Oleh: Muhammad Mu’alimin*
Bagi kaum ‘pemuja’ formalitas, benar 17 Agustus adalah hari kemerdekaan untuk Indonesia. Kemerdekaan yang hanya sebatas ‘badaniah – fisik’ yang seolah terbebas dari jeratan rantai, padahal jiwa dan kebebasannya ‘tercekik’ tanpa mereka sadari. Sebenarnya siapa yang butuh perayaan atau upacara formalitas? Bukan itu yang diharap Soekarno – Hatta!.
70 tahun Indonesia merdeka, APBN untuk pendidikan minimal 20% dan didukung pendakwah dari 6 agama formal nyatanya belum mampu mendidik – membentuk anak bangsa menjadi manusia – manusia merdeka. Bukankah agama lahir untuk menyingkirkan belenggu kebodohan dan membentuk akhlak anti – penindasan?
Mereka ‘terjajah’ secara jiwa, banyak diantara mereka yang tidak sadar atas hal itu. Bagaimana mungkin merdeka jika adik – adik kita sedang karnaval dilarang memeragakan simbol PKI, memangnya hanya dengan mengenang partai tersebut lantas mereka secara otomatis menjadi simpatisan atau bibit PKI? Tentu tidak begitu kan?!
Aku mengerti gerakan dan faham berbau Komunis, Leninisme, Stalinisme atau Maoisme dilarang, tapi ini kan peragaan, istilahnya cuma upaya mengenang kembali. Suatu upaya anak bangsa untuk mengenang kembali kekejaman suatu Partai supaya kelak ketika tumbuh dewasa mereka tahu betul jika faham sejenis PKI bertentangan dengan agama dan Pancasila. Janganlah bangsa ini terus – menerus terjebak kenangan pahit yang memilukan hati. Indoensia harus move on. Kita harus mengutamakan rasionalitas, bukan emosional. Kalau di film “Gie” simbol dan gerakan PKI boleh dipertunjukkan/diperagakan, kenapa untuk karnaval dan dalam rangka mendidik siswa sekolah tidak? Kenapa kalau didunia film bisa? Ada apa sebenarnya ini?
Diakui atau tidak, faktanya PKI pernah mewarnai kenangan dalam sejarah negara ini, meskipun itu kenangan berdarah – darah. Sebenarnya lebih kejam orde atau PKI? Siapa yang membunuh – membantai paling banyak? Sejahat – jahatnya PKI dia tak pernah ‘meng-karungi’ mahasiswa yang kritis. Seberapapun kita membenci PKI, tapi dia tak pernah ‘menjilat’ Kapitalis Amerika Serikat hingga negara ini menumpuk utang yang jumlahnya ribuan Trilyun.
Padahal faham yang lebih bahaya bukanlah atheisme, tapi Polytheisme. Yaitu mereka yang katanya ‘Bertuhan’ tapi nyatanya menciptakan ‘tuhan – tuhan baru’ dalam dirinya alias bertuhan banyak. Tuhan tandingan itu berupa ketergantungan pada Bangsa lain, elit pejabat yang sewenang – wenang, atau mereka yang menggantungkan hidupnya pada fashion, gadget, merk atau faham ‘biar dipandang orang’ alias gengsi. (baca : ayat kedua surat Al – Ikhlas).
Janganlah terlalu gampang teriak merdeka. Karena bagaimana mungkin dikatakan merdeka jika dari Presiden, Gubernur, Ustadz, petani, guru hingga tukang ojek atau hampir 80% rakyat dinegeri ini menggunakan mobil – motor buatan mantan penjajah kita sendiri, Jepang. Jika kemerdekaan berarti independen dalam mengusahakan diri bangsa ini atas kemauan sendiri, maka saat ini kita masih dalam kondisi ‘keterjajahan’. Parahnya, penjajahan itu dilakukan oleh ‘saudara’ kita sendiri. Dan ‘saudara’ macam apa yang menjual gunung emas – tembaga – uranium pada kapitalis Amerika (Freeport)?.
Jika hari ini kau masih saja teriak merdeka, apa kau tidak malu? Bagaimana mungkin dalam kondisi stabil begini kurs Rupiah mendekati 1.4000 / dollar USA? Ini bukan masa kegentingan politik bung!. Jika Soeharto lengser karena rupiah anjlok dalam kisaran 16.000 / USD, dan mungkin sebentar lagi Rezim Jokowi mengulangi ‘ketidakbecusan’ menjaga kenaikan harga barang – barang pokok untuk perut rakyat. Maka tidak ada kata yang lebih sopan dari mulut rakyat kecuali turunkan orang yang bertanggungjawab atas kesengsaraan rakyat.
