Raperda Pasar di Sleman Mengancam Pedagang Kecil, FPPR Kirim Surat Audiensi Kepada Gubernur

SLEMAN – Forum Peduli Pasar Rakyat dan Toko Lokal (FPPR-TL) terus menyoal Raperda Perijinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan di kabupaten Sleman yang dinilai mengancam keberlangsungan pedagang rakyat bermodal kecil. 

Setelah beberapa kali menyampaikan aspirasi baik ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan dinas terkait di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman, FPPR berencana akan beraudiensi dengan Gubernur Daerag Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X,

Koordinator FPPR, Agus Subagyo mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan surat permohonan audiensi kepada gubernur DIY. Surat tertanggal 12 Desember 2018 itu sudah dikirimkan dengan tembusan kepada Biro Hukum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APP),

“Kami mohon kiranya Sinuwun kerso memberikan waktu kepada kami, sekaligus dapat memberikan perlindungan kami Wong pasar kabupaten Sleman. Kami mengusulkan waktu pisowanan pada hari Rabu, 19 Desember 2018, pukul 14.00. Kami menghaturkan terimakasih yang agung atas perkenan Ngarso Dalem menerima pisowanan kami,”   kata Agus, Senin (17/12/2018).

Dikatakan Agus, dalam audiensi nanti FPPR akan menyampaikan mencakup beberapa hal mulai dari mekanisme penyusunan hingga substansi materi Raperda. Menurut FPPR, Naskah Akademik yang telah disusun menunjukkan banyak hal yang tidak berpihak kepada wong pasar, yaitu pedagang, emperan, buruh gendong, warung-warung kecil di kampung-kampung dan dusun. Naskah akademik, kata dia,lebih condong menguntungkan pedagang atau perusahaan bermodal besar,

“Pada perda tersebut memberikan tekanan dan desakan kepada kami wong pasar dan warung kelontong di dusun dan kampung baik dari pengaturan soal jarak, harga, serta berbagai hal yang kami tidak mampu untuk membentengi diri apalagi untuk bersaing. Oleh karenanya kami meminta perlindungan ngerso dalem,” ujarnya.

Dikatakan Agus, usaha-usaha pedagang rakyat  baik yang lama maupun baru bermodal keluarga yang serba terbatas tentu tidak dapat menandingi modal mereka yang sangat besar didukung teknologi dan jaringan distribusi yang kuat. Menurutnya, meskipun bangunan pasar baru saja direvitalisasi, tetapi baru jam 11, sudah sepi tidak ada pembeli,

“Hal ini karena di toko-toko swalayan yang tidak jauh dengan pasar juga menjual barang-barang yang sama dengan yang kami jual dengan harga yang lebih murah. Ini semua makin mempersulit kami untuk dapat terus bertahan, apakah semua penderitaan ini sudah terpikirkan pada saat berinisiatif dan menyusun peraturan daerah?” Tanya Agus.

Bahkan, imbuh Agusa, saat ini mekanisme perlindungan wong pasar melalui pengaturan  jarak toko modern, seakan lenyap dari peraturan daerah, sehingga hanya mekanisme pasar bebas – lah yang diperlakukan. Hal itu tentu mengingkari amanah konstitusi dan prinsip keadilan dalam berekonomi.  Selain itu, soal waktu operasi Toko modern selama 24 jam, sementara jika pedagang pasar Pukul 16.00 WIB belum tutup, ada saja pihak yang mengusik agar segera tutup,

“Mengapa Bupati dan Wakil Rakyat Sleman tidak mampu merasakan situasi dan amanat penderitaan rakyatnya, khususnya wong pasar, yang dari waktu ke waktu mengalami keterpinggiran masif dalam memenuhi hak-hak hidupnya,” ketus Agus Subagyo. (kt1)

Redaktur: Ja’faruddin. AS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com