Warta Berita Pilu

Oleh: Ja’faruddin. AS

SIANG yang nyalang mulai meredup, menyambut lembayung kesumba senja. Aku masih melaju dengan segala kegelisahan yang menggua garba dalam hati. Meski dengan segenap kepenatan, aku merasa lega ketika sampai ke tempat ini. Tempat yang aku harapkan akan menjadikanku seorang pejuang, bukan pecundang. Mungkin di sini pula aku akan menguji kamu, menguji kata cintamu yang kau ikrarkan hanya untukku.

Seperti dunia yang asing, aku tak tahu harus berbuat apa saat malam pertamaku di sini. Aku hanya memandang bulan separuh purnama yang menyembul di pucuk langit. Itu yang selalu mengingatkanku akan dirimu dan kata cintamu. Setelahnya, aku harap bisa tenggelam dalam buai mimpi malam ini.

***

Tiba-tiba aku tersentak. Makhluk tanpa wajah sekonyong menyambangi, lalu menyerang bertubi-tubi tanpa kata-kata dan merampas berita yang baru sebagian ku tulis. Aku limbung, melihat tubuhnya bergetar hebat, ketika menyibak huruf- huruf dengan cakar mengkilat, dan mata merah menyala. Akupun terperanjat dan terus lari ke lorong waktu yang sepi, seakan tanpa tepi.

Setelah berhasil melarikan diri dari jaring kematian pada mimpi buruk barusan, aku memaksakan diri untuk bangkit. Dalam terjaga aku mengaduh pada malam perawan yang kini dadanya kugayuti dan bibirnya kulumati dalam ketakutan, di ranjang awan warna pasi. Itu membuat perasaanku menjadi sedikit lebih tenang.

Aku sempat mencari album dimana terpampang wajah mu, dengan senyum yang seolah ingin selalu menebar semangat. Tapi aku sadar, kau tak nyata berada di sini.

Kemudian, ku nyalakan laptop, benda yang selama ini seolah menjadi jantung keduaku. Tak terasa, malam hampir kuhabiskan di depan monitor. Aku terkejut melihat apa yang ku hasilkan. Entah kekuatan dari mana hingga bisa memunculkan kembali berita yang telah dirampok oleh makhluk misterius dalam mimpiku tadi.

Rasa takut kembali menjalar, sebelum makhluk itu datang lagi, kumatikan laptop, lampu, atau segala kegermelapan yang terkadang menebar virus amnesia di batok kepalaku. Kutengadahkan wajah yang akrab dengan keterjagaan, menyaksikan betapa malam semakin menyedihkan di balik selimut mayang-mayang cerlang, yang menentang bahu kelam di ufuk timur.

Asap rokok yang kusemburkan mengembara di udara, mengingatkan aku pada benih-benih gosong di jalan-jalan desa berpagar kendaraan lapis baja, senapan, dan bazooka. Di sana udara akan menyerpih seribu keping apabila dentuman bom, desingan peluru, melebur menjadi lautan darah dan air mata.

“Kang, tolong tuliskan berita tentang penderitaan kami di sini, agar para tentara menghentikan latihan perang di ladang kami. Kembalikan hak kami untuk menggarap lahan agar dapur kami tetap kebul dan anak istri tetap bisa makan,” jerit seorang warga di pesisir pantai selatan.

Sementara itu di seberangnya lagi, bukit-bukit telanjang, seonggok gunung api mati dan seberkas suara engah di bawah pesona pidato tokoh-tokoh partai politik di televisi, radio, majalah, dan koran, bercampur cita rasa debu pabrik yang menjadi tuba para buruh. Sebatang cangkul menganggur di tengah sawah serupa air mancur membatu.

“Mas, mohon beritakan nasib kami. Tanah kami di desa kering, tapi tak mampu jika harus membeli air. Tolong wartakan pula tentang upah kami yang terlalu murah di pabrik orang asing ini!” Begitulah sekilas wawancaraku dengan seorang petani asal desa berladang kerontang, yang terpaksa eksodus ke kota menjadi buruh di sebuah anak perusahaan Multi National Corporate.

Kalimat demi kalimat yang semula kurangkai, kini lindap sudah. Dalam rengkuhan embun akhir malam yang mencekam, aku menyimpulkan sendiri tentang makna sebuah hidup. Ternyata hidup hanya memaksaku untuk selalu bertanya-tanya.

***

“Mengapa batal kau tulis berita mengenai penderitaan rakyat itu?” Tanya rekan kerjaku di sebuah media dimana kini aku bekerja.

