Petani Kakao di DIY Belum Berkembang, Ini Masalahnya

YOGYAKARTA –  Perkembangan pertanian Kakao di DIY masih perlu ditingkatkam. Meski dinilai merupakan salah satu komoditas dari sub sektor perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, perkembangan pertanian Kakao di DIY belum bisa dikatakan memuaskan.

“Masalah yang dihadapi saat ini antara lain produktivitas budidaya kakao yang kurang menggembirakan,  kualitas kakao fementasi masih rendah, industri hilir sulit berkembang dan petani kesulitan pendanaan untuk pengembangan kakao,” Ungkap Deputi Penelitian, P2EB, Fakultas Eknomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo Saat menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) ekspose kehutanan dan perkebunan di Gedung Radyosuyoso Kepatihan Yogyakarta, belum lama ini.

Terkait pembangunan dan pengembangan Desa Kakao sebagai pilar ekonomi kerakyatan yang bisa berjalan dalam rangka kesejahteraan masyarakat DIY, Rimawan memandang model desa kakao dapat dikembangkan dengan tiga pilar, yaitu the best human resources,the best on farm dan the best off farm

Asisten Perekonomian dan Pembangunan Dr Ir Didik Purwadi Mec mengatakan, pengembangan pertanian Kakao di DIY dirintis dari Tahun 1987-1988 melalui Program Bantuan Presiden (Banpres) yang berlokasi di Kabupaten Gunung Kidul seluas 2000 Ha.

“Tingkat produksi Kakao berkisar 0,3-1,5 ton per hektare tegantung kondisi tanah dan perawatan dan sistem penanaman,” tuturnya. 

Guna meningkatkan produktivitas pertanian kakao, kata Didik, Bappeda DIY menerapkan strategi penguatan SDM dan kelembagaan petani, penerapan teknologi budidaya,  teknologi panen, pasca panen, penanganan bahan untuk meningkatkan mutu dan keamanan biji kakao,  pembangunan unit penjaminan mutu, pemanfaatan hasil samping kakao untuk meningkatkan nilai tambah maupun peningkatan pola kemitraan dan pengembangan pariwisata.

“Harapannya  Desa Kakao dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi pedesaan secara optimal dan berdaya saing, terintegrasi dengan usaha agroindustri mulai dari hulu sampai hilir di pedesaan, serta menciptakan peluang-peluang usaha lain ikutannya, misalnya agrowisata ataupun wisata edukasi,” ungkapnya.

 “Melihat potensi kawasan yang ada di DIY, kalau perlu kita bikin branding kakao khas Yogyakarta,” pungkasnya. (kt1)

Redaktur: Rudi F

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com