Kesaksian Daun Cendana

Cerpen Oleh: Fitria Fadilah Anggarini

Aku masih dalam lamunan. Kala senja mulai merangkak. Masih terngiang di benakku, untaian kata-kata indah yang beruntai jatuh dari bibir tipismu.

“Dik… coba deh berhijablah! Kau sudah dewasa, Dik! Lingkarkan kain ini di kepalamu. Lalu tunjukkan kesungguhanmu bahwasanya kau adalah akhwat yang indah bagai mutiara di permukaan samudera.” kata Kak Ratih sembari merapikan kain segiempat ini di kepalaku. Ia lalu meneruskan wejangannya itu, “Jangan menjadi bunga di tepi jalan yang begitu murah dijajakkan untuk memanjakan mata lelaki, bahkan sangat mudah dijamahi.” Menit berikutnya, ia letakkan bros bunga ungu di samping kepala kiriku. Tepat di atas telingaku. Ia rapikan jilbab yang ia kenakan padaku, sembari berbisik merdu,

“Dik… coba lihat! Kamu cantik pakai jilbab seperti ini.” Senyumnya mengembang.

Seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhku yang penuh peluh. Di pembaringan ini aku memutar kembali rekamanku akan dirimu. Aku begitu iri denganmu. Parasmu jauh lebih ayu dariku. Pembawaanmu setenang air telaga tak berpenghuni. Tutur katamu lembut, dan kau pandai membawa diri. Dan aku kagum padamu Kak. Kini, aku masih sendiri dalam ruang kontrakanku dan kakakku ini. Ruang sempit yang kami tempati hanya berdua setelah kami menyandang pedihnya makna ‘yatim piatu’. Kak Ratih belum menampakkan tanda-tanda kemunculannya. Jiwaku mulai kembali memanggil memori masa lampau. Almarhum ayah ibuku selalu memintaku untuk mengikuti jejak kakakku. Satu hal yang belum kutunaikan, yaitu adalah permintaan almarhum orang tuaku untuk mulai berhijab seperti kakakku.

Tapi entah… Rasanya aku tak leluasa mengekspresikan diri. Satu hal lagi yang miris adalah aku tak punya cukup uang untuk membeli seragam sekolah panjang. Terlebih, ini sudah menjelang Ujian Nasional dan akan lulus. Aku masih menunda harapan itu.

Debu kota ini masih meracau nakal di depan hidungku yang terasa sesak dipenuhi ribuan butiran pasir kering. Ia terkoyak kecepatan kendaraan bermotor. Melaju tanpa permisi dan santun. Bagai hidup yang kini menuntut jiwa-jiwa kami untuk berusaha menyambung segala nafas. Jalanan inilah saksi hidup… Aku benar-benar tak kuasa menahan amarah, emosi, dan merasa benar-benar terhentak, ketika di seberang jalan kutemui sosok wanita yang kukenal.
Perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan. Ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam petikan gitar, lalu ia hentakkan tarian yang gelap dan mistis. Segerombolan lelaki melata di atas perutnya… Mengukur berapa lelah keringat pendakian itu. Perempuan itu membangun surga dalam genangan air mata… Menciptakan sungai sejarah… akankah ia abadi? Tanyaku memenuhi ruang sesak dalam dada. Jiwaku tergoyahkan, dan sungguh… hidupku penuh dengan nestapa. Perempuan itu adalah wanita yang sebelumnya aku kagumi. Sosoknya anggun menawan. Sebelumnya ia yang mengajariku arti wanita yang dalam Islam. Sebuah mutiara di permukaan samudera. Dan masih kuingat, ia memberiku teladan dari sisi hidupnya padaku.

Tapi yang ku lihat saat ini lain. Ada pemandangan yang mengusikku kini. Ya… Kakak perempuanku yang anggun itu tengah menari di antara riuh lelaki-lelaki tak tahu diri. Aku geram. Kudekati ia yang berada di sudut remang kota ini.