Merdeka apanya? Kau lebih bangga makan KFC ketimbang Warteg bukan?. Masjid – masjidmu masih pakai karpet impor dari Turki?. Pesawat Kepresidenanmu saja buatan Boeing milik Amerika Serikat padahal kita punya pabrik pesawat di Bandung. Jadi bagian mana yang kamu teriaki merdeka? Dari celana dalam hingga BH-mu saja buatan China kok teriak merdeka, merdeka apanya? Kau ini munafik atau bagaimana? Kalau mau merdeka buang mental gengsi dan sok kaya yang ada dalam dirimu!.
Kau ini sok – sokan teriak merdeka atau cuma merasa merdeka? Bangun pagi kau makan nasi berasnya impor dari Vietnam. Kau mandi sabunmu buatan Unilever. Kau berangkat kerja naik bus buatan Jerman. Guru ngaji anakmu sholatnya pakai sajadah buatan Kashmir – Pakistan. Sampai anakmu yang jadi mahasiswa, yang menyebut dirinya aktivis kalau haus usai unjuk rasa minumnya AQUA, padahal ada merk lain yang rasanya sama dan harga lebih murah.
Harusnya diumur negara yang sudah memasuki 70 tahun ini bukan bicara lagi teriak “Merdeka”. Itu sangat kekanak – kanakan. Detik ini mari kepalkan tangan dan ‘sentil’ kuping Presiden agar dia dengar suara teriakan perutmu yang lapar. Pembangunan nasional tidak hanya diukur dari banyaknya anggaran dan tingkat pertumbuhan ekonomi, bahwa selain makan dan minum, rakyat butuh ‘diajari’ arti kemerdekaan yang sesungguhnya.
Kemerdekaan tidak lahir dari formalitas atau kampanye ‘sok merdeka’. Kemerdekaan bukan diukur perginya tentara asing dari tanah pertiwi. Kemerdekaan tidak diukur dari meriahnya lomba – lomba atau karnaval tujuh belasan. Kemerdekaan tidak pula berupa “taatnya” upacara bendera yang dilaksanakan dengan rapi dan disiplin, itu merdeka yang palsu!.
Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah ketika Jokowi, Menteri dan Anggota DPR atau semua orang di negeri ini sadar, jika selama mata dan cara pandang kita masih terjebak pada apa – apa yang terlihat (matrealisme) atau seolah – olah sudah terasa merdeka, maka itu belum merdeka. Jika fikiranmu masih ‘terpasung’ badaniah formalitas, maka kau tak pernah mampu mengerti arti kemerdekaan.
Kau tak mungkin merdeka jika lebih bangga bekerja keras menjadi Paskibraka demi ‘pertunjukan’ 90 menit di depan Presiden ketimbang memilih berkeringat membantu nenek – nenek nyebrang jalan. Kau tak mungkin bisa merdeka jika lebih merasa terhomat membuang bungkus Humburger di pinggir jalan saat menonton “Gerak Jalan” padahal kamu melihat “Pak Samin” si petugas kebersihan dengan pakaian gembel sedang menyapu jalanan.
Kita belum merdeka karena setiap orang masih dijajah oleh dirinya sendiri. Banyak dari kita merasa bangga jika berjalan pakai Pantovel mengkilat dan berteriak “inilah aku Pejabat Terhormat” atau “inilah aku Sang Direktur” sedangkan 2 meter disampingnya ada gembel sedang mengemis. Kita tak mungkin merdeka jika kaum agamawan (Ustad, Pastur atau Pendakwah) dengan bangga turun – keluar dari tempat ibadah sembari berteriak “inilah aku orang Baik” padahal di depannya ada anak putus sekolah sibuk mengantongi botol AQUA sisa pengajian – jemaat.
Jika semua fakta itu masih “tgenang – tenan saja” berlangsung didepan matamu. Maka jangan kau teriak “merdeka”, karena kalau kau bukan seorang munafik berarti kau orang yang tak tahu diri sekaligus manusia yang tak tahu malu. Salam ‘’Kemerdekaan’’ Omong – Kosong!
*Ketua DPC PERMAHI Jakarta Selatan – Ketua Umum HMI Komisariat Universitas Al Azhar Indonesia