Hoax Membunuh Kepercayaan Publik Terhadap Pers, Katamata Gelar Pelatihan Jurnalistik untuk Netizen

YOGYAKARTA – Sedikitnya 60 penggiat media sosial (netizen) dari berbagai komunitas di Yogyakarta mengikuti Pelatihan Jurnalistik Lawan Hoax (aksi #NETIZENLAWANHOAX), Sabtu (06/04/2019) di Hotel Ruba Graha, Jalan Mangkuyudan No.1 Yogyakarta.

Dalam kegiatan yang diselenggarakan Katamata Community Jogja tersebut, dihadirkan sejumlah wartawan dan praktisi media massa sebagai narasumber. Antara lain Hudono (Wakil Ketua PWI DIY Bidang Pembelaan Wartawan/ Wapimred Merapi Kedaulatan Rakyat Grup) yang menyampaikan “Konsekuensi Hukum Bagi Pembuat dan Penyebar Hoax”.  Anang Zakaria (Ketua Aliansi Jurnalis Independen/AJI DIY) dengan nateri “Mengenali Ciri – Ciri Berita Hoax”. Teguh Supriyadi  (Jurnalis CNN) yang akan memaparkan bagaimana  “Melawan Hoax dengan Video”. WS. Pamungkas (Dosen Audio Visual ISI Yogyakarta, Mantan Ketua Pewarta Foto Iindonesia/PFI DIY) yang menguraikan perihal “Melawan Hoax dengan Foto Jurnalistik”. Kemudian, Ja’faruddin AS (Owner Jogjakartanews.com) yang membeberkan materi  “Tips Membuat Pers Rilis Tanpa Hoax”. Jalannya acara dimoderatori oleh Muh. Syaifullah (Jurnalis TEMPO).

Panitia Penyelenggara, Ja’faruddin AS mengungkapkan, acara digelar sebagai respons atas maraknya peredaran berita hoax yang memicu konflik sosial jelang Pemilu 2019. Selain itu menurutnya, akibat berita hoax, kepercayaan publik kepada media massa atau pers menjadi menurun. Padahal, kata dia, lahirnya pers sejak awal adalah untuk melawan hoax,

“Karena perinsip jurnalistik adalah memberitakan kebenaran sesuai data dan fakta dan narasumber yang berkompeten, artinya anti hoax” ujarnya.

Ja’far menjelaskan, saat ini, masyarakat justru lebih mempercayai informasi di media sosial dari sumber yang tidak jelas. Bahkan, kata dia, ada yang beranggapan bahwa semua orang bisa menjadi wartawan. Padahal, definisi wartawan menurutnya jelas dalam undang-undang No 40 tahun 1999 Tentang Pers, yang intinya ia bekerja pada Lembaga Penerbitan atau Pers dengan mencari, mengolah dan menerbitkan secara berkala,

“Masyarakat awam banyak yang tidak sadar bahwa ungkapan setiap orang bisa jadi wartawan di era Media Sosial, itu adalah hoax. Kalau semua orang bisa jadi wartawan otomatis tak berlaku UU Pers. Bukankah Indonesia adalah negara hukum? Dan bukankah UU Pers adalah produk hukum negara?,” tanya Ja’far.

Di era medsos, banyak netizen yang belum paham beda sosial media dengan official web, dan media massa online. Banyak yang tidak mengerti mana opini sebagai karya jurnalistik dan opini yang hanya luapan emosi seseorang di media sosial,

“Opini disebut karya jurnalistik jika dimuat di media massa atau pers. Karena ketika dimuat dimedia massa tentu media massa terikat dengan UUD Pers, terikat dengan kode etik jurnalistik, ada proses verifikasi. Kalau di sosial media kan nggak ada. Ini diantaranya yang menyebakan hoax dan post truth. Ini sangat bahaya, sama saja hendak menghilangkan kepercayaan publik kepada pers yang merupakan pilar ke 4 demokrasi,” tegasnya.

Ditandaskan Ja’far, bahwa netizen juga   banyak yang belum paham mengenai unsur jurnalistik 5 W 1 H (What, when, where, who, why, plus How),

“Pada dasarnya, jika seseorang meski bukan wartawan jika mampu memberikan informasi menggunakan kaidah jurnalistik yang benar maka kecenderungannya tidak hoax. Ini output yang kita harapkan dari kegiatan ini,” tukas mantan aktivis Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman ini.

Ja’far menegaskan, bahwa acara yang diselenggarakan komunitasnya netral dari kepentingan politik praktis dalam konteks Pileg dan Pilpres 2019. Sebab, wartawan tidak boleh berpolitik praktis dan harus netral,

“Makanya kami mensyaratkan peserta adalah netizen atau warganet dari komunitas non partisan, non Parpol. Ini kami selenggarakan benar-benar dengan itikad menjaga kepercayaan publik kepada pers. Bahaya sekali jika hoax dibiarkan liar, karena akan membunuh pers sebagai pilar keempat demokrasi. Ini panggilan tugas sebagai insan pers,” tegasnya.

Ja’far juga tidak sepakat jika ada yang mengatakan melawan hoax sama saja membungkam kebebasan berpendapat rakyat. Ia mengingatkan salah satu yang diperjuangkan dalam gerakan Reformasi 98 adalah kebebasan Pers. Kebebasan Pers, kata dia, justru membuka kebebasan berpendapat rakyat,

“Lha kok kini hoax mau dimaklumi dan dibiarkan, itu kan sama saja akan membunuh pers,” kata jurnalis yang sudah berkarier di berbagai media massa sejak 2008 ini.

Jafar juga menjelaskan, terkait media massa yang melakukan kesalahan dalam penulisan atau informasi, dalam UU Pers ada mekanisme hak jawab dan harus diklarifikasi oleh media yang bersangkutan,

“Jadi kalau salah menginformasikan lalu mengklarifikasinya, itu berarti media massa tidak menyebarkan hoax. Kesalahan menulis itu manusiawi tapi ada tanggung jawab media massa sesuai UU Pers. Beda dengan netizen, dalam memposting informasi tanpa verifikasi pihak berkompeten, sehingga bisa saja salah lalu menimbulkan polemik bahkan konflik sosial yang berimplikasi hukum. Tentu jika menyebar hoax, netizen dijerat dengan UU ITE atau hukum positif lain di luar UU Pers yang lex specialis atau bersifat kusus untuk wartawan,” bebernya.

“Kami mengimbau agar meski bukan wartawan, netizen mengadopsi kaidah penulisan jurnalistik agar tidak terjebak hoax dan terjerat hukum. Selama dalam menulis punya itikad baik dan mengikuti kaidah jurnalistik yang benar, maka produk tulisannya bukan hoax,” tutupnya.

Setelah mengikuti pelatihan yang berlangsung sejak Pukul 09.00 hingga 13.00 WIB tersebut, para peserta melakukan aksi dengan menandatangani deklarasi #NETIZENLAWANHOAX. Adapun pernyataannya adalah: menolak segala bentuk berita hoax, fitnah dan ujaran kebencian, dan siap memeranginya dengan aksi #NETIZENLAWANHOAX demi tetap kokohnya Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945,  dan NKRI, serta keistimewaan Yogyakarta yang aman dan damai dalam kehidupan masyarakatnya. (rd2)

Redaktur: Fefin Dwi Setyawati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com