Larangan Cadar dan Kebhinekaan Kita

Oleh: Muhammad A’tourrohman*

Tak lama setelah dilantik, Fahrur Rozi mengeluarkan wacana kebijakan terkait larangan menggunakan cadar dikalangan Aparatur Sipil Negara. Wacana ini menuai banyak kritik dari kalangan pemuka agama, akademisi hingga politisi. Salah satunya ditanggapi oleh Ustadz Yusuf Mansur bahwa larangan penggunaan cadar ini bisa menciderai binekha tunggal ika.

Pelarangan bercadar juga pernah dilontarkan oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga berdasarkan Surat Rektor No B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018 tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar. Alasan dari kedua kasus ini kurang lebih mirip, bahwa cadar adalah penanda radikalisme. Sehingga demi terciptanya keamanan dalam instansi pemerintah, Menteri Agama mengeluarkan wacana kebijakan tersebut.

Pro dan kontra  bermunculan terhadap wacana kebijakan Menteri Agama tersebut. Bagi yang mendukung kebijakan pelarangan cadar di kalangan ASN, mereka menilai kebijakan ini dilihat sebagai usaha pembinaan pegawai untuk membangun relasi sosial yang lebih baik. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah (Kompasiana.com, 2019). Sedangkan bagi yang menolak kebijakan larangan bercadar di instansi pemerintah, mereka beralasan bahwa larangan tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia, di samping itu tidak ada satu pun dalil dari Alquran dan hadis yang melarang muslimah bercadar dan dampak yang paling dikhawatirkan adalah bisa menciderai kebhinekaan kita.

Secara yuridis, dalam kajian fikih para ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai cadar. Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan penafsiran dan pemahaman mereka terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang menjelaskan tentang jilbab, khimar, dan niqab. Perdebatan para ahli fikih mengenai hukum penggunaan cadar memiliki keterkaitan dengan persoalan batas aurat bagi perempuan.

Menurut Andiko (2018) dalam Jurnal Kajian Keislaman, menjelaskan bahwa “Mayoritas fuqaha (baik dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya.”

Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya an-Niqab lil Mar’ah bainal Qaul bi Bid’iyatihi wal Qaul bi wujubihi menjelaskan bahwa hukum penggunaan cadar tidak wajib. Artinya boleh bagi seorang muslimah untuk mengenakan niqob atau cadar, juga boleh untuk tidak mengenakannya.

Kebhinekaan Kita

Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Berdasarkan data yang dilansir oleh The Pew Forum on Religion & Public Life (2017), penganut agama Islam di Indonesia sebesar 209,1 juta jiwa atau 87,2 persen dari total penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa kesatuan dan persatuan umat muslim Indonesia diakui oleh negara-negara lain di seluruh dunia.

Namun sangat disayangkan jika persatuan dan kesatuan yang terangkum dalam Bhineka Tunggal Ika tersebut harus terciderai karena wacana larangan cadar. Maka, kalu kita melihat UUD 1945 Pasal 28E ayat 2, negara memberikan kebebasan untuk meyakini kepercayaan para pemeluknya. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Jika saja wacana larangan bercadar itu ditetapkan, Moral Value dalam Islam untuk saling menghargai perbedaan akan ternodai. Sebagai negara yang memiliki aneka ragam budaya, suku, ras dan bahasa, sudah semestinya untuk menghormati perbedaan yang ada. Bapak Pluralisme-KH Abdurrahman Wahid mengatakan “Justru dengan Agama Persatuan dan Kedamaian dapat diwujudkan, bukan malah jadi alat perpecahan.” Kalimat ini yang seharusnya diimplementasikan dalam negara multikultural ini.

Setiap orang  mempunyai kebebasan dalam beragama. Pun dengan pilihan mereka untuk mengenakan cadar adalah hak asasi mereka. Sehingga jika ada larangannya, maka sama halnya melanggar hak asasi manusia. Apalagi jika timbul stigma bahwa orang-orang yang memakai cadar di cap sebagai radikal. Maka hal ini akan menimbulkan diskriminasi bagi orang yang memakainya.

Ketua Umum Komnas HAM juga mengingatkan pejabat negara bahwa kewajiban negara adalah menghormati dan melindungi hak asasi dan kemerdekaan individu, termasuk kemerdekaan untuk mengekspresikan apa yang diyakininya sebagai ajaran agamanya (detik.com, 2019).

Oleh karena itu, untuk menjaga kebhinekaan kita mari kita tetap bergandeng tangan dan melepas dulu stigma-stigma terhadap perempuan bercadar, dan beri kesempatan para perempuan bercadar untuk berbicara atas diri mereka sendiri. Kita harus menjunjung tinggi budaya toleransi yang diajarkan oleh founding fahter negara ini. Karena dengan toleransi untuk saling menghargai perbedaan, akan mewujudkan persatuan dan kesatuan. Sehingga konsep Bhineka Tunggal Ika dapat terealisasikan dengan nyata. Wallahualam bi  As-shawab.(*)

*Penulis adalah Pengurus Pondok Pesantren Mahasiswa Bina Insani Semarang

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com