Ketika Menjalin Kasih dalam Sandiwara Cinta

Oleh: Moh. Husril Mubariq*

Judul: Astilbe
Penulis: Mufidatun Fauziyah
Tahun Terbit: Oktober 2014
Penerbit: de TEENS
Tebal: 224 halaman
ISBN: 978-602-296-034-8

“Bagaimana perasaanmu jika orang yang kau cintai bergandengan tangan dengan gadis lain? Sakitkah?” Potongan tulisan ini menjadi pengantar dalam novel Astilbe. Bagi sebagian orang, kalimat tersebut hanyalah bumbu fiksi yang dibuat penulis untuk memancing perhatian pembaca. Namun, bagi sebagian yang lain—termasuk saya saat ini—kalimat itu merupakan sesuatu yang dapat mencairkan perasaan beku, memancing emosi serta mempererat komunikasi batin pembaca dengan tokoh utama, Astilbe Valdemar.

Persoalan cinta tak pernah basi menjadi bahan perbincangan, apalagi bagi kaula muda. Sebab, segalanya di dunia ini ada karena cinta. Keberlangsungan hidup manusia tetap terjaga, itu karena eksistensi cinta masih terpelihara. Sebagaimana kisah cinta antara Astilbe bersama pemuda gagah bermata toska, Villads Adam. Kisah hangat dan menarik dengan cara mencintai yang unik. Sebuah karya fiksi remaja dengan tema cinta—sekali lagi saya katakan—menarik, untuk masuk dalam daftar bacaan para penikmat cinta.

Dalam hal percintaan, sepertinya menjadi sesuatu yang pasti, ada pihak yang tersakiti. Mufi—begitu Mufidatun Fauziyah dipanggil—menceritakannya dalam novel Astilbe ini. Ia menyajikan kisah rumit antara Astilbe Valdemar, Villads Adam, Miyana, dan Mikkel. Villads dan Miyana adalah sepasang kekasih usia dini di sebuah panti asuhan, di Denmark. Tapi keduanya berpisah lantaran Villads melanjutkan pendidikannya di Amerika. Namun meski demikian keduanya berjanji untuk bertemu pada tahun-tahun selanjutnya (setelah Villads pulang dari Amerika). Nah, di sinilah kisah pahit terjadi, dan harus ada yang tersakiti, setelah Villads mengalami amnesia.

Pada kondisi hilang ingatan, hal itu dijadikan kesempatan bagi Astilbe untuk melabuhkan cintanya yang sebenarnya sudah tumbuh waktu Villads masih kecil. Villads dan Astilbe pun menjalin kasih dalam sandiwara cinta. Sementara, Miyana tetap setia menunggu kehadiran sosok Villads yang dulu pernah berjanji untuk menemuinya. Menunggu, menunggu, dan menunggu hingga ia seringkali mendatangi panti asuhan yang menjadi tempat tinggalnya bersama Villads. Siapa tahu ia dapat menemukan Villads di sana, kira-kira begitu ia berharap.

Menunggu seorang kekasih, bukan hal yang menjenuhkan bagi Miyana. Sambil menunggu kedatangan Villads, ia menjalani hari-harinya dengan bekerja di kebun bunga milik Silke Valdemar, ibu Astilbe. Di sinilah Mufi Sang Penulis kelahiran Sleman, 20 Agustus 1993 ini membuat jalan cerita para tokoh penuh tanya. Siapakah Astilbe bagi Villads? Siapakah Villads bagi Astilbe? Siapakah Villads bagi Miyana? Dan, peran tokoh sebagai siapa Mikkel di antara mereka?
Mufi meracik novel Astilbe dengan bahasa yang sederhana. Kisah cinta yang rumit, dengan kesederhanaan bahasanya, namun mudah dipahami dan dicerna sehingga apa yang hendak disampaikan mudah ditangkap. Pembaca tidak dibuat rumit, serumit kisah cinta antara Astilbe, Villads, Miyana, dan Mikkel. Tapi, justru semakin tertarik untuk menuntaskan kisah novel setebal 224 halaman tersebut.

