Misi Sokola Rimba, Pengetahuan adalah Senjata Menghadapi Perubahan

“AKU mengajar disekolah ini namun sesungguhnya Aku yang banyak belajar” mungkin inilah kalimat pamungkas dari Butet Manurung (Prisia Nasution) yang sarat makna saat film “Sokola Rimba” selesai diputar.

Mira lesmana dan Riri Reza sukses menggarap “Sokola Rimba” untuk tidak menjadi the another “Laskar Pelangi” meski ke duanya memiliki beberapa persamaan. Hitung saja : Sama-sama film yang diangkat dari Novel, sama-sama mengangkat thema pendidikan, sama-sama mengangkat cerita tentang kaum marjinal yang terdesak arus modernitas dan sama-sama melibatkan banyak aktor-aktris anak-anak yang bukan profesional, sama-sama digarap oleh tokoh-tokoh yang berambut bergelombang.

Ada joke ringan di kalangan pecinta film Indonesia, kalau Miles Production itu sukses di laskar pelangi karena digawangi mereka-mereka yang berambut kriting, baik mira lesmana ataupun riri reza, sang pengarang andrea hirata, media promo acara kick andy yang hostnya juga kribo, kali ini pun Butet Manurung aslinya berambut ombak indah.

Sebenarnya mudah saja untuk menempelkan resep “Laskar Pelangi” pada alur “Sekola Rimba” toh nama besar Miles Production sudah bisa menjadi jaminan mutu suksesnya film ini. Namun ternyata “Sokola Rimba” cukup mengejutkan, sebab diceritakan ternyata kehidupan aktivis itu tak sesuci yang banyak dibayangkan orang. Kadang kala pelacuran diri dan idealisme dilakukan guna mempertahankan aliran dana dan ini ditampikan secara terbuka didalam “Sokola Rimba”.

Akting polos anak-anak orang rimba dari di bantaran sungai Makekal hutan Bukit Dua Belas ini menyedot perhatian penonton, karena terlihat betapa tulus dan besar keinginan belajar mereka. Nyungsang Bungo termotivasi untuk bisa baca tulis karena merasakan ketidakadilan orang terang (istilah orang rimba untuk pendatang) yang mengekplotasi lahan adat milik sukunya dengan hanya diganti bebrapa kaleng biskuit, rokok, kopi dan gula.

Betapa lagi-lagi dibumi Indonesia ini, yang sudah merdeka 68 tahun ini masih terjadi penjajahan dan perampasan hak. Serta mirisnya yang menjadi “Raja Penyakit” alias sang penjajah adalah bangsa sendiri. Begitu teganya terjadi “pemerkosaan”hak dan kesempatan yang dilakukan kita terhadap sesama bangsa sendiri. Semua itu terpotret dalam “Sokola Rimba”

Akhirnya meski film ini agak kentang di alur (minim ketegangan) namun secara keseluruhan bisa dibilang film ini “Melawon” bahkan double “Melawon” (bagus – red). (Lia)

Redaktur: Aristianto Zamzami

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com