Terkait Pernyataan Rasis Handoko, Cak Nun: Jangan Lukai Hati Rakyat Jogja

YOGYAKARTA – Budayawan MH. Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun menghadiri sarasehan tokoh-tokoh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Ndalem Noto Prajan, Kamis (01/03/2018) malam.

Acara sarasehan tersebut dilatari penyikapan atas pernyataan oknum warga keturunan etnis Cina, Handoko, yang menggugat Gubernur DIY dan Kepala PBN DIY atas hak kepemilikan tanah warga keturunan Thionghoa di DIY. Pertemuan yang diinisiatori Cucu dari Sri Sultan HB VIII, RM. Acun Hadiwidjojo (KRT Poerbokusumo) tersebut juga dihadiri tokoh-tokoh thionghoa Yogyakarta.

Dalam pertemuan bertemakan “Merawat Sejarah Keistimewaan Yogyakarta untuk Kedaulatan NKRI” tersebut  Cak Nun menilai Handoko bukan oknum, namun lebih tepatnya mewakili kepentingan sebangian masyarakat Indonesia, khususnya yang di Jakarta. Menurutnya, apa yang disampaikan Handoko bahwa  Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta  (DIY) No. K 898/I/A/1975 yang melarang warga etnis China memiliki tanah di wilayah DIY (hanya boleh hak guna bangunan) adalah diskriminatif dan rasis, hanyalah cerminan sikap mental personal, bukan sikap etnis.

Oleh karenanya, Cak Nun hadir dalam pertemuan untuk turut menjamin di antara masyarakat Yogyakarta, tidak ada ancaman terhadap nyawa, martabat dan harta benda manusia serta tidak ada tipu daya untuk nafsu kepemilikan yang dibungkus dengan jargon-jargon anti diskriminasi, anti rasisme,

“Dan tidak ada apapun yang dimanipulasi untuk mencapai ambisi penguasaan dan kepemilikan tanpa ukuran,” tuturnya.

Dikatakan Cak Nun, Yogyakarta adalah Ibunya Indonesia dan Jimatnya Indonesia. Keistimewaan Yogyakarta, kata dia, bukanlah sebuah hak istimewa tanpa batas, melainkan kekhususan yang terukur, termasuk dengan adanya kebijakan sebagaimana tertuang dalam Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. K 898/I/A/1975 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan HB IX,

“Keraton Ngayogyakarta memastikan teguhnya kemerdekaan RI di awal kelahirannya. Kemudian Ngarso dalem IX bersedekah luar biasa banyak, baik sedekah kedaulatan maupun harta benda, sehingga menjamin pemerintahan NKRI dua tahun pertama. Ngayogyakarta adalah Ibu yang menyusui bayi Indonesia. Nyuwun sewu, please, jangan lukai hati Ibundamu. Kalau hati ibu terluka, anak akan celaka. Kalau Indonesia menyakiti hati Ibu yang ia menyusu kepadanya ketika bayi, ia akan terjungkal di lubang ranjau masa depan,” tukasnya.

Dikatakan Cak Nun, Ngarso dalem HB IX pada hakekatnya tidak perlu mensabdakan aturan tentang tanah itu, andaikan beliau merasakan bahwa semua penduduk Jogja dan Indonesia sudah berada di dalam kebijaksanaan untuk saling bermurah hati untuk penyeimbangan antara kelemahan dan kekuatan untuk menempuh masa depan bersama,

“Tapi karena beliau merasakan bahwa arus utama yang berlangsung adalah keserakahan atas nama hak asasi, yang ahistoris secara sangkan paran, nafsu kepemilikan tak terbatas dengan mengatur butir-butiran hukum, yang akan menjadi ancaman besar terhadap goal Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka kebijaksanaan Ngarso Dalem HB X menegakkan pagar itu,” imbuhnya.

Caknun mengimbau kepada warga keturunan Cina di Yogyakarta agar bersama-sama merawat sejarah keistimewaan Yogyakarta untuk kedaulatan NKRI. Menurutnya, etnis Cina yang saat ini sudah berhasil menguasai perekonomian di Indonesia, sudah membuktikan betapa murah hatinya Indonesia, terutama Yogyakarta,

“Panjenengan semua sudah mengalami betapa murah hatinya rakyat dan bangsa Indonesia sejak berabad-abad silam. Mohon jangan sakiti hati mereka dengan ucapan-ucapan seperti rasisme, diskriminasi, hak asasi manusia, yang ditransfer dari kaum penjajah di belahan bumi sana,” tukas Cak Nun.

Dijelaskan Cak Nun, penjajahan di Indonesia tidak berakhir pada 17 Agustus 1945, melainkan justru semakin canggih dan tersamar melalui empat revolusi dan evolusi kolonialisme yang kini sudah masuk ke bilik-bilik pribadi setiap manusia,

“Oleh karena itu yang saya tawarkan, juga Insyaallah seluruh kawula Ngayogyakarta haturkan, adalah bergandengan tangan bersama menempuh masa depan, berbekal kewicaksanaan, bisa rumangsa dan saling Islam atau menyelamatkan satu sama lain. Mohon jangan dikei ati ngrogoh rempelo, disumanggake gawe omah ojo njur arep ngletak sirah (diberi hati mengambil rempela dan dipersilakan membuat rumah mau makan kepala),” pungkasnya.

Hadir dalam pertemuan sejumlah tokoh DIY antara lain, GBPH Hadiwinoto (Adik Sri Sultan HB X), RM. Acun Hadiwidjojo, Brotoseno (Ketua SAR DIY), Kardi (Mantan Kajari Kota Yogyakarta). Sementara, tokoh warga keturunan China yang hadir Chang Wendryanto, Susilo, Han Purwanto, dan Hom Bing alias Heri.

Pertemuan yang dihadiri ratusan massa dari berbagai elemen masyarakat tersebut mendapat pengamanan dari petugas kepolisian Polsek Keraton dan Polresta Kota Yogyakarta. (fa2)

Redaktur: Ja’faruddin. AS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com