“Kak Ratih! ”

Ia menghentikan tariannya sejenak. Mencari asal suara, kemudian menatapku tajam. Alunan musik pop picisan itu tiba-tiba dihentikan sesaat setelah kakakku berlari menujuku. Ia menarik tanganku keras. Tubuhku ia dorong di sudut gang sempit dekat tempat hina tadi.

“Apa yang Kakak lakukan? Benarkah apa kata orang? Muak aku mempercayai Kakak yang ternyata menjijikkan!”

Matanya mulai membulirkan titik air di sudut matanya. Mulutnya seakan ingin mengeluarkan kata-kata, tetapi tercekat pita suara yang mengerut emosi tumpah-ruah. Hingga hanya diam yang tercipta. Diam sesal di hatinya. Diam kecewa di hatiku.

Senja ini berhujan. Setidaknya penat dan peluhku sedikit berkurang karena suasana mulai mendingin dengan rentetan hujan yang merintik lambat dari awan kota ini. Aku mulai menghitung rupiah yang mengalir di tanganku.

“Dua puluh enam ribu lima ratus rupiah”, bisikku malu, takut terdengar matahari yang mengintip di balik awan mendung. Sepertinya aku cukup beruntung hari ini. Bermodalkan kemauanku mencuci piring di warteg sisi balai serbaguna dan tekadku mengajari anak tetanggaku, aku dapat rupiah. “Alhamdulilah… ” Ku munajatkan syukurku setelah ku rebahkan tubuhku di atas kasur lapuk. Aku masih teringat kejadian tempo lalu. Selama ini aku enggan bertegur sapa dengan kakakku. Tanyaku pun jua belum terjawab. Ada kecewa mendalam padanya. Pikiranku mengawang… Entah apa sebenarnya yang kakakku lakukan selama ini?

Dari riuh gemericik air hujan yang ku dengar. Aku dengar pintu diketuk. Kakakku terlihat lesu. Jilbabnya basah. Begitupun pakaian yang ia kenakan. Aku tenang kakakku telah pulang, meskipun ada pemandangan mengganjal di depanku. Aku coba buatkan secangkir teh manis hangat untuk sekadar mengurangi kisut wajah lelah kakak tercintaku ini. Detik berikutnya ku segerakan menempatkannya di meja samping ranjang. Ku lihat Kak Ratih merebahkan tubuhnya.

“Kak, diminum dulu tehnya. Kakak belum ganti pakaian khan? Tuh di dus merah, dah Rini siapin baju buat Kakak. Rini pergi dulu ya Kak… Ada panggilan nyuciin baju Bu Asih.  Nanti pulangnya, Rini mau ke rumah Pak Hamid ngurusin pendaftaran kuliah. Doain lancar. Assalamu’alaikum…” Ujarku sembari menutup daun pintu. Tak ada jawaban. Tapi aku yakin, Kak Ratih pasti mendoakan kebaikan untukku.

Waktu menunjukkan jarum pendeknya di angka 9 malam. 13 menit lebihnya. Aku mengetuk kayu lapuk pintu kontrakanku.

“Assalamu’alaikum…” Hening tanpa jawaban.

“Assalamu’alaikum…” Kali ini dengan nada tinggi disertai tekanan di akhir kata salam. Masih tak ada jawaban… Kucoba membuka pintu. Ternyata tak dikunci. Kakakku tertidur pulas. Aku menatapi wajahnya yang penuh cerita… Pucat… Kupandangi lebih dalam. Betapa pun jua, aku sangat menyayanginya. Hanyalah ia satu-satunya harta yang kumiliki saat ini. Setelah kedua orang tuaku menghadap-Nya. Kakaklah yang banyak memberikan arti hidup padaku. Ia pulalah yang menegakkan semangatku untuk tetap bersekolah dan mengukir prestasi. Aku begitu damai, jika ia tersenyum bangga padaku.

Tiba-tiba aku teringat. Pakaian kakak yang basah tadi masih melekat di tubuhnya. Mengapa ia tak menggantinya? Pasti ia kedinginan. Secapek itukah kakak? Hingga ia tak mengganti pakaian basahya tadi? Sesaat kemudian ku goyang-goyangkan tubuhnya.  Ia terlihat kaku. Sangat kaku… Wajahnya pucat. Kudengar ia mendengus panjang sekali. Tangannya dingin.

