Budaya  

Orientasi Nilai Seni Reyog Ponorogo berdasarkan Pancasila

JAKARTA – Reyog Ponorogo merupakan seni pertunjukan rakyat sebagai warisan budaya yang memiliki nilai-nilai luhur dan menjadi teladan bagi masyarakat pendukungnya. Sebagaimana diketahui, Reyog Ponorogo telah melegenda dan menjadi mitos yang sangat dipercaya oleh masyarakat, karena berisi cerita tentang tokoh dan latar belakang budaya dari Ponorogo – Jawa Timur.

“Bagi masyarakat Ponorogo, Warok memegang peran kunci bagi tumbuh kembang seni pertunjukan Reyog Ponorogo. Klono Sewandono, Pujangganong, Dhadhak merak dan Jathil, masing-masing memiliki makna penting bagi sistem budaya masyarakat, lebih dari sekedar narasi cerita belaka,” kata Dosen Tari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Nursilah di Kampus UNJ Rawamangun Jakarta, Rabu (01/06/2016).

Menelisik tentang sila-sila dalam Pancasila, lanjut Nursilah, Reyog Ponorogo memiliki kandungan nilai budaya mendalam. Sila pertama, berdasarkan penelusuran sejarah, Th. Pigeaud (1938), Claire Holt (1967), James R. Brandon (1967), seni pertunjukan berbagai etnis di Indonesia pada umumnya berawal dari ritual pemujaan kepada Yang Maha Kuasa. Perjalanan sejarah Reyog Ponorogo, berawal dari Shamanism semacam ini mengalami puncaknya ketika munculnya agama-agama besar utamanya Hindu, Budha, dan kini Islam. Ketiga agama besar ini memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi tumbuh kembangnya Reyog Ponorogo.

“Sila kedua, nilai kemanusiaan Reyog Ponorogo tampak jelas ditinjau dari penokohan masing-masing peran. Tenggang rasa antara Pujangganong-Klono Sewandono-Dhadhak merak sangat kuat terasa. Pujangganong dapat menyelami kejiwaan Klono Sewandono, sehingga sang Raja Wengker ini tidak kalap membabi buta dalam bertindak. Demikian pula, Klono Sewandono memiliki tenggang rasa yang cukup tinggi terhadap Singabarong, terbukti dengan tidak dibinasakannya musuh tersebut, tetapi masih diberi kesempatan untuk menjadi pasukannya,” papar Nursilah yang juga Pembina Komunitas Reyog Ponorogo (KRP).

Nilai yang tercermin dari sila ketiga ini jelas sekali, yaitu bersatunya seluruh tokoh yang ada untuk menuju kerajaan Kediri. Masing-masing menjalankan perannya secara konsisten dan konsekwen, terutama pada adegan Iring-Iring.

“Sila keempat, kepemimpinan yang sangat berpihak pada rakyat dan mengutamakan musyawarah demi mencapai mufakat tercermin dari 2 sosok/tokoh, yaitu Warok dan Klono Sewandono. Warok ditampilkan dalam sosok Warok tua dan Warok muda, sebagai simbol adanya sosok pemimpin yang dijadikan panutan dan mengayomi rakyat serta memperhatikan segala aspirasinya. Tokoh Klono Sewandono ditampilkan sebagai pemimpin yang mengayomi seluruh elemen masyarakat, sehingga misi untuk ke kerajaan Kediri dapat tercapai,” lanjutnya.

Sila kelima, perkelahian di antara para Warok muda dan pertempuran antara pasukan kerajaan Wengker dengan Singabarong merupakan konflik besar yang tergambar dalam seni pertunjukan Reyog Ponorogo. Kedua konflik besar ini dapat terselesaikan dengan baik, terbukti dengan munculnya adegan Iring-Iring sebagai simbol utuhnya kembali pasukan terbut. Ini menunjukkan adanya nilai-nilai keadilan sosial dalam menyelesaikan berbagai gejolak dan pertikaian yang muncul.

“Inilah di antara gambaran nilai-nilai seni pertunjukan Reyog Ponorogo yang sarat dengan nilai budaya, sebagaimana yang tercermin dalam sila-sila dalam Pancasila,” pungkas Nursilah yang sedang menyelesaikan studi S3 di Universitas Indonesia. (pr*)

Redaktur: Rudi F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com