Kekacauan Penghitungan Suara Pilpres Berjenjang Perlu Dievaluasi

JAKARTA– Kekacauan pelaksanaan Pemilu Presiden (Pilpres) yang ditandai dengan munculnya kasus dugaan kecurangan menjadi indikasi adanya sistem Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia yang perlu dibenahi.

Hal itu dikatakan tokoh nasional, Sayuti Asyathri, saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi bertema Pilpres di Galery Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (21/07/2014) malam.

Menurut mantan Presiden Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) ini, persoalan sistem yang keliru terejawantahkan dalam teknis penghitungan suara yang rumit, sehingga menimbulkan polemik dan konflik pasca Pemilu.

Kerumitan tersebut dicontohkan Sayuti, adalah adanya aturan-aturan tambahan KPU, seperti adanya form A5 yang memperumit perhitungan yaitu memasukkan Pemilih pindahan dalam perhitungan.

“Mestinya, meskipun pemilih itu berpindah dari manapun, sekali sudah disahkan sebagai pemilih maka yang jadi acuan dalam perhitungan hanyalah C1. Dalam C1 itulah semua data yang diperlukan tersedia dan final. Karena Pemilih di seluruh Indonesia pada wktu Pemilu adanya di TPS dan hasilnya sudah terpenuhi di C1,” tutur mantan Wakil Ketua Komisi II DPRD Periode 2004-2009 ini.

Untuk mencegah terjadinya kecurangan pemilih berganda dan fiktif, kata dia, maka yang jadi acuan adalah DPT. Demikian juga soal pemilih pindahan dan pemilih nakal yang ingin menggunakan haknya di tempat lain maka cukup pengamanannya dengan tinta.

“Jadi sekali para saksi parpol setuju dengan DPT dan ikut mengawasi mencatat pemilih pindahan maka dokumen perhitungan cukup hanya C1, sebagai satu satunya rujukan selanjutnya. Adapun pemilih pindahan hanya digunakan apabila ada kasus yang mencurigakan oleh para saksi. Dengan demikian A5 hanya digunakan sebagai referensi dalam kasus bukan diikutkan dalam perhitungan sehingga menimbulkan kerumitan berjenjang,” kata Sayuti menjelaskan.

Masih menurut Sayuti, sejujurnya, cukup dengan C1 maka semua saksi dan anggota masyarakat bisa menghitung di Kecamatan masing masing, hasilnya dikirimkan ke pusat dengan bantuan IT dan selanjutnya hanya proses penjumlahan komputer yang sangat sederhana.

“Dengan cara ini hasil pemilu bisa ditetapkan paling lambat lima hari,” ujarnya.

Masalahnya, imbuh Sayuti, karena tidak menggunakan methode tersebut, yakni memasukkan soal pemilih pindahan dalam perhitungan berjenjang, maka seolah olah ada pemilih baru yang berubah ubah pada setiap jenjang.

“Hal ini tentunya aneh karena pemilih itu hanya ada di TPS dan hanya sekali pendataan hasil pemilu di C1 secara langsung. Rekapitulasi hanya sekali saja satu tingkat di atasnya yang pertama, yaitu di Kecamatan. Sesudah itu langsung ke Pusat dan di situlah penjumlahan rekap Kecamatan seluruh Indonesia,” tukasnya

Lebih lanjut dikatakan Sayuti, perhitungan berjenjang dengan methode yang rumit itulah pintu masuk kemungkinan perubahan suara. Hal itu membuat para peserta pemilu kehilangan kemampuan untuk mengaitkan dan menelusuri jejak C1 sebagai dasar referensi utama,
“Kehilangan jejak untuk kembali merujuk ke C1 inilah malapetaka dalam perhitungan hasil pemilu yang menibulkan sengketa hasil pemilu,” imbuhnya.

Dia berharap, sekaranglah saatnya untuk semua otoritas kepentingan politik nasional membangun tekad untuk mengembalikan Pemilu kepada pemilih, yaitu kembali ke C1, atau kembali ke asalnya sebagai pusat referensi yang paling absah.

“Dengan demikian maka perhitungan perhitungan pemilu bisa kembali kefitrahnya, yakni ke rakyat pemilih yang menitipkan amanat dan harapan hidupnya pada setiap suara yang diberikan, ” pungkas tokoh nasional yang kini lebih banyak berkiprah di bidang sosial dan pemberdayaan masyarakat. (ded)

Redaktur: Rudi F

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com