“Bukankah anda bilang wartawan yang baik harus menulis berita yang baik-baik pula,” jawabku menyindir.

“Tepat, bro. Ini titipan dari Pak Menteri,” ia sodorkan sehelai amplop putih yang kuterima dengan perasaan nyinyir.

Kawanku tersenyum sembari mengacungkan jempolnya. Dia puas karena aku tak lagi mampu menolak benda yang selama ini bagiku begitu menjijikan.
Dengan tersenyum pula dia melanjutkan menuliskan luapan kepuasannya di facebook dan tweeter melalui Blackberry barunya. Sesekali ia melirik hasil foto pada kamera DSLR yang masih terlihat kinclong.

Entahlah, lagi-lagi yang muncul dalam benakku adalah pertanyaan yang entah kutujukan pada siapa; mengapa manusia sekarang begitu sulit untuk membedakan antara benar, agak benar, sedikit salah, atau salah kaprah? Lalu pendidikan macam apa yang dihidangkan di sekolah-sekolah, universitas-universitas, institut-institut, kentut?! Perubahan apa pula yang dibuat para tokoh partai politik di tengah massa pecinta dangdut? Kentut!?

Akhirnya, kunang-kunang berparuh lahir di kening, membentuk sebongkah rasa pening. Ia mematuki ingatanku tentang kasus maling tewas di hajar massa, karena aparat terlambat datang. Tersangka tindak korupsi yang bebas tanpa syarat, makelar kasus yang tak tersentuh hukum. Keadilan yang pahit menimpa rakyat kecil yang mencuri harta para piyayi, cukong, dan rentenir demi menyambung hidup, divonis hukuman berat.

Korban bencana yang diekploitasi partai politik untuk meraih konstituen. Aparat negara yang tega merampok tanah rakyat di segala penjuru nusantara, masih merajalela. Gedung sekolah ambruk dan dibiarkan magkrak bertahun-tahun, sementara biaya pendidikan terus meroket. Buruh migran yang teraniaya tanpa pembela. Kebijakan yang tak populis dengan mengurangi subsidi rakyat kecil.
Segala kebobrokan penguasa, tentang prasasti sejarah negeri yang dicipta rezim-rezim gila dengan belulang, darah, dan air mata rakyatnya. Semuanya hanya tersimpan dalam hard disk untuk menunggu ajalnya.

“Hari ini kau dapat berita apa?” Tanya redakturku, seperti biasa.

“Bapak Bupati meresmikan bangunan rumah sakit dan memberikan bantuan mobil ambulance, kepala dinas pendidikan sosialisasi program pemberantasan buta aksara. Lalu, pak camat menghelat pertemuan dengan para kepala desa untuk sukseskan program-program Bupati,” jawabku sambil melirik amplop yang diselipkan seorang staff Bupati di saku jaketku.

Aku menutup kembali file sepenggal berita, yang entah kapan akan selesai kutulis.

“Bagus, pertahankan. Kalu nanti jadi ada iklan dari para pejabat itu, bulan depan gaji anda akan dinaikan. Semoga nanti malam anda bisa tidur nyenyak.” Kata redaktur sembari tersenyum.

Keesokan paginya dan seterusnya aku tak lagi menemui orang-orang desa, buruh, dan petani yang terus melata dibayang-bayang korupnya para penguasa. Aku hanya beranjak dari kantor ke kantor para pejabat, pengusaha, pemodal kapitalis, memburu dan menuliskan berita-berita pilu.

***

Aku melewati hari demi hari dengan kegelisahan, terpasung oleh segala kemunafikan zaman. Sekarang kau tahu, betapa aku kini benar-benar terjebak dalam kubangan yang anyirnya serupa kutukan. Tapi aku percaya, kau bisa menterjemahkan rencana-rencana dalam alam pikirku. Kau tahu aku pasti akan berontak dan melawan.
Kuraih album yang kau selipkan dalam ransel ketika dulu aku pamit meninggalkanmu. Kupandangi fotomu, berharap mendapatkan lagi semangat dari senyummu. Semangat untuk memberontak pada keadaan. Kau tahu, bagiku lebih baik menjadi tiada daripada harus dipaksa patuh kepada kemunafikan yang nista. Itu akan benar-benar aku lakukan.[]

Catatan:
– Penulis adalah wartawan, Direktur jogjakartanews.com
– Cerpen ini diambil dari Novelet “Bulan Separuh Purnama, karya Ja’faruddin AS, Cetakan pertama, Mei 2011, penerbit : Cupid Media Group Yogyakarta.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com