Di Penghujung November

BUKU KECIL bersampul tebal berwarna krem pucat, sebuah nama tertera diatasnya Haruki Murakami. Aku tidak terlalu menyukainya, karena ia terlalu banyak menulis tentang senja, tapi aku tertarik membaca keburaman-keburaman pikirannya. Terutama tentang cinta.

Di dunia nyata, beberapa penyair sering mengatakan bahwa Cinta tidak membutuhkan alasan, sebab cinta itu sendiri adalah alasannya. Ironisnya, ketidakbutuhan cinta akan alasan selalu membawa orang-orang yang mencintai terjebak dalam kebingungan yang tidak terjelaskan, bahkan oleh sajak-sajak Gibran.

Seminggu yang lalu aku berpikir untuk menulis sesuatu yang ada di kepalaku, entah, cukup rumit karena yang akan aku tulis ternyata ada di dadaku. Bagaimana menggambarkan perasaan melalui tulisan, mungkin ibarat menggambar angin; menuliskan sesuatu yang tidak ada dan juga tidak rasional. Ya, cinta memang irasional. Mungkin itulah alasannya kenapa para penyair sepakat cinta tidak memerlukan alasan.

Entahlah, cinta terlalu merepotkan, membuat perkiraan kita yang biasanya akuratif tak lebih hanya candaan yang kelak ditertawakan oleh waktu. Cinta memang benar-benar tidak pasti.

***

Aku ingat, itu adalah satu tahun yang lalu, waktu dimana aku bertemu seseorang yang hanya dengan keluguannya membuat diriku tersenyum sendiri. Rumit memang untuk dijelaskan, sebab seseorang yang mencoba menjelaskan perasaannya, berarti ia sedang menjelaskan kehampaan. Dan secara teori, itu tidak ada.

Aku mengenalnya, seperti aku mengenal waktu. Mungkin hanya sekilas tentang siang dan malamnya. Ia membuat pikiranku rumit, memahaminya seperti berusaha memahami gelombang laut yang membentuk dirinya menjadi tirai raksasa dan lalu menghempas butir-butir pasir pantai yang bergirang-gemirang.

“Rar, aku sepertinya menyukainya..” Kataku malu-malu pada sahabatku Irar. Mataku tidak terlepas dari perempuan di seberang sana yang sibuk dengan buku tebal berwarna biru di tangannya.

“Dia..?” Irar sedikit terkejut, ia menodongkan matanya ke arah perempuan itu.

“Iya. Dia!” Aku meyakinkan sahabatku, lalu menunduk.

“Lulu, Lulu.. Kamu tuh ya, kalo suka ya bilang sama dia, kenapa harus sama saya..?” Irar menertawakanku, sejenak kemudian ia memukul pelan punggungku,

seperti sebuah komando untuk membimbingku melaksanakan sarannya.

“Entahlah Rar, aku tidak mau mengatakannya..” Jawabku singkat, lalu kembali memandangi perempuan itu yang masih serius membaca buku di tangannya.

“Hmm.. Ya sudah..!” Singkat Irar acuh.

Beberapa saat kemudian, perempuan itu dihampiri temannya, mereka lalu bergegas untuk pergi dari tempat itu, pelan, menghilang dari pandangan kami.

Ya, perempuan itu, aku semakin sering melihatnya di taman tempat kami biasa beristirahat melepas penat. Semakin sering aku datang, semakin sering aku melihatnya, diam-diam aku memperhatikannya. Lalu seperti biasa, aku selalu tersenyum. Sebuah hal yang tidak mampu aku jelaskan kenapa. Ini rumit, sebenarnya kita sudah saling mengenal, aku juga sudah akrab dengannya, tetapi suasana hati membuat semuanya berubah. Rasa yang sedemikian membingungkan ini justru membawaku menjadi seperti orang asing untuknya.

Berbeda dengan sebelumnya, aku selalu tidak tahu harus berbuat atau berbicara apa jika berada dekat dengan dirinya. Ini memang terlihat lebih aneh dari sekedar mendapati embun yang terperangkap diatas daun talas dan tidak menguap hingga senja.

