Waroeng Toeli; Menari Berdasarkan Alunan Degup Jantung

YOGYAKARTA – Sewajarnya, orang menari dengan diiringi alunan irama musik. Apalagi menarikan tari modern bergenre brigdance. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku bagi penyandang tuna rungu yang tergabung di sebuah komuinitas di Langenrejan Lor, Panembahan, Keraton, Yogyakarta yang bernama Waroeng Toeli.

Pendirinya bernama Broto Wijayanto. Seorang guru di SMKI, anggota taeater Gandrik, dan juga penggagas Deaf Art Community ini, menggandeng orang-orang tuli untuk meramaikan panggung seni di Yogyakarta.

Inisiatif Broto untuk mendirikan Waroeng Toeli ini, awalnya sebagai wadah untuk mengajari orang-orang tuli bagaimana cara bersosialisasi di masyarakat dengan bahasa isyarat saja. Namun semakin ke sini, para penyandang tuli meminta lebih. Mereka tertarik kepada dunia seni dan kerajinan.

“Mereka ngotot ingin bilang kepada masyarakat, kalau penyandang tuli bisa melakukan apapun seperti yang orang normal lakukan,” katanya.

Broto yakin, keterasinganlah yang membuat Waroeng Toeli ini banyak diminati oleh para penyandang tuna rungu. Anggotanya hingga sekarang mencapai 30 orang dari segala usia, kata Broto, untuk hidup berdampingan di masyarakat, orang tuli kerap terkendala komunikasi. Oleh karena itu, ia juga mengajarkan bahasa isyarat kepada orang tuli dan juga orang normal yang mau peduli.

“Menari ini cuma salah satunya, yang terpenting bagaimana mereka bisa berbahasa isyarat,” ujarnya.

Untuk mengajari bahasa isyarat kepada penyandang tuna rungu memang tidak begitu sulit, namun mengajari brigdance, lain lagi. Broto musti sabar dan perlu waktu yang tidak sebentar. Pasalnya, kata Broto, orang-orang tuna rungu di Waroeng Toeli sama sekali tidak bisa mendengar musik.

Namun Broto yang tak kehabisan akal mencoba mengajarkan mereka menari dari dalam. Artinya para penyandang tuna rungu itu memainkan musik dari degup jantungnya sendiri. Sekalipun tidak mendengar musik mereka diminta menciptakan irama sendiri.

“Ya susah. Lucu dan kadang marakke emosi. Ya karena mereka tidak bisa mendengar. Tapi dengan tekad dan kemauan yang kuat mereka akhirnya bisa,” ujarnya.

Tak tanggung-tanggung, Januari 2013 para penyandang tuna rungu ini pernah terpilih mewakili Indoensia, membawa misi pengajaran untuk mengurangi resiko bencana lewat brigdance yang ditampilkan di Swiss.

“Mereka memiliki keinginan yang sama seperti orang-orang normal lain. Mereka juga bisa melakukan banyak hal, namun dengan cara yang berbeda,” kisahnya.

Salah satu penyandang tuna rungu yang juga ikut terbang ke Swiss adalah Stevani Kusuma Raharja (23), lewat bahasa isyarat yang dikuasainya, Setvani mengatakan keinginnanya untuk menyebarluaskan bahasa isyarat kepada semua orang, agar penyandang tuna rungu yang otmatis tuna wicara bisa berkomunikasi dengan orang lain.

Konferensi yang ia ikuti di Swiss pun memotivasi dirinya agar kaum difabel bisa tanggap bencana dan tahu apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana. Terkait menari Stevany memanfaatkan degup jantung dan gerakannya sendiri utnuk menciptakan alunan musik. (ynr)


Redaktur: Azwar Anas

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com