Mempertanyakan (Kembali) Daulat Rakyat dalam PILKADA

Oleh: Ari Baskoro*

PEMILIHAN Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2017 dilaksanakan di 101 daerah di Indonesia. Namun demikian, nampaknya hanya Pilkada Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) yang mendominasi pemberitaan hampir semua media massa baik cetak, elektronik, maupun online. Pilkada DKI seolah meniadakan Pilkada lainnya di seluruh Nusantara yang total terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Nama tiga pasangan Pilkada DKI menjadi news maker terpopuler mengalahkan pasangan peserta Pilkada di daerah lain yang total diikuti 153 pasangan kandidat.

Barangkali benar, DKI menjadi barometer nasional. Namun bukan berarti Pilkada-Pilkada di daerah selain DKI kalah strategisnya untuk perbaikan bangsa ke depan. Akan tetapi dari itu semua, pertanyaan yang terpenting adalah, akankah Pilkada benar-benar menjadi sebuah momentum demokrasi bagi rakyat di daerah untuk mengurai benang kusut persoalan bangsa? Benarkah pemimpin-pemimpin baru yang akan terpilih kelak menjadi solusi atas persoalan rakyat kekinian: inflasi, daya beli rendah, kemiskinan, dan pengangguran yang masih menggurita?

Sudah menjadi kelaziman, ketika Pemilu, baik penyelenggara Komisi Pemilihan Uumum (KPU) maupun kontestan: para kandidat, para politisi dan timses selalu mempropagandakan bahwa satu suara rakyat menentukan nasib daerah atau bangsa ke depan. Tapi apa yangg terjadi setelah Pemilu dan terpilih pemimpin baru? Ternyata propaganda tersebut menjadi ‘omong kosong’. Misalnya, ketika ada ratusan suara rakyat yang ingin turut menentukan nasib bangsa, dengan turun ke jalan menuntut kesejahteraan ternyata kerap ‘dicuekin’.

Misalnya, ketika ratusan massa Mahasiswa dan rakyat menuntut Presiden turun karena selalu membuat kebijakan yang menyengsarakan, selalu dicap ‘anarkis’ bahkan ‘makar’ ditanggapi dengan represifitas aparat negara. Datang ke DPR, oleh DPR dijawab: “Kan elo yang milih sendiri, pemilihan kan langsung, kok nyuruh gue nglengserin sih? . Datang langsung ke Istana Negara, Presiden cuma tanggapi dengan enteng menjawab sembari senyum: “Wong pemilih saya aja ngga minta saya turun kok. itu kan segelintir yang tidak puas”.

Nah loh bisa-bisanya Presiden tahu pemilihnya? Apa jangan-jangan suara pemilih memang sudah dikapling dan dibeli? Lalu bagaimana dengan asas  Pemilu: Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (Luber dan Jurdil)  ? apakah itu sama artinya Pemilu transaksional karena pemilih sudah ‘dikapling’  dan ‘dibeli’?

Ketika Pemilu, para kontestan memuji rakyat dengan mengatakan; “Sekarang sudah cerdas dalam menentukan pilihan”. Tapi ketika Pemilu usai dan terpilih penguasa baru, rakyat yang mengeluh sumber energi tak terbeli, usaha rakyat kian sekarat, dan segala persoalan hidup yang membelit, justru caci-maki dan kata-kata mengecewakan yang diterimanya. Ketika Kemiskinan dan pengangguran menggejala, rakyat dianggap malas dan tidak kompetitif, tidak mau berubah, padahal sudah ada program pemberdayaan ‘ini’ dan ‘itu’. Seolah ketika program pemerintah tak berjalan adalah salah rakyat. Semua kesalahan pemerintah, rakyatlah penyebabnya. Adilkah?

Jadi kalau sistem dan caranya (metode)  saja sudah tidak Jurdil, siapapun yang jadi ya ngga bakal Jurdil, alias tak akan amanah. Saya sih percaya para pemimpin yang terpilih hasil Pemilu pada dasarnya manusia yang baik, setidaknya masih punya hati.  Tapi sistem yang membentuk strukturnya saja menciptakan mental maling, ya mau gimana lagi?.

Dalam setiap kali Pemilu atau Pilkada tentu yang diuntungkan bukan rakyat. Mereka yang paling diuntungkan adalah para relawan atau timsesnya yang dibayar kandidat atau Parpol. Maaf saya bagian dari yang tidak memilih dalam Pemilu. Istilah gaulnya barangkali “Golput” permanen. Sebab, bagi saya logika alat itu mengikuti fungsi. Pemilu luber jurdil adalah alat yang  fungsinya untuk memilih pemimpin jurdil. Bukankah begitu? Mental timses dan relawan yang beranggapan duit Caleg, Calon Kada, dan Capres  bisa mensejahterakan rakyat ini yang bikin elit politik maaf, PA (pendek akal) dan daulat rakyat hilang. Itulah yang membuat saya datang ke TPS tami hanya untuk merusak kertas suara agar tidak sah dan tidak digunakan untuk manipulasi suara.

Lalu masihkah percaya bahwa Pemilu atau Pilkada bisa menyelesaikan problem ummat dan bangsa? Dan yang pasti jangan tanyakan lalu bagaimana solusinya kepada saya. Sebab saya hanya rakyat biasa yang tidak punya kebijakan mengatur negara. Saya rakyat biasa membayar pajak untuk membiayai negara, termasuk menggaji anda para Pemimpin, adalah agar kami bisa diberi solusi atas persoalan hidup kami yang rumit. Jadi salah jika anda menuntut solusi kepada kami rakyat biasa. Bukankah Indonesia adalah negara yang mengakui daulat rakyat? (*)

*Penulis adalah warga negara biasa, tinggal di Yogyakarta

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com