Oleh: M. Setiyawan*
Pandemik Corona virus diseases 2019 (Covid-19) bukan merupakan pandemik yang pertama kali terjadi di dunia. Saat ini banyak yang membandingkan Covid-19 dengan Pandemik 1918 (Flu Spanyol) sebagai peringatan keras agar masyarakat tetap berhati-hati. Konon, meledaknya angka kematian akibat Flu Spanyol 1918 justru pada gelombang kedua menjelang tahun 1919, disaat orang sudah tidak lagi nyaman di rumah saja.
Pandemik Flu Spanyol adalah Pandemik Influenza kategori 5 yang mulai menyebar di Amerika Serikat, muncul di Afrika Barat dan Prancis, lalu menyebar hampir ke seluruh dunia. Penyakit ini disebabkan oleh Virus Influenza Tipe A subtipe H1N1. Kebanyakan korban Flu ini adalah orang dewasa dan muda. Pandemik ini berlangsung dari rentang waktu Maret 1918 sampai Juni 1920, pasca meredanya Perang Dunia I. Flu itu enyebar sampai ke Arktik dan kepulauan Pasifik. Karena sangat sulit ditanggulangi oleh berbagai negara di seluruh dunia, para pimpinan tiap negara sampai membuatkan hukum seperti pelarangan berjabat tangan di Arizona karena sangat mudah menyebarnya. Itu mirip dengan protokol physical distancing sebagai protokol memutus mata rantai penyebaran Covid-19 saat ini.
Angka kematian akibat Flu Spanyol diperkirakan 50 sampai 100 juta orang di seluruh dunia. Menurut Colin Brown dalam “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia”, korban Flu Spanyol di Indonesia (saat itu masih dalam jajahan Belanda), sebanyak 1,5 juta jiwa. Statistik dalam Koloniaal Verslag menginformasikan, Flu Spanyol mengakibatkan peningkatan persentase angka kematian di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga dua kali lipat, bahkan lebih. Namun menurut data mortalitas dalam Handelingen van den Volksraad tahun 1918, pada November 1918 sebanyak 9.956 orang meninggal karena kolera, 909 karena cacar, 733 karena pes. Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding jumlah korban Flu Spanyol di bulan yang sama, 402.163 jiwa. Artinya ada data yang tidak sama. Tidak diketahui pasti berapa jumlah korban Flu Spanyol di Hindia mengingat jumlah penduduk Indonesia saat itu belum diketahui pasti dan sensus pertama baru diadakan pemerintah kolonial pada 1920 sehingga besar kemungkinan korban Flu Spanyol di daerah-daerah terpencil tidak tercatat.
Catatan sejarah tersebut juga perlu dikritisi dengan pembanding literatur sejarah lainnya. Jika kematian di Indonesia 1,5 juta jiwa, maka apakah itu akibat Flu Spanyol atau karena Tindakan represif penjajah Belanda? Mengingat, di tengah Pandemik Flu Spanyol bibit-bibit perlawanan para tokoh nasional semakin bersemi. Pada tahun 1918 sosok sastrawan Abdul Muis dan Haji Oemar Said (HOS) Cokro Aminoto menjadi sosok yang menorehkan perlawanan melalui jalur diplomasi. Waktu itu, pemerintah Hindia-Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat), yakni semacam DPR pada zaman sekarang. Isinya adalah 39 anggota, seorang ketuanya ditunjuk oleh Ratu di Belanda sana, ketuanya adalah JC Koningsberge. Komposisinya lebih banyak orang Belanda dan Timur Asing ketimbang orang pribumi. Orang pribumi berjumlah 15 orang yakni 10 orang dipilih dan 5 orang diangkat. Orang Belanda dan Timur Asing (China dan Arab) berjumlah 23 orang, 9 orang dipilih dan 14 orang diangkat.
Kedua tokoh pergerakan yang dicap radikal oleh Pemerintah Hindia Belanda tersebut tidak puas terhadap Volksraad. Pasalnya, kewenangan Volksraad terbatas sebagai badan penasihat saja, bukan seperti DPR pada era kini yang bisa bikin undang-undang, punya kebijakan anggaran, dan mengawasi pemerintahan. Pada tanggal 25 November 1918, keduanya pernah mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar membentuk parlemen yang anggota-anggotanya yang dipilih sendiri oleh rakyat (Gamal Kamandoko:2006). Mereka menggalang dukungan kalangan tokoh pergerakan dengan mengabaikan social ataupun physical distancing sebagai protokol pencegahan Pandemic Flu Spanyol. Meski usulan pada akhirnya tidak dikabulkan Belanda, namun hal itu menjadi semakin menancapkan tonggak perjuangan kemerdekaan melalui jalur diplomasi.
