Edutek  

Dilema Antara Pretasi Akademik dan Prestasi Kepribadian

Oleh: Teguh Wiyono, M.Pd.I

Menurut peraturan dari Dinas Pendidikan pengambilan Raport, jatuh pada tanggal 7,8 dan 9 Juni 2018 dan disesuaikan dengan sistem administrasi sekolah masing-masing. Raport merupakan buku yang berisi keterangan mengenai nilai kepandaian dan prestasi belajar murid di sekolah yang biasanya dipakai sebagai laporan guru kepada orang tua siswa atau wali murid.

Bagi Masyarakat yang memiliki anak yang di masukan dalam lembaga pendidikan tentunya merasa senang bahkan ada yang merasa sedih, karena ada anaknya yang mendapat rengking baik dan tidak mendapatkan rengking bahkan ada yang nilainya mengalami penurunan. Kebiasan di masyarakat kita jika orang tua melihat anaknya mendapatkan nilai Raport bagus memberi hadiah dan sebaliknya jika seorang anak mendapat nilai Raport jelek orang tua akan memarahi dan menganggap anak bodoh, yang lebih tragis sampai memberi hukuman fisik maupun cemooh/bullying, karena orang tua merasa malu jika memiliki anak yang bodoh.

Sikap orang tua memberi hukuman dan menyakiti anak tentunya tindakan tersebut, tindakan yang melawan hukum. Jika dikaitkan dengan undang-undang tentang perlindungan anak pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi bahwa Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Dengan sanksi hukuman terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

Amanat undang-undang tersebut menegaskan bahwa kita sebagai orang tua berhak penuh atas perlinduangan, bimbingan, pemberian rasa aman dan kasih sayang kepada anak kita dalam kondisi apapun, baik pintar maupun kurang pintar.

Jika kita amati bersama, bahwa Raport seakan-akan dianggap sebagai tolak ukur seorang anak dikatakan baik, anak pintar jika mendapat rengking. Tatapi kita jarang menayakan raport berkaitan dengan kepribadian, misalanya; Pertama, menanyakan ibadahnya sudah baik apa belum?. Kedua, di sekolahan membantu teman yang sedang kesulitan apa tidak?. Ketiga, menghormati bapak ibu guru dan temanya tidak. Keempat, ulanganya mencontek apa tidak, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan sikap atau kepribadian. Anak yang kurang pretasi dalam bidang akademik tidak bisa dikatakan bodoh, bisa jadi anak yang tidak berprestasi tetapi memiliki kepribadian yang baik kehidupan anak kedepanya akan lebih sukses.

Di negara kita Kasus-kasus para pelaku yang melawan hukum dan meresahkan masyarakat diantaranya koruptor, teroris, cybercrime (kejahatan di dunia maya) politiskus jahat. Mereka merupakan orang-orang yang berpretasi dalam bidang akademik dan dianggap pintar, tetapi secara kepribdian tidak baik. Jika seperti itu yang terjadi di lapangan apakah kita masih mau menganggap anak kita bodoh? Dan apakah anak kita yang berpretasi akademik akan menjadi orang yang melawan hukum dan mereskan masyarakat dan negara?

Solusi yang harus kita lakukan agar kita tidak salah dalam mendidik anak kita agar menjadi generasi penerus keluarga dan bangsa yang bermartabat dan berkualitas tanpa kita harus memaksa dan menghukum diantaranya; Pertama, kita sebagai orang tua tetap bangga kepada anak kita meskipun secara akademik lemah, tetapi kita tetap menegakan pretasi nilai nilai kepribadian baik kepada anak kita. Kedua, di lembaga pendidikan tidak hanya memberikan hadiah/penghargaan kepada mereka yang mendapat nilai Raport baik saja tetapi pemberian penghargaan kepada mereka para siswa yang secara kepribadian baik. Ketiga, di masyarkat sekitar, seharusnya membudayaakan budaya malu, budaya masyarakat yang taat beribadah, dan budaya rasa asih asuh terhadap lingkungan. Keempat, dari pihak lembaga perusahaan atau penerima lapangan kerja, hal dinilai utama seharusnya adalah kepribadian bukan sekedar secarik nilai Raport, karena disetiap perusahaan orang yang berkepribadian baik dan jujur sangat dibutuhkan untuk kemajuan. Kemudian yang kelima, dari pihak pemerintah, seharusnya bisa membuatkan kurikulum yang berkaitan karakter kepribadian bangsa yang berbudi pekerti yang luhur bukan hanya menyiapkan para lulusan yang pandai dalam akademik saja tetapi harus diimbangi dengan pretasi kepribadian yang unggul.

Anak merupakan amanah dari Tuhan yang sudah dibekali fitrah atau kemampuan sesuai dengan kehendak-Nya, bukan menjadi beban kepada kita sebagai orang tua, berhasil ataupun tidak berhasil seorang anak tergantung pola asuh kita sebagai orang tua. Tugas kita kepada anak kita adalah mendidik, memimbing, mengarahkan dan pemberian rasa aman, bukan memaksakan harus pintar sesuai dengan keinginan kita sebagai orang tua. Jika anak kita dengan kepandaianya hanya untuk meresahkan orang banyak, kita orang tua yang menanggung malu, sebaliknya jika anak kita memiliki kepribadian yang baik tentunya kita yang bangga dan menikmatinya. [*]

*Penulis adalah Dosen  di Universitas Terbuka Purwokerto Pada Fakultas Pendidikan

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com