Dandelion: Saksi Derap Langkah Kita

Oleh: Lainy Ahsin Ningsih

Dengan sedikit penyesalan, aku merutuki ketelodoranku pagi ini. Terlambat berangkat ke sekolah dengan mata pelajaran pertama Fisika merupakan kesalahan bsar. Tidak ada pilihan lain. Aku harus merelakan waktu istirahatku di UKS. Bukan untuk beristirahat, melainkan membersihkannya. Ketika kakiku melangkah memasukinya, hanya helaan napasku yang dapat mewakilkan kondisi ruangan 2*4 M itu. Tanpa membuang banyak waktu, dengan cekatan dan lapang dada aku mulai membersihkannya.

Seusai berkutat dengan debu-debu UKS, aku berniat membelokkan langkah ke kantin. Belum sempat kakiku melangkah, aku mendengar suara yang sudah akrab ditelingaku. Ia tidak mengijinkan aku melangkah pergi dan menyuruhku bergegas ke kelas. Ia tidak lain dan tidak bukan adalah wali kelasku. Namanya Pak Wicak. Aku mulai akrab dengannya ketika dengan rajin dan bangganya aku keluar masuk ruang BK.

Kondisi kelas yang terlalu bising ditambah perut yang berirama lagu dangdut membuat aku terbangun dari mimpiku. Tanpa kusadari, seseorang sudah duduk disampingku lalu menyodorkan cup berisi es kopi kesukaanku. Kalimat yang keluar dari mulutnya membuat aku paham. Ia iba melihat kemalnganku hari ini. Singkat cerita kami berkenalan. Ia perempuan cantik yang selama ini diperbincangkan di kelas. Tapi baru kali ini kami bertegur sapa.

Hari berikutnya, Shoimah tidak hanya mendatangiku seorang diri. Ia juga mengajak dua orang kawaannya. Yang pertama, gadis yang aku lihat selalu mengacungkan tangan ketika guru-guru melemparkan pertanyaan. Gadis manis dengan tahi lalat di pipi kirinya. Nama gadis itu Retna. Yang kedua, gadis yang ketika upacara selalu menjadi Danton(komandan pleton). Bahkan aku baru tahu kalau gadis itu satu kelas denganku. Semenjak hari itu, aku perlahan melupakan arti kesepian dan kesendirian daalam keramaian.

Berteman dengan mereka membuat aku sadar bahwa aku harus semakin banyak menuiskan kisah bersama mereka. Persahabatan kami mungkin tidak seperti anak lain. Pergi ke suatu tempat, menghabiskan weekend di tempat-tempat hits, membeli coffe, pergi ke tempat studio, cari popularitas di sekolh, dll. Persahatan kami hanya sesederhana menjahili petugas kantin kemudian membantunya, meninggalkan kelas untuk makan, menyayi dengan suka ria dibawah pohon delima, thowaf sambil sholawatan dengan sengaja, mengisi absensi perpus, mengantarkan kran-koran lama, dan hal-hal yang mungkin tidak terbayangkan oleh gadis-gadis seusia kami.

Seberapapun menjengkelkannya ketiga sahabatku ini. Satu hanl yang aku sadari, mereka selalu membawaku pada sebuah perubahan. Pagi ini misalnya. Ketika kakak-kakak tingkat mempromosikan organisasi ekstra. Kami membuat perjanjian untuk masuk organisasi tersebut. Aku dan gadis manis manis dengan tahi lalat itu memilih OSIS. Sedangkan gadis cantik dan gadis Danton itu memilih pramuka. Banyak cobaan datang menguji kesabaran kami. Hingga pada akhirnya hanya aku yang masih bertahan diiringi ratusan keluhan. Namun mereka selalu saja menguatkan aku, menegakkan kembali semangatku.

Aku masih ingat dengan jelas. Setiap waktu istirahat. Aku dan si gadis manis melangkahkan kaki beriringan menuju perpustakaan. Bukan membaca buku, gadis seusia kami hanya mampu melahap lembaran koran. Belum mampu melahap buku-buku tebal yang mulai  usang disudut ruangan. Kebetulan, kami memiliki hobby yang saya. Menulis. Inilah yang mengantarkan kami dengan sabarnya mengumpulkan email tiap-tiap koran. Mencari tahu cara menulis yang benar. Bertanya pada Guru Bahasa Indonesia kami. Ini untuk sebuah harapan, ada sebait tulisan kami yang terpajang di kolom koran.

