Budaya  

Biar Bisa Legowo, Nilai Tradisi Grebeg Perlu Dicontoh Para Capres

YOGYAKARTA – Bulan Ramadhan tahun ini yang bersamaan dengan momentum Politik Pilpres 2014 sedianya menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat Indonesia, khususnya warga muslim.

Namun sayangnya akibat klaim kemenangan kedua kubu Capres-Cawapres sebelum ada penetapan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), justru membuat hubungan massa pendukung di tingkat bawah, menjadi tegang.

“Pilpres di Bulan Ramadhan ini berkah luar biasa. Kita seharusnya sadar Pilpres bertujuan mulia untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik. Demokrasi Poso (Puasa) harus diterapkan, maksudnya kita semua bisa menahan hawa nafsu, termasuk ambisi kekuasaan agar tidak menimbulkan konflik paska Pilpres,” kata pemerhati budaya Jawa, Heniy Astianto, SH, kepada jogjakartanews.com, Jumat (18/07/2014) .

Pegiat kebudayaan di Taman Siswa Yogyakarta ini menjelaskan, seharusnya semua pihak lebih mementingkan persatuan demi masa depan bangsa yang lebih baik.

“Kalau dalam budaya kita (Jawa) , bahkan saat suksesi Raja, siapapun yang didaulat maka wajib dihormati. Selanjutnya raja dan rakyat bersinergi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera,” tukas Heniy yang direktur Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta.

Menurut Heniy, para Capres-Cawapres, pendukung, dan masyarakat Indonesia perlu mencontoh filosofi dalam tradisi grebeg atau berebut gunungan dari palawija dan makanan seperti nasi, telor, sayur-sayuran, dan buah-buahan yang biasa digelar masyarakat dan kraton Yogyakarta.

Filosofinya, kata dia, meski berebut secara fisik, namun yang diharapkan adalah satu tujuan kebaikan, yaitu ingin mendapatkan berkah. Selain itu, kata dia, apapun yang didapatkan, sedikit atau banyak, harus disyukuri. Lalu, imbuh Heniy, setelah selesai acara warga kembali bersatu tanpa menyimpan dendam.

“Semua orang yang berebut gunungan pasti inginnya mendapatkan banyak, tapi kan keinginan tak mesti sama dengan kenyataan. Dan yang perlu diingat, berebut gunungan kan ada konsensusnya (kesepakatannya) dimualai setelah didoakan dan diakhiri setelah disemprit. Inilah yang seharusnya ditiru dalam Pilpres. Cara memulainya mungkin ditiru tapi saat sudah selesai ternyata masih ada yang berebut. Ya salaing klaim kemenangan itu tadi,” ujar Heniy yang penulis buku Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal.

Lebih lanjut dijelaskan Heniy, grebegan yang sudah menjadi tradisi Kraton Yogyakarta pada hari kedua Idul Fitri untuk menunjukkan rasa terima kasih raja kepada rakyatnya atas keharmonisan hubungan mereka.

“Ini juga perlu menjadi pelajaran bagi siapapun pemenang Capres dan para pendukungnya, harus selalu memperhatikan rakyatnya, menunjukkan rasa terimakasih, dan selalu menjaga keharmonisan dengan seluruh rakyat Indonesia, meskipun dalam Pilpres mungkin bukan pendukungnya,” jelas Heniy. (yud)

Redaktur: Rudi F

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com