Perlu Intervensi Psikologi dalam Penanganan Korban Bencana

YOGYAKARTA – Peran psikologi dalam penanganan bencana mempunyai posisi yang penting dan strategis. Bukan hanya pada saat krisis, tetapi juga pada saat pemulihan dan konstruksi kembali. 

Psychological First Aid (PFA) dan psikologi krisis menjadi salah satu model intervensi yang biasa digunakan untuk melakukan intervensi kepada para penyintas.

“PFA menaruh perhatian yang tinggi akan adanya kelompok rentan, misalnya saja anak-remaja, perempuan, lansia, dan lain-lain, karena tentunya diperlukan pendekatan yang berbeda pada kelompok rentan tersebut,”  kata dosen Fakultas Psikologi UGM Ariana Marastuti, S.Psi., MSW dalam seminar “Intervensi Psikologi untuk Anak dan Remaja Penyintas” yang diselenggarakan oleh Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS), Jumat (26/09/ 2014) di UIN Sunan Kalijaga. 

Dikatakan Alumnus Washington University in St. Louis, Amerika ini, kelompok anak dan remaja mempunyai gejala dan manifestasi yang berbeda dengan kelompok dewasa ketika mengalami stress, depresi, atau mengalami depresi paska trauma saat menjadi korban bencana.

Ia menjelaskan, reaksi Anak usia 0-5 tahun terhadap bencana adalah ketakutan akan lingkungan sekitar, cemas perpisahan, reaksi panik, dan masalah tidur. Sedangkan reaksi anak usia 6-12 tahun adalah kesulitan belajar, masalah kecemasan, keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, perilaku agresif, dan reaksi depresi. Adapun rekasi usia remaja adalah perilaku merusak/membahayakn diri sendiri, terlibat dalam perbuatan beresiko tinggi, depresi dan cemas. 

Lebih lanjut Ariana memaparkan, ada sejumlah asesmen yang bisa digunakan untuk menilai kondisi anak dan remaja tersebut.

“Misalnya saja menggunakan skala SDQ ataupun menggunakan pendekatan bio-psiko-sosial asesmen,” ungkap mantan aktivis HMI UGM ini.

Selain itu, Ariana juga mengenalkan asesmen untuk anak dan remaja serta pengenalan model PFA kepada mahasiswa. Melalui pengenalan tersebut, mahasiswa paling tidak memahami konsep PFA dan pendekatanan intervensi pada anak-dan remaja penyintas, serta mampu menggunakan kemampuan asesmen dasar pada PFA. (pr)

Redaktur: Rudi F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com