***
Dan, suatu siang dengan gerimis yang jatuh seiris demi seiris di atap rumbia, seperti biasa aku dan sahabatku Irar duduk merenungi kehidupan masing-masing.

“Lu, kamu ungkapkan saja, aku kasihan kamu seperti ini” Irar Kantari, sahabatku merasa iba. Nampaknya ia telah sampai pada puncak kepeduliannya.

“Aku juga bingung Rar, itu tidak terbersit dibenakku” Jawabku singkat, lalu menunduk pelan.

“Kamu tidak biasanya seperti ini Lu, dulu, jika kamu menyukai seseorang, kamu pasti langsung bilang ke orangnya. Kamu yang aku kenal adalah kamu yang selalu berkuat usaha untuk mendapatkan semua keinginanmu.” Irar berpanjang lebar.

“Aku juga berharap bisa seperti itu Rar, tapi sayangnya ini berbeda, entah kenapa.” Jawabanku mungkin semakin membuat Irar kebingungan.

“Ceritakan, apa yang ada didalam pikiranmu saat ini!” Sahabatku itu mendesakku menuju substansi.

“Kau tahu Rar, terkadang cinta itu tidak harus diungkapkan.” Jawabku sekenanya.

“Ah. Aku tahu bukan itu. Ceritakan!”

“Hmm.. Begini Rar, didalam prinsip kimia, dua unsur hanya dapat bersatu apabila ada sifat diantara keduanya yang tidak saling bertolak belakang”

“Lalu?”

“Lihatlah dia, lugu, cantik, cerdas, gadis baik-baik. Sementara aku, laki-laki rumit yang sering bermain perempuan.”

“Kata orang, cinta itu dapat merubah seseorang Lu, aku yakin apapun itu, ia sudah merubahmu. Kamu hanya perlu merubah dirimu menjadi lebih baik lagi. Buatlah dirimu pantas untuk dia. Kamu harus menjadi orang baik seperti dulu.” Kata-kata Irar sangat meneduhkanku. Seperti biasa, sahabatku itu menepuk pelan punggungku.

“Ya, karena itulah, aku mencoba menjadi baik dengan tidak mengungkapkan perasaanku padanya. Cukuplah seperti ini Rar”

“Itu bukan pilihan Lu!, Kamu membawa kerumitan menuju sekat paling terakhir dari pertahanan jiwamu. Kau tahu, kenapa di penghujung November orang-orang di kepulauan Solomon selalu melakukan ritual menebang hutan sebagai manifestasi dari pemikiran mereka yang apatis terhadap perjalanan waktu? Itu karena mereka hanya melihat waktu secara matematis. Padahal perhitungan tidak selalu mutlak. Mereka tidak tahu kalau waktu itu relatif.”

“Maksudmu, Rar?”

“Maksudku, kamu jangan terlalu terobsesi dengan pemikiranmu. Bangun kembali keyakinanmu. Cinta itu tidak lebih rumit dibanding rumitnya orang-orang Solomon memperkarakan waktu.”

“Hmmm…”Aku hanya bisa bergumam kebingungan.

“Intinya, semua itu sederhana. Jika kamu merasa tidak memiliki pilihan, kamu bisa menciptakan pilihanmu sendiri kok.” Kali ini Irar membuatku merenungi kata-katanya.

Lalu siang semakin turun, langit menjadi kelam dan senja lebam dalam guyuran hujan lebat. Kilat menjilat sambung-menyambung seperti ingin membakar langit. Dalam perenungan yang sedikit lebih dangkal, tubuhku pasrah pada tempias hujan yang secara kejam dihujamkan awan berbentuk cendawan.

Dalam gerak lambat, mataku yang basah menangkap bayangan perempuan itu. Bagiku, dengan menggunakan sudut pandang orang-orang Solomon, dia adalah gadis di penghujung November. Mungkin selamanya akan seperti itu.

***

*Penulis adalah Muhammad Guntur, Mahasiswa FS, Unkhair & Duta Bahasa Provinsi Maluku Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com