Terkait Kasus Klitih Kota Gede, Bapas Tegaskan Bertindak Profesional Sesuai Aturan Hukum

YOGYAKARTA – Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Yogyakarta membantah  telah mempengaruhi proses penyidikan  dan turut berperan membebaskan pelaku  kasus penganiayaan (klitih) yang terjadi di Jalan Ngeksigondo, Kalurahan Prenggan, Kapanewon Kotagede, Kota Yogyakarta pada Rabu (14/4/2021) lalu.

Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS, Farid E. Susanta menegaskan, Bapas Yogyakarta sudah menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional dan objektif dan sesuai koridor hukum, 

“Kita tidak pernah menyarankan untuk setiap kasus anak misalnya untuk dilepas. Itu adalah murni dari koridor undang-undang atau kewenangan dari penyidik,” tegasnya kepada wartawan saat menggelar jumpa pers di Polsek Kota Gede, Selasa (20/04/2020).

Farid menjelaskan, sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Bapas memiliki empat tugas utama yakni penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan dan pengawasan. Dalam penanganan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum  (ABH), termasuk pelaku klitih di Kota Gede, Bapas Yogyakarta melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang no 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.  Menurutnya, hanya ada dua proses hukum untuk pelaku yaitu diversi atau pengadilan anak.  

Ia menguraikan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi yang hanya dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan, yakni diancam pidana penjara dibawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan.

Diversi sendiri menurutnya adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orangtua/walinya, korban dan/atau orangtua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan keadilan restorative,

“Sehingga setiap ada kasus anak yang dinyatakan tersangka oleh pihak penyidik, Bapas pasti akan diundang untuk melakukan pendampingan terlebih dulu,” ungkapnya.

Namun demikian, kata dia, jika ancaman hukuman terhadap pelaku di atas 7 tahun maka Bapas tidak akan menyarankan diversi. Selain itu,  diversi bisa saja tidak berhasil apabila korban tetap menuntut pelaku untuk dilanjutkan proses ke pengadilan.

Farid memaparkan, dalam melakukan pendampingan terhadap ABH, tugas Bapas lebih kepada mencari fakta-fakta di lapangan yang membentuk anak tersebut melakukan perbuatan pidana. Mulai dari melihat latar belakang keluarga, kehidupan sehari-hari si anak di masyarakat. Jika anak tersebut masih sekolah, maka Bapas juga akan mencari track record anak tersebut di sekolah.

Selanjutnya, fakta-fakta yang ditemukan akan digodok dalam Sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) yang output atau hasilnya adalah rekomendasi untuk para pihak institusi penegak hukum, baik dalam proses penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh jaksa, maupun pengadilan oleh hakim. Dalam TPP tidak hanya dari Bapas, tapi juga melibatkan ahli dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Diantaranya ahli hukum, psikologi, sosial dan bidang terkait lainnya,

“Rekomendasi itu harapannya untuk memberikan keadilan yang terbaik untuk anak. Namun kalau misal rekomendasi tidak dipakai ya tidak masalah bagi kami,” papar Farid.

Di sisi lain, terkait pelaku Kasus Klitih Kota Gede yang tidak ditahan, Farid memastikan proses hukum tetap berjalan,

“Jadi anggapan bahwa anak tidak ditahan akibat peran Bapas yang ada di situ sama sekali tidak benar. Bapas menjadi pembela itu juga tidak benar.  Fungsi kita menyampaikan fakta melalui penelitian kepada hakim, penyidik, penuntut umum supaya dapat dijadikan pertimbangan,” tegas Farid memungkasi. (kt1)

Redaktur: Hennyra

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com