Pelecehan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur dan Upaya Perlindungannya

Oleh: Armunanta Dwi Handaka

Menurut Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh KOMNAS Perempuan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan/atau politik.

Kekerasan seksual sendiri banyak macamnya, yakni terdapat 15 bentuk kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, intimidasi seksual, penghukuman bernuansa seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, kontrol seksual, pemaksaan aborsi, prostitusi paksa, pemalsuan kontrasepsi, praktik tradisi, pemaksaan kehamilan dan perkosaan. Namun dari beberapa bentuk kekerasan seksual tersebut, pelecehan seksual adalah salah satu kategori kekerasan seksual yang sering terjadi di lingkungan masyarakat dan bukan menjadi sesuatu hal yang baru terdengar di telinga masyarakat Indonesia.

Pelecehan seksual sendiri merupakan tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud termasuk siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. Mirisnya, pelecehan seksual sendiri seringkali terjadi pada anak di bawah umur.

Di Indonesia sendiri berdasarkan data dari KemenPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) mencatat jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan tahun 2020 mencapai 11.367 kasus. Sementara untuk kekerasan seksual pada anak dan perempuan jumlahnya mencapai 7.191 kasus pada tahun tersebut. Sedangkan pada tahun 2021, dihimpun dari sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak hingga 3 Juni terdapat 1.902 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Berdasarkan uraian data tersebut menunjukkan bahwa kekerasan seksual akhir-akhir ini marak terjadi dan sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Korban dari pelecehan seksual pun sudah mulai menyerang anak-anak di bawah umur yang notabene belum paham betul mengenai arti tindak kekerasan dan upaya penyelamatan diri. Hal ini menjadi sebuah realita yang sangat miris yang berkembang di lingkungan masyarakat. Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan tindakan yang sangat keji dan kejahatan yang sangat besar karena berdampak pada fisik maupun kesehatan mental anak.

Hakekatnya anak adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang mana harus kita lindungi, dijaga dan kasihi dengan sepenuh hati karena setiap anak memiliki hak untuk hidup seperti yang tercantum dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi”

Sebagai permasalahan sosial, pelecehan dan tindak kekerasan seksual hingga kini sudah banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik oleh orang dewasa maupun lanjut usia, dan dari kebanyakan korbannya adalah anak-anak. Umumnya dilakukan oleh orang-orang yang masih memiliki hubungan dekat atau sudah kenal baik dengan korban, baik hubungan keluarga maupun tetangga, ataupun hubungan antara pelaku dan korban yang sudah saling mengenal sebelumnya.

Sangat amatlah disayangkan dan menggerus hati setiap insan manusia apabila terdapat anak-anak di bawah umur yang menjadi korban dari tindak keji pelecehan seksual. Karena dampak dari pelecehan seksual bagi korban juga cukup menjadi perhatian serius karena anak akan memiliki dorongan untuk bunuh diri, trauma secara seksual, gangguan fungsi reproduksi, perilaku anak yang cenderung berubah, dampak psikologis pada anak, luka secara fisik, penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan dan stigma negatif dari masyarakat.

Kita selayaknya sebagai manusia yang beriman dan berbudi luhur dapat melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila anak menjadi korban kekerasan seksual dengan memperhatikan tanda-tandanya seperti anak terlihat murung dan tidak semangat untuk menjalani hidup, berbicara atau bertanya seputar pelecehan seksual, berjalan tidak seperti biasanya, menunjukkan perilaku seksual yang melebih usianya, melarikan diri dari rumah, prestasi yang menurun, adanya perubahan nafsu makan, sering menangis, perut membesar ketika hamil dan merasa sakit di area vital atau tertularnya penyakit seperti HIV.

Maka dari itu, upaya-upaya perlindungan anak dapat dilakukan sedini mungkin agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Adanya pendidikan seks merupakan salah satu upaya untuk melakukan pencegahan (preventif) dan perlindungan terhadap anak. Pendidikan seks dapat dilakukan baik oleh orang tua maupun pihak sekolah.

Adanya penyuluhan di sekolah mengenai pendidikan seks menjadi suatu bentuk kerjasama yang dilakukan guru untuk memaksimalkan upaya pencegahan. Anak akan dididik untuk dapat mengenali dirinya dan memberikan pengertian untuk melakukan penolakan apabila terdapat orang yang dikenal atau tidak dikenal berusaha memegang atau menyentuh tubuh sensitive anak dan sedapat mungkin untuk mencoba melaporkan kejadian tersebut kepada orang dewasa terdekat apabila mengalami atau melihat terjadinya tindak pelecehan. Adanya penguatan pendidikan karakter, konseling dan interkasi yang baik antar orang tua dan anak juga dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi tindak kekerasan seksual pada anak.

Sedangkan upaya perlindungan hukum apabila terjadi pelecehan seksual termasuk kepada anak kandung maka pelaku dapat dijerat beberapa ketentuan hukum yaitu:

  1. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2016 yang berbunyi Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain;
  2. Pasal 81 Perpu Nomor 1 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah);
  3. Pasal 287 KUHP yang menyatakan bahwa. Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk kawin, diancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun;
  4. Pasal 294 ayat (1) KUHP yang berbunyi. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

Pelecehan seksual menjadi sesuatu hal yang wajib untuk dicegah dan ditangani oleh seluruh komponen masyarakat, terlebih jika korbannya menyerang anak di bawah umur. Diperlukan adanya pengawasan ekstra baik oleh orang tua, guru maupun khalayak umum akan bahaya dari tindak pelecehan seksual. Sebab anak di bawah umur masih sangat rentan untuk dikenai tipu muslihat yang pada umumnya dapat dengan mudah diiming-imingi barang atau makanan yang mereka inginkan.

Adanya upaya pencegahan yang tepat dan maksimal dapat dilakukan untuk mengurangi kasus kejahatan ini. Selain itu, dengan adanya sanksi yang jelas dan tegas diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual. Proses hukum pelaku pelecehan seksual sangat diharapkan agar mendapatkan hukuman yang seadil-adilnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian dapat menjadi sarana edukasi dan evaluasi bagi khalayak umum agar tidak melakukan perilaku keji tersebut.(*)

Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Madya pada Bapas Kelas I Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com