Meneladani Pangeran Benawa, Tinggalkan Takhta Demi Stabilitas Negara

BERKACA pada sejarah masa silam, banyak pemimpin-pemimpin yang sebenarnya layak untuk dicontoh keberhasilannya dalam mengatasi krisis seperti yang dialami Bangsa Indonesi saat ini. Para pemimpin itu telah lahir sebelum Indonesia merdeka, bahkan pra penjajahan. Namun, nampaknya suri tauladan inilah yang tak lagi diindahkan oleh para pemimpin bangsa ini, sehingga laksana tak ada lagi jejak-jejak bangsa besar dan pemimpin besar di bumi Nusantara ini.

Dahulu kala ada pemimpin yang rela melepaskan tkhtanya demi stabilitas negara dan kemakmuran rakyatnya saat terjadi gunjang-ganjing politik dan ekonomi di negaranya. Dialah Pangeran Benawa, putra mahkota dari Sultan Hadiwijaya atau Mas Karebet, atau disebut Joko Tingkir, Raja Pajang.

Pangeran Benawa adalah figur putra raja yang tulus ikhlas. Dia menjadi raja Cuma sebentar. Berhubung banyak orang yang berambisi untuk menjadi penguasa, dia malah rela untuk menjadi pertapa saja. Takhta diserahkan kepada kakak angkatnya, Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati (putra Ki Ageng Pemanahan), yang dianggap punya moralitas, kapasitas, profesionalitas, dan integritas (Purwadi:2008).

Pangeran Benowo turun gunung setelah ayahandanya wafat pada 1582.  Ia hanya memerintah Pajang yang bukan lagi kerajaan besar, karena Sutawijaya kakaknya memindahkan takhta Pajang Ke Mataram. Itu membuktikan bahwa Pangeran Benowo bukanlah pemimpin yang haus akan kekuasaan dan menduduki takhta karena amanah ayahanda dan rakyatnya.

Dalam versi berbeda (dalam Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi), keutamaan sifat Pangeran Benawa yang lembut hati dan tidak haus kekuasaan adalah ketika ditugasi ayahnya untuk mengetahui loyalitas Sutawijaya terhadap kerajaan Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.

Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban yang berlaku tidak baik. Hal itu membuat Arya Pamalad murka dan mengajak rombongan pulang.

Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan, bahwa Sutawijaya berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan hal yang objektif tentang kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.

Meski akhirnya Mataram terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Hadiwijaya, Benawa tetap memposisikan sebagai negarawan sejati yang mementingkan rakyat. Ia yang seharusnya naik takhta rela disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri (Adipati Demak). Benawa kemudian menjadi Adipati Jipang Panolan. 

Namun melihat ketidak adilan rezim Arya Pangiri, hingga rakyat menderita, pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri. Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.

Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak.

Benawa lagi-lagi menunjukkan sebagai pemimpin yang tidak bernafsu kekuasaan dengan menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Prabuwijaya (Purwadi:2007).

Dalam catatatan Amien Budiman pada babad tanah jawi, pangeran benawa hanya bertakhta selama satu tahun. Ia  memilih menyingkir dari hiruk pikuk politik perebutan kekuasaan, berkelana untuk berbuat kebaikan untuk rakyat jelata dan akhirnya bermukim di Hutan Kukulan  Kendal Jawa Tengah, hingga wafat. 

Kisah Pangeran Benowo itu tentu layak menjadi suri tauladan bagi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi JK) saat ini, demi menyelamatkan bangsa. Sebab, rakyat resah dengan terdepresinya mata uang Rupiah terhadap Dollar yang berimbas pada suramnya iklim investasi dan dunia usaha, ancaman PHK Buruh, harga-harga kebutuhan pokok yang kian melambung, ditambah kegaduhan politik, serta  ketidakpastian penegakkan hukum. Kejahatan atau kriminalitaspun merajalela. Kondisi itu kian memunculkan suara-suara teriakan sumbang rakyat agar Jokowi-JK mundur dari jabatannya.  Tak hanya melalui media sosial (Medsos), bahkan aksi turun ke jalan kerap mewarnai halaman istana negara di Jakarta, seperti yang terjadi hari ini. Bahkan kian santer provokasi di Medsos, pada 30 September mendatang akan ada gerakan massa besar untuk menumbangkan rezim Jokowi-JK yang dinilai telah gagal.