Satu-satunya hal romantis yang paling berkesan diantara kami adalah ketika perayaan valentinne satu tahun setelah persahabatan kami. Tidak ada coklat atau bunga. Tapi, masing-masing dari kami menyiapkan sebuah kotak hadiah. Kotak tersebut kemudian diputar acak dan dibuka nanti seusai sekolah. Peristiwa tersebut membuat aku sadar bahwa lewat persahabatan semua hal yang awalnya tidak bisa kita lakukan menjadi sangat mudah, bahkan lebih berkesan.

Satu bulan setelah peristiwa itu, kelas kami ingin membuat sebuah karya dengan meninggalkan pesan bahwa, meskipun dengan berbagai keterbatasan kami, kami bisa melahirkan sebuah karya. Terpilihkan film pendek menjadi rencana kami. Awalnya, tidak ada yang menyanggupi tugas membuat alur cerita dan menulisnya. Lagi-lagi gadis manis itu memunculkan semangatku. Ia mengajakku menyelesaikan naskah cerpen. Tidak mudah memang. Satu bulan berlalu, naskah itu masih belum selesai. Dua minggu terakhir, kami bekerja dengan sangat keras untuk menyelesaikan naskah itu.

Selesainya naskah  tentunya bukan berarti kami sudah berhasil. Sebab, setelah naskah itu jadi, ada beberapa dari kawan kelasku yang menolak mentah-mentah naskah kami dan ingin keseluruhan dari cerita tersebut diubah. Saat itu perasaanku sangat kacau, aku merasa kerja keras kami tidak dihargai. Padahal kami sudah merelakan jam-jam istirahat kami demi naskah tersebut. Tanpa pikir panjang aku membuang semua semua tulisan itu ke tempat sampah yang letaknya persis didepan kelas.

Pada akhirnya, ketiga kawanku itulah yang menyiapkan sandaran untukku. Mereka mengetik ulang naskah-naskah yang sudah terkontaminasi bau sampah. Mereka memberi tahuku bahwa, semua orang boleh tidak menghargai  karya kita, tapi boleh ada yang menghentikan karya kita. Mereka menjadi rumah kedua yang sangat aku syukuri. Mereka selalu memiliki waktu untuk menemaniku. Padahal, gadis cantik dan gadis danton tidak lagi sekelas denganku. Mereka lebih menyukai ilmu-ilmu sosial daripada ilmu-ilmu sains.

Tahun terakhir sebelum perpisahan kami disubkkan dengan kegiatan ekstrakulikuler KIR. Rasanya, kami seperti tidak memiliki hari libur. Namun justru kami semakin semangat untuk terus berkarya. Bulan kemarin, gadis manis memperoleh juara 3 lomba cipta dan baca puisi sekabupaten. Lalu aku menyusulnya dengan mengikuti event penulisan puisi yang akan dicetak. Si danton makin semangat dengan pramukanya. Seingatku, ia dulu menjadi pradani. Kalau si cantik, ia sangat sukses di pesantrennya. Ia menjadi salah satu santri kepercayaan keluarga kyai di pesantren tersebut. Kabarnya, setelah kelulusan nanti, ia akan ikut pasanan disalahsatu pesantren paling masyhur di kota kami.

Hingga tibalah kami pada moment perpisahan. Waktu itu, kami berjanji untuk tidak menangis. Hari ini adalah hari bahagia kami. Kami tidak hanya berkumpul serempat seperti biasanya. Tapi kami juga berkumpul dengan orang tua kami. Membicarakan arah langkah kami setelah ini. Menyusun berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan mengantarkan kami pada gerbang kesuksesan. Meski sebenarnya kami sedang berperang dengan hati kami untuk menangis. Menyayangkan perpisahan setelah tiga tahun ini, meski sebenarnya kami sangat menolak perpisahan ini.

Tiba di suatu senja, sebelum kami berempat benar-benar berpisah. Kami berjumpa di bawah pohon delima, tempat kami sering membicarakan masa depan, harapan, dan impian. Aku tidak tahu siapa yang memiliki rencana ini. Tiba-tiba ibawah pohon delima sudah ada banyak bunga dandelion. Bunga yang sering kami temukan disamping sekolah ketika melarikan diri dari panasnya kelas dan otak akibat pelajaran. Bunga itu kami tiap dengan semnagtnya hingga mereka terbang mengangkasa. Bunga inilah yang mengingatkan kami untuk selalu semangat dalam mengangkasakan cita-cita dan semua harapan kami. Sore ini kami berjanji, kami akan bertemu dan saling menunggu di depan pintu gerbang kesuksesan.(*)

*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Ilmu Falak Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com