Ada Organisasi Wahabi yang Menentang Kekerasan dengan Mengatasnamakan Agama

YOGYAKARTA – Ajaran Wahabi tidak secara otomatis menyebabkan radikalisme atau diskriminasi terhadap perempuan. Sebagian besar Muslim Sunni radikal mengikuti ajaran Wahhabi, namun banyak organisasi “Wahabi” yang menentang kekerasan atas nama agama dan diskriminasi berbasis gender. 

Karena itu, menilai kelompok Wahabi yang selalu identik  kekerasan, intoleransi, fanatisme dan kebencian terhadap wanita merupakan generalisasi yang terlalu sederhana dan mengabaikan data mengenai gerakan Wahabi yang nir kekerasan.

Hal tersebut disampaikan oleh Pengajar UIN Sunan Kalijaga Dr. Inayah Rohmaniyah dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh Laboratorium Agama dan Budaya Lokal (LABEL) UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan AIFIS (American Institute for Indonesian Studies) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (18/11/2014).

Penelitian disertasinya berjudul “Multikulturalisme dalam Kebahagiaan dari Orang Towani Tolontang dan Orang Kajang di Sulawesi Selatan sampai Orang Wahabi di Jawa Tengah” menjadi landasan bagi alumnus  Arizona State University (USA) tersebut menolak pandangan sempit terhadap ajaran Wahabi. 

Pengalamannya meneliti di Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (PPMWI), Banyumas, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Wahabi tidak selalu menyebabkan diskriminasi berbasis gender atau melahirkan sistem representasi dimana kebencian terhadap perempuan (misoginis) menjadi simbol dominasi dan kekuasaan maskulin.

Menurut Inayah, dalam proses pendidikan di PPMWI, kaum perempuan juga terlibat dalam proses pendidikan, baik sebagai pengajar maupun pelajar. Bahkan siswa perempuan diperbolehkan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan di ruang publik, tetapi dengan syarat memakai jilbab atau kerudung untuk mencegah kekerasan seksual.

“Habitus dan praktek yang berakar pada pemahaman Wahabi dapat berperan dalam rekonstruksi identitas individu dan kolektif dan praktek yang nir-kekerasan, tentang hubungan antara kemanusiaan dan ke-Ilahian, nasionalisme Indonesia, dan budaya Islam Jawa,” pungkas pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam tersebut. (pr)

Redaktur: Rudi F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com