Sayangnya, selalu saja teriakan agar penguasa turun selalu dipolitisir, diopinikan sebagai teriakan tidak puas lawan politiknya. Memang bisa saja para politisi oportunis memanfaatkan situasi, mengklaim, namun teriakan rakyat tetaplah dari rakyat. Kepentingan rakyat jelas berbeda dengan kaum oportunis. Istilah Vox Populi Vox Dei (kehendak rakyat adalah kehendak tuhan) barangkali memang bukan firman Tuhan, namun setidaknya ada bukti dan kebenarannya. Jika rakyat sudah teramat menderita, lalu bersatu dan melawan penguasa dzalim, maka rakyatlah yang akan menang. Tak kurang contoh-contoh yang membuktikan hal itu.

Refleksi ke belakang mungkin bagi banyak orang tidak penting, melankolis. Namun, ia sangat penting sebagai proses perekaman sejarah agar ia tidak diselewengkan oleh penguasa berikutnya. Sejarah perlu dicatat oleh semua masyarakat kita, agar ia tidak putus di tengah jalan, sebagaimana kita saksikan dalam perjalanan sejarah Indonesia dari masa Orla ke Orba ke Orde Reformasi. Sejarah akhirnya hanya menjadi miliki jenderal pemenang perang. Ia-lah satu-satunya pihak yang berhak menyatakan kebenaran (Benny Susetyo: 2004).

Pangeran Benowo layak dicontoh Jokowi-JK, ia pemimpin yang legowo melepas kekuasaan demi ketentraman negara dan rakyatnya, dan berkuasa demi menjalankan amanah rakyatnya. (*)

*Penulis adalah Ari Baskoro, pecinta budaya Jawa, tinggal di Yogyakarta.

Respon (1)

  1. Yang namanya sejarah, kadang ada beberapa versi yang berbeda. Ada yang memang berdasarkan catatan silailah yang memang masih terjaga keasliannya, ada pula versi cerita dari mulut ke mulut di sepanjang zaman, sehingga memungkinkan terjadinya pembelokan sejarah karena saya ingat penyambung cerita kadang bisa berbeda dengan informasi yang didapat sebelumnya.
    Ditambah lagi ada kabar jika sejarah bangsa ini sengaja dirubah dan dimanipulasi boleh pemerintah Hindia Belanda pada masa penjajahan dengan tujuan politik tertentu.
    Tetapi saya menemukan versi lain di wilayah Kabupaten Pati. Ada sebuah pedukuhan yang dahulu letaknya sangat terisolir di tengah hutan namanya kampung Morotoko yang ada di lereng gunung Morotoko. Di puncak Gunung Morotoko itu ada beberapa malam. Makam utamanya itu konon diceritakan adalah malam Pangeran Benowo, dan makam² lain adalah makam para prajuritnya.
    Saya sendiri belum pernah sampai ke makam tersebut, hanya sampai di perdukuhan Morotoko, karena pada masa itu saya masih sekolah kelas 5 SD, sampai ke kampung Morotoko kat na diajak bapak saya ketika berdinas di Perhutani wilayah RPH Cabean.
    Sedangkan saya menjangkau Morotoko dari Dukuh Cabean melalui jalan setapak menembua hutan belantara yang masih angker dan hanya satwa liar.
    Dukuh cabean terletak di sebelah Barat Laut dari arah puncak Morotoko. Cabean wilayah Desa Guyangan kecamatan Winong kabupaten Pati. Kabarnya waktu itu diceritakan bahwa Pangeran Benowo adalah kakak dari Sunan Muria

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com