Budaya  

Belajar Adil Terhadap Tradisi Sendiri dengan Memahami Wayang

BANTUL – Kendala bahasa tidak dapat dinyatakan sebagai kendala utama dalam memahami wayang. Meski wayang menggunakan bahasa Jawa yang sulit dipahami remaja, ungkapan-ungkapan wayang masih dapat dipahami melalui ekspresi lakon, alur cerita, dan teks pembanding seperti komik wayang.

Demikian disampaikan Jadul Maula, salah satu pembicara dalam seminar “Wayang dan Krisis Manusia Nusantara”, Senin (17/11/2014), di Pondok Pesantren (Ponpes) Kaliopak, Piyungan, Bantul, DIY.

Menurut Jadul, selama ini remaja dan masyarakat yang enggan belajar memahami wayang justru terlena dengan tradisi di luar dirinya. Tradisi rohani diri sendiri mestinya menjadi alat memahami kerohanian diri sendiri karena tiap manusia memiliki seribu cara menuju Tuhan.

“Ini tidak adil lagi terhadap tradisi sendiri. Ingkar pada tradisi sendiri. Kita punya tradisi rohani dan tidak mau mengarah kesitu. Kita malah keluar. Krisisnya itu. Jatidiri,” papar pengurus wakil ketua PWNU itu dalam keterangan pers yang diterima jogjakartanews.com, Senin (17/11/2014).

Pembicara lainnya, KH Yahya Tsaquf, menyatakan, wayang adalah cara berdialog antara Jawa dan Islam. Selama ini, ladang peradaban Jawa selalu mengolah seni wayang. Dengan demikian, menurut mantan Juru Bicara era Presiden Abdurrahman Wahid itu,  wayang merupakan bagian dari Islam itu sendiri.

“Ada hadis, Rasul, menyeru, bahwa Islam menyempurnakan ahlaq. Menyempurnakan di sana, secara maknawi bahasa Arabnya, berarti sempurna secara kualitatif,” kata Yahya.

Sementara itu, pembicara yang berasal dari kalangan akademisi, Heddy Shri Ahimsa, menyatakan bahwa masyarakat Indonesia selayaknya bersyukur karena hidup di tengah tradisi wayang. Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM itu, dalang merupakan pelaku seni yang sangat menarik dibanding pertunjukan seni lainnya.

“Tidak ada pertunjukan yang seperti dalang pertunjukan di dunia ini. Berdasarkan pengalaman saya, dalang itu harus melatih banyak jenis vokal, harus memadukan gerak, dan mengharmonikan visual serta suara dengan para pemain gamelannya,” ungkap dia.

Seminar ini diadakan dari bagian “Pekan Peringatan Pusaka Dunia (UNESCO 2003-2014)” yang diadakan oleh Pondok Pesantren Kaliopak dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gelaran ini akan diadakan hingga 6 Desember 2014. Keseluruhan acara diadakan di kawasan Ponpes Kaliopak. (pr) 

Redatur: Rudi F

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com