultas sarjana pendidikan, karena para guru saling melakukan perjanjian dengan sekolah lain dengan “embel-embel” tidak digaji yang penting dapat tandatangan dari kepala sekolah, agar mencapai 24 jam perminggunya. Kedelapan, munculnya sifat-sifat materialisme di kalangan pendidik apabila setiap pekerjaan tidak ada gaji atau sedikit gaji tidak mau mengerjakan. Kesembilan, munculnya gap-gap antarguru.
Dengan melihat problematika tersebut tentunya para pendidik sudah sangat menyimpang dengan tujuan awal pemerintah memberikan sertifikasi kepada mereka yang tergolong dalam satuan pendidikan, supaya mereka bias lebih produktif dan professional dalam bekerja di lembaga pendidikan yang sedang dijalankanya untuk peningkatan pendidikan Bangsa. Tetapi mereka para pendidik sibuk dengan perangkat-perangkat yang harus diselesaikan setiap waktunya dan beranggapan agar dana cepat cair atau turun dengan tanpa menghiraukan lingkungan di sekitarnya.
Kehilangan arah yang dilakukan oleh para pendidik untuk menjadi profesional, yaitu tentang kompetensi yang seharusnya mereka miliki dan diterapkan, di antaranya komptensi profesional yang berkaitan dengan penguasaan teori keahlianya, kemudian komptensi pedagogik berkaitan dengan keahlian dalam penggunaan strategi atau metode ketika proses pembelajaran, selanjutnya kompetansi individu, seorang guru harus memiliki kepribadian yang suritauladan, dan yang terakhir komptesnisosial yang berkaitan dengan jiwa kemasyarakatan atau sosial yang dimiliki oleh seorang pendidik ketika hidup di lingkungan masyarakat.
Jika seorang pendidik memiliki keempat kompetansi tersebut dan dijalankan dengan penuh tanggungjawab, tentunya tidak akan terjadi berbagai probelmatika seperti yang terjadi di era sekarang yaitu kerusakan moral dan dis kepercayaan. Wajar saja jika beberapa pekan yang lalu media masa memberitakan tentang kerusakan moral para siswa, tentang video porno yang pelakunya siswa-siswi SMP Negeri 4 Jakarta.
Di sini tentunya hukum kausalitas berlaku. Karena gurunya saja bermasalah mana mungkin akan menghasilkan siswa yang berprestasi dan memiliki akhlak yang baik? Seperti kata pepatah tentang “guru, digugu lan ditiru”
Kita sebagai masyarakat berharap kepada para pemerintah dan pakar pendidikan segera membuat kebijakan dan evaluasi yang tepat untuk kemajuan bangsa Indonesia. Jangan sampai masyarakat menjadi tidak percaya kepada lembaga pendidikan dan sistem yang ada di dalamnya, karena bias mengakibatkan hancurnya suatu negara.

Penulis adalah Guru SMP Muhammadiyah 3, Purwokwerto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com