Bedah Praktik Pemikiran Diamond, Kader dan Alumni HMI Yogyakarta Bangun Alhambra

YOGYAKARTA – Sebuah negara yang mengalami krisis diyakini bisa bangkit kembali dalam waktu yang relatif singkat. Hal itu dikemukakan Jared Diamond, ilmuwan Amerika Serikat yang sudah banyak menerbitkan buku tentang peradaban lintas negara.

Praktik dari pemikiran Diamond tersebut dinilai cukup relevan untuk dibahas sebagai referensi untuk menyikapi persoalan bangsa Indonesia saat ini.

Hal tersebut mencuat dalam diskusi terbatas (Limited Grup) membedah buku Jared Diamond, “Upheaval: Turning points For Nation in Crisis” di kediaman Drs. Suwarsono Muhammad, MA, Perum Nogotirto Elok II Jalan Jawa No.7A, Nogotirto, Gamping, Sleman, Sabtu (27/07/2019) sore.

Suwarsono selaku fasilitator diskusi mengatakan, dalam bukunya, Diamond menggunakan pendekatan Psikologi Manusia untuk digunakan dalam Penyehatan Negara. Diamond mengibaratkan sebuah negara yang krisis layaknya orang yang mengalami sakit jiwa.

Menurut Suwarsono, pendekatan Diamond itu mirip dengan buku yang sebelumnya ia tulis, yang membahas bagaimana mengatasi krisis perusahaan, juga krisis sebuah negara,

“Diamond mengatakan jika suatu negara mau bangkit dari krisis maka harus melakukan beberapa hal, antara lain, harus mengakui bahwa dirinya sedang sakit,” ujar alumni HMI yang kini menjabat Ketua Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) ini.

Dicontohkan Suwarsono, ada banyak kasus dimana seorang pasien penderita kanker, banyak yang tidak percaya jika dokter memvonisnya mengidap kanker. Secara psikologis, si pasien kadang tidak menerima keadaan sehingga justru memperburuk sakitnya meski tetap diupayakan pengobatan.

Dalam konteks Indonesia, Suwarsono melihat negara kadang tidak mengakui bahwa benar-benar sedang mengalami defisit atau inflasi dengan indikasi Impor lebih besar dari eksport.

Sedangkan dalam konteks peradaban Islam juga demikian. Menurut mantan penasihat KPK ini, orang Islam kadang tidak mengakui kalau saat ini peradaban islam tengah mengalami kekalahan,

“Selalu ada penolakan dengan asumsi bahwa jumlah umat Islam di dunia bertambah, Eropa sudah banyak yang islam dan seterusnya. Tapi kita melupakan, sejak kapan Islam runtuh? Pada titik sebelum runtuh tentu ada masa kejayaan. Di masa apa? Tentu ada indikatornya kejayaan itu. Misalnya, kekuatan ekonominya, militernya, dan politiknya,” ujarnya.

Prasyarat bangkit dari keterpurukan selanjutnya menurut Diamond adalah harus ada pemerintahan yang responsibel,

“Terkait inflasi, misalnya. Pemerintah seharusnya merespons dengan melakukan perubahan regulasi seperti apa dan targetnya riil seperti apa,” imbuh pemilik perpustakaan pribadi dengan koleksi ratusan buku ini.

Diamond juga mensyaratkan adanya pemimpin untuk melakukan perubahan agar bangkit dari krisis,

“Dalam hal ini, Diamond dalam bukunya menyebut perubahan di Indonesia pada tahun 65, dimana PKI kalah, kemudian Indonesia menjadi sehat. Ia menyebut hanya ada dua pemimpin di Indonesia yang desesif hingga saat ini, yaitu Soekarno dan Soeharto. Kalau Negara atau perusahaan pimpinannya person, tapi kalau peradaban dunia, menurut saya pemimpinnya adalah negara,” paparnya.

Syarat lain sebuah negara bisa bangkit dari keterpurukan, Diamond menyebut antara lain, telah terbiasa berpengalaman menghadapi krisis, kemudian tidak ada negara lain yang mengganggu. Di sisi lain Diamond menyebut negara akan hancur ketika memiliki tetangga negara yang ekspansif destruktif, sementara tidak ada yang menolong.

Peserta diskusi, Zamzam Afandi, Ph.D menilai Diamond dalam menulis buku mendasarkan pada riset di beberapa negara. Hal itu hampir sama dengan yang dilakukan Ibnu Khaldun sebelumnya, 

Dijelaskan Zamzam, Menurut Khaldun, sebuah negara paling lama berjaya sekira 40 tahun,

“Khaldun menyebut diantara kehancuran sebuah negara atau kerajaan antara lain karena adanya ketidakadilan distributif dan kedzaliman penguasa dan faktor-faktor lainnya. Namun yang paling fundamental dua tadi. Secara substantif, antara Diamond dan Khaldun cukup nyambung,” ujar akademisi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Pasca Khaldun, kata dia, muncul berbagai pemikiran-pemikiran lain dari beberapa ulama. Dimana ada yang menyimpulkan bahwa runtuhnya negara-negara Arab karena faktor ketidaktaatan kepada nilai-nilai Islam. Namun ada problem bahwa nilai-nilai Islam yang dimaksud adalah dalam hal ritual, sehingga justru memicu saling menyalahkan antar golongan Islam atas cara ibadah dan penafsiran atas syariat,

“Ini kemudian dipolitisasi. Hal ini yang justru bisa menghambat,” tandasnya.

Sementara itu, Herman Kurniadi mengungkapkan, gerakan limited group ini tidak semata membahas pemikiran Diamond, melainkan lebih kepada praktik pemikirannya,

“Maksudnya adalah, bahwa limited group ini harus membiasakan fokus pada titik persoalan, untuk mewujudkan indikator majunya sebuah negara bahkan peradaban dan bahwa capaian indikator-indikator tersebut prosesnya relatif bisa dipercepat,” ujarnya.

Pada lingkup limited group, kata dia, hal yang paling mungkin adalah bagaimana berfokus pada gerakan ekonomi dan gerakan intelektual,

“Limited group akan berfokus dalam mengasah membernya dalam pemikiran-pemikiran yang ilmiah dan memberdayakan kelompok sekaligus individu dengan membentuk usaha bersama selain tentunya memiliki usaha masing-masing. Ini butuh komitmen bersama dan konsistensi,” tukas entrepreneur alumni muda HMI ini.

Ia menjelaskan, limited group tak sekadar diskusi, melainkan ada Aksi nyata,  yaitu dengan masuknya peserta diskusi dalam wadah gerakan “Alumni HMI Bergerak” (Alhambra),

“Di Alhambra ini kita akan urunan rutin bulanan sesuai kemampuan member untuk membentuk usaha bersama agar menjadi kelompok dan pribadi-pribadi yang sukses dalam ekonomi, namun tetap menjaga tradisi intelektual HMI, serta tentunya bermanfaat untuk ummat atau masyarakat. Prosesnya tidak instant tapi juga tidak terlalu lama. Gerakan ini kecil tapi riil,” pungkasnya. (rd)

Redaktur: Ja’faruddin AS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com