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Mufi menyiratkan pesan peribahasa tersebut dalam novel Astilbe. Dalam menjalin kasih, tak selamanya bisa berdusta. Apalagi terus berpura-pura. Kita dapat melihat pesannya prihal kebohongan tak akan abadi dalam kalimat ini, “Tak ada topeng yang dapat menutup kebohongan dari kebenaran. Dan ketika kebenaran datang, dengan topeng terasa telanjang.” (hlm. 217-218).

Benar, kebohongan tak bisa ditutupi. Sedalam apapun menyimpan bangkai, akan ketahuan juga bau busuknya. Serapi apapun merahasiakan kebohongan, pada akhirnya akan terungkap. Dan akan berakhir dengan sakit hati yang mendalam, penuh penyesalan. Astilbe memang mencintai Villads. Tapi, demi mendapatkan apa yang diinginkan, ia rela melakukan apa saja. Ia rela berbohong dan berpura-pura mengaku sebagai kekasih Villads. Menjadikan kondisi Villads yang hilang ingatan sebagai kesempatan. Namun, sungguh kebohongan tak bisa ditutup-tutupi. Dengan pelan tapi pasti, Villads dapat mengembalikan memori otaknya yang hilang. Villads dapat mengingat semuanya. Astilbe pun tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyesali perbuatannya dan merasakan sakit dalam hatinya. Astilbe berusaha menerima kenyataan dengan ¬¬mengatakan, “Berpura-pura itu menyakitkan….” (hlm. 190).

Berikutnya, keadilan datang menghampiri kisah mereka. Ingatan Villads kembali pulih. Villads pun lepas dari catur permainan dan sandiwara cinta Astilbe. Bagaimana dengan Miyana dan Mikkel? Apakah Villads akan merebut Miyana darinya? Ah, saya bilang, kisah cinta di antara mereka memang rumit. Villads dan Miyana hanya menjadi korban. Dan, Mikkel tak kuasa mempertahankan Miyana, sebab sebenarnya ia mendua. Alhasil, cinta sejati membuat Villads dan Miyana melanjutkan kisah yang sempat terputus.

Berbohong adalah hal tak baik. Berpura-pura merupakan hal tak terpuji pula. Berbohong dan berpura-pura dalam sebuah percintaan hanya akan menyakiti; menyakiti diri sendiri lantaran tersiksa dan tertekan dengan keadaan, dan bisa menyakiti orang lain karena “dibodohi”. Berbohong dan berpura-pura adalah sebuah bentuk mengubah diri sendiri menjadi orang lain. Di sinilah penistaan terhadap “cinta” terjadi. Kesucian cinta dipermainkan. Keagungan cinta dilecehkan. Dengan karyanya ini, Mufi berupaya menebar pemahaman bahwa setiap orang harus mempunyai pendirian dan teguh memegang prinsip. Lihatlah kutipan berikut, “Ya, jadilah dirimu sendiri. Jadi ketika kelak seseorang mencintaimu, kau tak perlu takut seseorang tahu siapa dirimu.” (hlm. 218).

Jadi, seseorang tak harus menjadi orang lain. Tetaplah percaya pada kemampuan diri sendiri, dalam hal apapun, termasuk dalam menjalin tali kasih. Bahagia dan derita dalam percintaan mesti ada. Kebahagiaan tumbuh karena satu sama lain bisa mempertahankan eksistensi cinta dengan saling mengerti dan saling memahami satu sama lain. Sementara, derita bisa saja datang sewaktu-waktu. Dan, tidak menutup kemungkinan bahwa derita bisa “bersemi” lama karena ditinggal sang kekasih. Tapi sebenarnya kita tak perlu khawatir dan bergundah kalbu setelah berpisah dengan seseorang yang kita cinta—yang sesungguhnya mungkin tidak mencintai kita. Yakinlah bahwa apa yang disampaikan Mufidatun Fauziyah dalam novel Astilbe-nya ini benar, “Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Ketika kau ditinggal seseorang, itu artinya akan ada seseorang yang lebih baik membuka pintu dan masuk ke dalam hidupmu.” (hlm. 11). Semoga. Wallahu A’lamu bi al Shawab!

* Kru Duta Santri PPA. Lubangsa Selatan dan Mahasiwa Instika Guluk-Guluk Sumenep

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com