“Kak Ratih… Kakak sakit ya?” aku mulai panik

“Ambil ini Sayang…! Lailaha ilallah… Muhamadun Rasulullah…” ia mendengus panjang lagi dan memberikanku secarik amplop.

“Kaaaaak… Kakaaaaak…!!!” Aku menangis dan berteriak sejadi-jadinya.

Sore ini, pohon cendana tanah merah menyanyikan lagu sendu. Dawai-dawai violin tak lagi indah terdengar. Lantunan ayat Allah Surat Ali ‘Imran ayat 145 terdengar lirih merdu menyayat qalbu. Angin itu masih kurasakan dengan sentuhan khasnya. Pohon cendana jadi saksi. Saat angin mulai mengibaskan jilbab hijau pemberian Kak Ratih. Ya… Aku bulatkan tekadku untuk berhijab. Bulir air mataku tak dapat kubendung. Maafkan aku Kak Ratih…

Tanganku gemetar sambil memegang erat beberapa lembar kain seragam lengan panjang dan jilbab-jilbab cantik dari Kak Ratih. Di tanganku yang lain, aku buka secarik kertas berwarna pelangi goresan tanganmu. Cendana tua yang membaca isinya. Daun-daun cendana tua berguguran seiring air bening di sudut mataku merintik berjuntai menggariskan makna sesal di garis pipiku. Daun-daun cendana bersenandung dan berkisah. Ia saksi segala runyam yang didera Kakak tercintaku Ratih Jasmina. Bersama gulungan daun cendana inilah. Beberapa helai rupiah ia kumpulkan demi ambisiku. Aku menangis… Ia jual mahkotanya, ia jual hidupnya, hanya daun cendana yang berkisah dengan isak. Riuh redam suara gemuruh napasku kian tercekat.

Yang kuingat saat itu, gundukkan tanah merah di hadapanku adalah kisah akhir yang membuatku menjaga arti hijab. Membuatku memaknai tutur daun cendana bahwa Kakak tercintaku melakukan semua demi aku yang berambisi melanjutkan hidup agar tak sekelam kini.

Hatiku terhenyak. Hancur dan menjadi kepingan-kepingan kecil saat kubaca goresan tangan Kak Ratih untukku. Betapa pun aku bersalah. Karena ku tak peka terhadap derita yang ia dera. Tiba-tiba pandanganku memudar. Hitam dan pekat. Kemudian garis-garis biru, hijau, ungu muncul. Dan aku tak sadarkan diri. Yang kuingat saat itu… Kak Ratih mengenakan pakaian putih bersih. Ia berjilbab panjang dengan melati-melati yang mengelilinginya.

Bersama daun-daun cendana yang menjatuhkan dirinya. Gemuruh angin sampaikan arti. Selembar kertas putih berisi penerimaan calon mahasiswa kedokteran sebuah Universitas ternama di kotaku meliuk terbawa angin… menuju genggaman tangan kaku Kak Ratih di hadapanku.

“Ini hadiah pula untukmu Kak”, bisikku… dan aku merasa damai… Angin membelaiku… daun cendana menari untukku.

*Cerpenis, Lahir di Kota Bandung pada tanggal 7 Maret 1996.Fitria mulai hobi menulis ketika menginjak usia remaja.Dia begitu produktif menghasilkan cerpen maupun catatan harian yang nyaman untuk di baca.Bahkan sekarang dia sedang dalam proses menyelesaikan novel fiksi pertamanya. Saat ini Fitria adalah Mahasiswa Fakultas Biologi Unsoed angkatan 2014.Selain aktif menulis di blog pribadi dia juga aktif di beberapa organisasi.Fitria kini menjadi kontributor Buletin Kopkun Korner dan Manager Program Kopkun Radio.Selain itu tercatat sebagai anggota Paguyuban Mahasiswa Anak Transmigran (PMAT).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com