Dorong Terciptanya Pemilu Sejuk, Film 8 Stories Diputar Perdana di Kantor PKS Yogyakarta

YOGYAKARTA – Film karya kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berjudul 8 Stories diputar perdana di Ruang Ballroom Sunan Gunung Jati lantai tiga Kantor DPW PKS DIY Jalan Gambiran Yogyakarta, Jumat (12/04/2019) malam.

Anggota Komisi 1 DPR RI dari Fraksi PKS Dr H  Sukamta mengatakan, selain dirinya, pemutaran film juga atas prakarsa DPP PKS.  Pemutaran film dimaksudkan untuk menciptakan pemilu yang sejuk dan menggembirakan.

Selain itu, dikatakan Sukamta, dalam gelaran Malam Apresiasi Seni dan Budaya Nonton Bareng Film 8 Stories ini sengaja dihadiri anak-anak muda agar mereka mencintai budaya dan seni,

“Ini film yang sangat menarik. Supaya hidupnya lebih lengkap dan hatinya menjadi lembut. Jika tidak ada sentuhan seni dan budaya, hatinya jadi keras,” ungkapnya.

Menurut doktor lulusan Universitas Manchester Inggris ini, dari cerita dipetik dalam film, banyak pelajaran tanpa ada kesan menggurui.

“Makanya Al Quran itu 80 persen berisi cerita. Coba kalau cerita Fir’aun diringkas satu paragraf selesai, kita mudah lupa. Cerita pertarungan Nabi Musa dengan Raja Fir’aun itu dramatis. Kita ingat, sejak saya SD sampai setua ini cerita itu masih sangat menarik dan saya selalu mendapat angle yang baru ketika membacanya,” kata Sukamta.

Ia menceritakan, kisah-kisah di dalam Kitab Suci Al Quran inilah yang menuntun langkah Wali Sanga saat berdakwah. Untuk pertama kalinya dibuat animasi pada tahun 1300 berupa wayang kulit.

Menurutnya, wayang kulit itu animasi pertama yang dibuat oleh Wali Sanga untuk dakwah agama Islam. Saking hebatnya karya itu sampai sekarang wayang kulit tidak bisa dikategorikan dalam satu ilmu seni, apakah seni rupa ataukah seni lainnya.

Mengingat wayang kulit sudah memenuhi kaidah-kaidah fikih dari para fuqaha atau ahli fikih, maka gambarannya pun sangat cermat.

Itu sebabnya Sukamta menilai wayang kulit sulit disebut makhluk hidup ataukah mati, manusia atau binatang, tiga dimensi ataukah dua dimensi? Artinya nenek moyang bangsa Indonesia sudah membuat wayang sangat menarik.

Bahkan, kata dia, banyak pihak mengakui dunia perfilman Hollywood sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding hasil karya nenek moyang bangsa Indonesia itu,

“Pertanyaannya kenapa kita sekarang tidak bisa membuat yang hebat,” ucap dia.

Melalui kegiatan ini Sukamta berharap Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional) yang juga mitra kerja Komisi 1 DPR RI agar mendorong insan perfilman Indonesia memproduksi film dengan genre cinta tanah air.

Film cinta tanah air sebenarnya tidak mesti bercerita tentang perang tetapi bisa dibuat lebih variatif. Dia kemudian membandingkan hampir semua film Hollywood memunculkan bendera Amerika. 

“Tantangan nasionalisme di era 1945 dan 1965 sangat jelas karena musuhnya juga jelas. Sekarang ini tantangannya bukan fisik tetapi dunia digital. Negara seperti tidak ada batas. Antarnegara kayak antarkampung. Anak-anak muda pergi ke Malaysia seperti ke Malioboro,” ujarnya.

Karena itu, Lemhanas perlu didorong menanamkan cinta tanah air dengan cara-cara yang kreatif salah satunya melalui media film.

“Semua suka film kan. Mudah-mudahan dari sini muncul anak muda yang akan menjadi pelopor perfilman hebat di Indonesia,” kata dia.

Menurut Sukamta, take off ke arah itu sudah dimulai dari gelaran Yogyakarta Asian Film Festival pada Desember 2018. Event itu sepenuhnya ditangani oleh anak-anak muda yang menjadi produser, sutradara maupun penulis skenario.

Tak hanya menikmati film, ratusan penonton termasuk mahasiswa dari beberapa kampus ternama di Yogyakarta, juga menikmati suguhan makanan berupa pisang godhok, kacang godhok, nasi kucing dan aneka makanan tradisional lainnya. (kt1)

Redaktur: Faisal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com