Tunggakan BPJS JKN Masyarakat Kota Yogyakarta 12 Miliar Lebih, DPRD Minta Kelas 3 Dibiayai APBD

YOGYAKARTA – Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, terungkap fakta tunggakan dari masyarakat Kota Yogyakarta peserta BPJS JKN mandiri per Januari 2018, sebesar Rp 12.300.348.944 miliar dari total 27.312 jiwa peserta.

“Dari total jiwa penduduk Kota Yogyakarta yang ikut BPJS JKN mandiri sejumlah 73.866 jiwa. Dalam angka prosentasi, 36,98% penduduk Kota Yogyakarta mempunyai hutang kepada negara dalam hal ini adalah BPJS-JKN,” ungkap Pimpinan Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Antonius Fokki Ardiyanto S.I.P kepada jogjakartanews.com, Jumat (26/01/2018).

Fokki merinci dari jumlah tersebut untuk Kelas 1 sebanyak 9.795 jiwa dengan total tunggakan Rp 7.199.099.227, Kelas 2 sebanyak 7.180 jiwa dengan total tunggakan Rp 3.007.600.127, dan Kelas 3 sebanyak 10.337 jiwa dengan total tunggakan Rp 2.093.649.540.

“Dari data tersebut, sangat ironis karena golongan mampu yang notabene mendaftar golongan 1 besaran tunggakan rupiahnya sangat besar yaitu 58,53% dari total tunggakan. Sedangkan golongan tidak mampu yaitu golongan 3 hanya 37,85% dari total jiwa yang menunggak,” ujar Fokki.

Dengan situasi yang demikian, Kata Fokki, maka menjelang integrasi Jamkesda ke BPJS JKN yang harus tuntas di tahun 2019, pihaknya mendesak Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta untuk memenuhi hak kesehatan masyarakat Yogyakarta,

“Konsep dari Komisi D (DPRD Kota Yogyakarta) sangat tegas bahwa iur bayar BPJS JKN bagi masyarakat Kota Yogyakarta yang akan dan mau di kelas 3 dibiayai oleh APBD Kota Yogyakarta. Hal ini bukan persoalan mampu dan tidak mampunya keuangan daerah, tapi kebijakan politik anggaran Pemkot Yogyakarta mau atau tidak untuk memenuhi hak rakyatnya?” tukas Fokki.

Berkaitan dengan konsep tersebut, kata dia, DPRD Kota Yogyakarta sepakat akan membahas dengan kajian teknis bersama tim dari Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Bappeda di awal bulan Februari 2018.

“Sesuai dengan konstitusi bahwa bicara kesehatan adalah hak rakyat, maka nanti ketika proses integrasi terjadi harus ada jaminan Pemkot akan hak rakyat tersebut. Dengan demikian ketika nanti membahas anggaran murni 2019 dari sisi kajian teknis anggaran sudah selesai. Sehingga istilah satire (sindiran) orang miskin dilarang sakit, tidak terjadi di Kota Yogyakarta,” tandasnya. (kt1)

Redaktur: Rudi F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com