Oleh: Ari Pradana*
TADI siang saya melihat mahasiswa aksi menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sudah diputuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mahasiswa berorasi di pertigaan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menyuarakan aspirasi rakyat yang menolak kebijakan pemerintah yang dinilai menyengsarakan masyarakat.
Para demonstran memblokir jalan dengan membakar ban bekas dan menghentikan sebuah mobil boks, sehingga menyebabkan kemacetan panjang di Jalan Laksda Adisutjipto atau Jalan Solo. Beberapa pengguna jalan bahkan marah dan sempat adu mulut dengan mahasiswa. Aksi itu berujung bentrok.
Ada hal yang menarik dan menjadi perenungan saya, ketika seorang demonstran memberi pertanyaan kepada saya, “Mas, rugi mana kena macet sebentar karena aksi kami (mahasiswa, pen) disbanding rakyat menjadi miskin dalam waktu lama karena kenaikan harga BBM?”. Tanya mahasiswa itu. Saya tak menjawab panjang dan hanya mengatakan “lanjutkan perjuanganmu,” kataku.
Di jalan menuju pulang, saya terus berpikir mencari jawaban pertanyaan aktivis mahasiswa yang demo tadi. Sesungguhnya demonstrasi mahasiswa itu bukanlah tindakan kriminal, karena bebas menyatakan pendapat dijamin dalam UUD 45 pasal 28. Namun bagi kebanyakan masyarakat yang kebetulan lewat saat mahasiswa berdemo dan memblokir jalan, tidak berpikir jika jumlah korban macet tidaklebih dari 1% warga Negara Indonesia. Padahal akibat kenaikan harga BBM, jutaan rakyat di pelosok negeri yang barangkali tak pernah menginjakkan kaki di jalan tempat mahasiswa demo, terkena imbasnya.
Harga BBM naik pasti memicu inflasi, harga kebutuhan pokok naik, sementara taraf ekonomi rakyat masih rendah. Kendati ada jaminan sosial berupa kartu tri sakti, Kartui Indonesia Sejahtera (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), tidak menjamin mampu meningkatkan daya beli masyarakat. Jaminan-jaminan itu tidak berbeda dengan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang diberikan kepada masyarakat di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketika menaikkan harga BBM. Itu tidak terbukti mampu meningkatkan daya beli masyarakat.
Mengenai alasan pemerintah mengalihkan subsidi untuk membangun infrastruktur seperti jalan, rel kereta api, bandara, pelabuhan dan sebagainya, seolah pak Jokowi secara tak langsung hendak mengatakan rakyat selama ini melakukan pemborosan BBM, atau pemborosan APBN. Padahal masyarakat tentunya paham jika anggaran APBN, bahkan APBD, lebih banyak tersedot untuk belanja Negara (seperti gaji dan tunjangan PNS). Di sisi lain Mafia Migas justru ada di lingkaran pemerintah. Hal menarik lainnya, Pak Jokowi di forum APEC seolah mengobral tender pembangunan infrastruktur di Indonesia kepada investor asing. Sementara untuk menggunakan hasil pembangunan tersebut, rakyat harus membayar juga (dikomersialisasikan). Nah, bukankah kalau berhitung untung rugi, tentunya Asing yang lebih diuntungkan?
Belum lagi soal alasan kenaikan BBM Rp 2000 akan mengurangi angka penyelundupan BBM karena margin keuntungan jadi tipis dan bersiko bagi penyelundup. Itu juga sangat tidak masuk akal untuk mengurangi pemborosan BBM. Bagaimana dengan dipermudahnya produksi mobil murah yang digarap asing? Atau impor mobil mewah ber kapasitas BBM besar seperti Lamborghini, Ferarri, atau Harley Devidson? Tidak jaminan BBM naik para penghobi kendaraan ‘wah’ tersebut berhemat BBM untuk touring.
Kenaikan harga BBM Rp 2000 juga akan menguntungkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Asing seperti Chevron, Exxon, Total, Petronas, dan sebagainya. Sebab, selama ini SPBU asing memang tidak menjual BBM bersubsidi seperti pertamina. Nah dengan terus dikuranginya subsidi BBM harga lama-lama akan sama. Tapi ingat, SPBU asing mengelola sumur minyak di Indonesia yang lebih banyak dari pertamina, sehingga produksinya bisa terus meningkat dan lama-lama bisa ‘melibas’ Pertamina dengan menjual BBM yang lebih rendah. Kalau sudah begitu, lagi-lagi siapa yang diuntungkan?
BBM kenaikkannya Rp 2000, tapi akan menaikkan total pengeluaran masyarakat 30-40 persen. Hal itu akibat naiknya ongkos transportasi dan harga-harga kebutuhan bahan pokok. Misalnya kalau kebutuhan sebulan biasanya Rp 2 juta, maka akan naik menjadi 2,6 -2,8 juta . Tentu bagi kalangan mampu, yang terjadi hanya pengurangan kekayaan, namun bagi yang tidak mampu, tentu akan sangat memberatkan. Bisa menciptakan hutang baru atau melipatgandakan jumlah utang untuk menyambung hidup.
Pemerintah yang mencabut BBM karena alasan utama APBN kurang untuk melaksanakan program-program pemerintah dan karena beban fiscal (hutang luar negeri), tentu tidak adil bagi sebagian rakyat Indonesia yang tidak mampu. Mengalihkan beban fiskal Negara karena pemborosan yang dilakukan oleh lingkaran pemerintah sendiri dan terlalu melayani kepentingan asing seperti WTO dan IMF, jelas tidak adil bagi rakyat Indonesia.
Jadi saya berpikir, aksi demonstrasi mahasiswa yang memblokir jalan tadi adalah perjuangan yang luar biasa. Memang mereka anarkis atau tidak mengaklui pemerintah, karena pemerintah telah mengkhianati rakyat dengan mencabut subsidi yang menjadi hak rakyat. Mereka menyadari jika kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sedang dirongrong asing. Mereka sesungguhnya yang meneladani para pahlawan bangsa yang rela berkorban jiwa raga untuk mempertahankan Pancasila, UUD 45, dan NKRI dari penjajahan bangsa asing. (*)
*Penulis adalah wirausahawan di Yogyakarta, alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)