Catatan Jelang Milad HMI ke 69: Tua Bukan Berarti Menjadi Penakut

Oleh: El Aulia Syah*

Biasanya usia tua membuat seseorang menjadi lebih dewasa dalam segala hal. Menjadi lebih arif dan bijaksana. Namun kadang, karenanya juga terkesan menjadi ‘penakut’, padahal lebih kepada hati-hati dan mawas diri. Orang tua jenis ini justru biasanya lebih berpikir maju, bersemangat mendorong anak-anak muda untuk selalu melakukan perubahan yang lebih baik.  Itulah barangkali yang disebut tua membawa berkah.

Tapi di sisi lain, ada juga yang menjadi tua dan benar-benar penakut. Takut pengaruhnya kalah dengan yang muda, takut tidak eksis lagi, atau menjadi post power syndrome. Selalu berpikir liner dan kontra progresif. Ia berharap agar anak muda seperti dirinya, mencontohnya, sehingga gerakan anak muda pun menjadi miskin metodologi dan ikut-ikutan jadi penakut. Barangkai inilah yang memunculkan pameo tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi-jadi (nakalnya). Orang tua jenis ini mungkin malah justru bisa memicu musibah.

Itulah gambaran yang lazim mengenai usia tua seseorang. Bagaimana jika yang sudah tua adalah sebuah organisasi Seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)? Organisasi besutan Lafran Pane pada 5 Februari 1947 silam ini pada 2016 genap berusia 69 tahun. Usia yang tergolong senja. Pertanyaannya mau jadi tua seperti apa? Apakah tua yang penuh berkah atau tua yang memantik musibah?

Kiprah HMI yang mencetak tokoh-tokoh nasional tidak diragukan lagi. Tapi ingat, yang menjadi orang hebat, pejabat Negara, atau figur nasional sekarang ini bukan kader HMI, melainkan Alumni HMI. Tapi bagaimana kader-kader HMI sendiri?

Terakhir, terdengar hiruk pikuk kongres XXIX di Pekanbaru, Riau, yang tersorot media dan diketetahui publik hanya rusuh, aksi brutal, dan semua yang tidak enak dilihat dan didengar. Paska Kongres  disususul kemudian muncul pelantikan pengurus PB HMI di Jakarta kembali ricuh. Meski sebenarnya ada banyak hal positif yang dilakukan kader-kader HMI. Sayangnya, itu hanya diketahui anggota dan Alumni HMI saja. Barangkali memang tidak penting pencitraan (baik) untuk melawan pencitraan (buruk), tapi menunjukkan ke publik geliat positif HMI secara massif tentu penting. Menda’wahkan nilai-nilai HMI yang mewadahi insan cita, yaitu; “Insan akademis,  pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam, dan turut bertanggungjawab terhadap terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT” itu jelas membutuhkan langkah nyata yang dilihat masyarakat luas. Insan cita HMI bukanlah retorika namun harus mewujud nyata dalam segala sapek kehidupan.

Jadi, jangan mengeluh kalau kegiatan positif HMI mengalahkan opini publik yang terlanjur jelek hanya karena aksi-aksi segelintir kader. Jangan-jangan memang kader-kader HMI  lemah dalam meng-counter isu negatif atau bahkan malah mengamini opini publik tersebut?

Baiklah, tentu HMI yang usianya sudah ‘sepuh’ (tua) sudah banyak pengalaman, termasuk pengalaman baik. HMI sejak lahir dikenal sebagai organisasi yang mengedepankan ke-Islaman ke-Indonesaiaan (kader ummat kader bangsa), motor gerakan intelektual mahasiswa Islam. Nama-nama seperti Lafran Pane, Sulastomo, dan Nurcholis Madjid ketika masih menjabat Ketua Umum PB HMI dikenal sebagai pejuang intelektual. Dizaman beliau-beliau aktivitas kader-kader HMI penuh dengan aksi nyata: Diskusi, menulis, penelitian, dawah, hingga turun mengkritisi kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada kepentingan ummat dan bangsa Indonesia. Tapi seiring perkembangan jaman, tradisi intelektual HMI itu mulai tergerus dengan orientasi kekuasaan.

Sudah lazim kita dengan biaya kongres Miliaran rupiah dari uang rakyat, hasilnya apa? Apakah hanya pembelajaran politik yang hanya dinikmati elit kader saja? seberapa peduli adik-adik yang masih di komisariat terhadap isu Kongres?. Program-program PB HMI ternyata juga kebanyakan hanya menjadi kepanjangan tangan penguasa. Jargon atau platform boleh ‘HMI untuk Rakyat’, tapi nyatanya PB HMI semakin elitis, bahkan cenderung pro penguasa. Dimana, kemana, dan apa yang dilakukan  PB HMI ketika daya beli rakyat turun akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak populis? Apakah menggelar pesta Milad HMI ke 68 lalu dengan biaya fantastis, Live di TVRI dengan mengundang Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah sikap konkret HMI untuk Rakyat?

HMI memang telah banyak mencetak tokoh bangsa, tapi tidak semua tokoh bangsa dari HMI peduli dengan nasib ummat. Terlepas salah benar, terlepas hukum di Indonesia tumpul ke bawah atau tidak, tetapi fakta di persidangan atau pengadilan ada alumni HMI yang diduga terlibat kasus korupsi, dan skandal-skandal politik lainnya yang mencerminkan ketidak pedulian itu. Bahkan ada yang belum jadi apa-apa sudah masuk bui karena uang tak seberapa seperti yang dialami oknum mantan-mantan kader HMI di Semarang. Kalau memang hukum tidak adil kenapa tidak dilawan? 

Barangkali itulah yang membuat Cak Nur pernah mengucap, “Bubarkan saja HMI”.  Tentu wajar. Itu otokritik dari mantan Ketum PB HMI yang mencintai himpunan. Sebab memang sudah kasat mata kondisi HMI sebagai organisasi kader yang keberadaannya diharapkan mampu  berperan sebagai wadah kalangan intelektual muda Islam  dalam berproses menjadi  insan cita, kini telah bergeser menjadi proses belajar berburu kekuasaan. Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI  kini tak lagi menjadi rujukan untuk bergerak dan melawan segala bentuk kedzaliman penguasa. Banyak elit HMI justru larut dalam buaian nikmatnya madu kekuasaan. Hal inilah mungkin yang menyebabkan HMI dewasa ini mengalami degradasi baik sistem perkaderan maupun wacana dan tradisi pemikiran-pemikirannya. Jika benar, sungguh sangat memprerihatinkan.

Semoga dengan kepengurusan PB HMI yang baru dan dengan memasuki usia 69 tahun, HMI akan kembali ke khitahnya. Semoga HMI benar-benar menjadi Harapan Masyarakat Indonesia, sebagaimana harapan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang disampaikan dalam Milad HMI yang pertama di Yogyakarta pada 5 Februari 1948 silam. Dirgahayu HMI ke 69. Tua bukan berarti menjadi penakut. Lawan Penindasan. Lawan Kedzaliman!. Yakin Usaha Sampai! [*]

*Penulis adalah Alumni HMI, wirausahawan, tinggal di Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com