Ingin Bertuah, Jangan Menyalah

Oleh: Drs. Mustari, H.Hum*

(BAGIAN 2 dari Artikel Dari Yogya Untuk Dunia)**

Bagi orang Melayu, aspek batiniyah dan lahiriyah haruslah seimbang dalam diri seseorang. Dan untuk menyeimbangkannya haruslah dengan ilmu. Ilmu harus dipalajari, namun bukan ilmu yang “menyalah”. Mendahului tunjuk ajarnya, Tenas Effendy menulis bahwa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah membuat dunia serasa mengecil. Tidak hanya itu, perkembangan itu sudah menyebabkan pergeseran dan perubahan nilai-nilai budaya, bukan hanya di kota, tetapi sudah sampai ke ceruk kampung. Setiap pribadi berpacu untuk menempatkan diri, puak, atau kaumnya ke dalam barisan terdepan untuk merebut peluang kesejahteraan hidup.

Di tengah persaingan tersebut, tidak jarang telah menjadikan manusia tercerabut dari akar budayanya, dari nilai-nilai tradisinya, dari nilai-nilai kearifan lokalnya yang lambat laun menjadikannya kehilangan jati diri. Orang yang sudah asing di tengah budayanya sendiri itu disebut oleh orang Melayu sebagai lupa diri atau lupa pakaian. Orang yang lupa pakaian atau lupa diri tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat dan bangsanya. Dalam ungkapan Melayu disebut:

Bila orang lupakan diri,// banyaklah bala yang menghampiri//

Bila orang lupa pakaian,// banyaklah kerja yang bersalahan//  

Kalau sudah lupakan diri,// alamat bala menimpa negeri//

Kalau sudah lupa pakaian,// di situlah tempat masuknya setan//

Lupa diri binasa negeri,// lupa pakaian binasa iman//

Bagi orang Melayu, ilmu dan teknologi tidak menjajdi pantangan. Keduanya wajib dipelajari, diserap, dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemajuan negeri. Yang dipantangkan adalah menuntu ilmu yang “menyalah”, ilmu yang “sesat”, atau ilmu yang tidak serasi dengan ajaran Islam, budaya, dan nilai-nilai luhur adat-istiadat. Oleh kakrenanya, orang-orang tua Melayu mewajibkan menapis dan menyaring ilmu yang dianut dengan tapisan akidah Islam, adat-istiadat, dan norma-norma masyarakat yang berlaku. Dalam takaran ringkas, ilmu yang diambil adalah ilmu yang tidak membawa mudharat di dunia dan di akhirat. Dalam ungkapan Melayu disebutkan:

Mencari ilmu dengan ilmu// meluruskan ilmu dengan iman//

Kalau mencari ilmu dunia,// luruskan olehmu dengan agama//

Kalau hidup hendak selamat,// carilah ilmu yang bermanfaat//

Kalau hidup hendak sentosa,// carilah ilmu yang berfaedah//

Kalau hidup hendak jadi orang,// menuntut ilmu janganlah kurang//

Kalau hidup hendak terhormat,// carilah ilmu jauh dan dekat//

Kalau hidup hendak terpuji,// menuntut ilmu jangan berhenti//

Kalau hidup hendak bertuah,// menuntut ilmu janganlah lengah//

Kata kunci tujuan hidup orang Melayu adalah keseimbangan antara pengetahuan dan keimanan. Manusia yang memiliki keseimbangan inilah yang disebut manusia sempurna, insan kamil atau dalam bahasa Melayu disebut Orang Bertuah. Maka dalam ungkapan puitis orang Melayu disebutkan:

Apa tanda orang bertuah,// sepadan ilmu dengan imannya//

Apa tanda orang bertuah,// lahir menakah batin sempurna//

Betapa penting dan mulianya menjadi orang bertuah, membuat ibu-ibu Melayu jika marah kepada anaknya selalu menyerapah dengan ucapan, “Bertuah betol, Budak ni…!” atau, “Budak Bertuah…!”. Di dalam marahnya pun, masih terujar doa dan cita-cita hidup orang Melayu.

Untuk mewujudkan manusia “bertuah”, orang Melayu mewariskan tunjuk ajar yang mengandung nilai-nilai luhur agama, budaya, dan norma-norma sosial. Tunjuk ajar juga menyerukan agar setiap orang menuntut ilmu pengetahuan, namun harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati agar tidak membawa petaka. Maka orang Melayu memberi pedoman:

Menuntu ilmu pada yang patut,// mengaji ilmu pada yang terpuji,// belajar pada yang benar,// mencontoh pada yang senonoh,// memakai pada yang sesuai.//

Orang Melayu sangat arif dalam menyikapi budaya asing yang masuk ke ranah pergaulan mereka. Karena sikap meniru tidak bisa dihidari, khususnya bagi generasi muda, maka orang Melayu sejak dini memberikan rambu-rambu berupa tunjuk ajar agar generasi muda tidak hanya asal tiru. Sepintas, sikap kehatian-hatian ini sering disalah artikan oleh sebagaian orang bahwa orang Melayu anti kemajuan, anti budaya asing. Padahal jika dicermati dari tunjuk ajarnya, tidaklah demikian. Meniru adalah salah satu cara memperoleh ilmu seperti diungkapkan:

Kalau hidup hendak senonoh,// banyaklah mencontoh//

Kalau hidup hendak terpandang,// ambillah ilmu orang//

Jadi, jika disarikan, orang Melayu yang “bertuah” itu adalah mereka yang mampu menyerap ilmu dan teknologi yang canggih, namun tetap berpijak pada kepribadian Malayu, teguh dalam iman, takwa dan taat kepada Allah, serta memahami dan menjalankan nilai-nilai luhur budaya leluhurnya. Ingin bertuah, jangan menyalah. (*)

 

*Penulis Lahir dan besar di Berakit, Pulau Bintan, Dosen mata kuliah Filologi, Metodologi Penelitian Sastra, Bahasa Indonesia, dan Jurnalisitik di Jurusan BSA Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baca Bagian I: https://jogjakartanews.com/baca/2020/06/06/6219/dari-yogya-untuk-dunia-berguru-tunjuk-ajar-melayu

 ** BERSAMBUNG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com