Masih dalam masa Pandemik Flu Spanyol gelombang kedua, pada Mei 1919, Abdul Muis, yang juga pimpinan Central Sarekat Islam (CSI) sekaligus anggota Volksraad, melakukan kunjungan ke Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Di sana ia bertemu dengan anggota SI lokal dan menyampaikan pidato di sejumlah vergadering atau rapat akbar. Dalam rapat itu Abdoel Moeis membuat seruan,
“Tapi kita tidak maoe diperintah sebagai boedak. Mengerdjakan boeatan jang tidak bergoena bagi kita minta soepaja diakoei sebagai orang merdeka!”.
Seruan tersebut membuat anggota SI yang sebagian besar juga terlibat kerja-paksa, melakukan mogok kerja. Ya, mereka mogok Kerja, bukan “Stay at Home” karena Pandemik Flu Spanyol.
Pidato Abdoel Moeis makin mengeraskan hati rakyat untuk menolak kerja-paksa. Apalagi, saat itu rakyat sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Pidato itu kemudian didengar oleh controlir. Karena itu, pada tanggal 31 Mei 1919, Controlir memerintahkan hukuman terhadap para pembangkang dan dikirimlah empat orang polisi untuk menangkap para pekerja paksa yang membangkang. Situasi itulah yang memicu kemarahan rakyat Salumpaga. Dengan teriakan, “Allahu Akbar!”, seorang tokoh SI, Haji Hayun memimpin rakyat Salumpaga menyerang Controlir dan pengawalnya. Pemberontakan Toli-Toli menyita perhatian penguasa kolonial. Termasuk di Batavia. Sebagai tindak lanjut peristiwa itu, penyelidikan kolonial kemudian menyeret nama Abdoel Moeis. Asisten Residen Manado Van Der Jagt, yang membawahi Toli-Toli, menuntut agar pengadilan tidak hanya menyeret para ‘pelaku yang berkelewang’, tetapi juga pelaku-pelaku intelektual yang menyulut pemberontakan yang secara tidak langsung langsung menunjuk Abdul Muis. Upaya kaum konservatif Belanda untuk menjerat Abdul Muis berhasil. Ia diseret ke pengadilan raad van justice. Tuduhannya menyampaikan pidato yang provokatif sehingga menyebabkan kerusuhan. Tak hanya itu, SI kemudian dianggap bertanggung jawab atas kerusuhan ( Djurait Abdoel Latif:1996)
Tanpa peduli bahaya Pandemik Flu Spanyol, perlawanan terhadap belanda juga dilakukan oleh masyarakat Tanah Karo Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kiras Bangun. Ia adalah seorang kepala adat dan pemimpin “Pasukan Urung”, sebuah pasukan bawah tanah yang dihimpun dari kampung-kampung. Di bawah kepemimpinannya para pemuka kampung Bersatu dan bersekutu dengan Aceh Darussalam untuk melawan Belanda. Lantaran kewalahan menghadapi pasukan Urung yang diperkuat pasukan Sabil dari Aceh yang memberontak sejak 1904, Belanda akhirnya menerapkan strategi liciknya. Belanda mengajak Kiras Bangun Berunding pada Tahun 1919. Namun saat berunding, Kiras Bangun ditangkap, dan dibuang ke Cipinang, dan akhirnya wafat pada usia 90 tahun (Angga Priatna&Aditya Fauzan Hakim:2013). Tentu saja pemimpin yang berjuluk “Gara Mata” (Si Mata Merah) itu wafat bukan karena Flu Spanyol !
Pemberontakan terhadap Belanda di tengah Pandemik Flu Spanyol juga terjadi di Kabupaten Garut Jawa Barat, pada Juli 1919. Adalah KH Hasan dan santri-santrinya melawan kebijakan sistem penjualan padi setelah kejadian gagal panen pada tahun 1919. KH Hasan dari Kampung Cimareme, Desa Cikendal, Kecamatan Leles, mempertahankan tanahnya dari tangan kolonial Belanda Sikap KH Hasan mendapat dukungan SI. KH Hasan terus menggalang dukungan di lingkungan keluarganya untuk perang sabil. Hingga pada akhirnya. Senin 7 Juli 1919, rombongan infanteri Belanda dengan bersenjata menyerbu pesantren KH Hasan yang tengah menggelar dzikir bersama para santrinya. Beliau wafat ditembak serdadu Belanda bersama para pengikutnya. Ia mati bukan karena Pandemik Flu Spanyol, melainkan saat berjuang di jalan kebenaran. Peristiwa ini menjadi penting, karena membawa pengaruh besar dalam permulaan abad ke-20.
Para pahlawan yang tetap berjuang di tengah pandemik, tak mentaati protokol kesehatan yang diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda, adalah bukti bahwa bangsa kita adalah Bangsa Besar, tak mau dikurung. MERDEKA! (*)
*Penulis adalah penggiat Forum Muda Lintas Iman Yogyakarta (Formuliyo).
Sumber Bacaaan:
Djurait Abdoel Latif, 1996, Pemberontakan SI Salumpaga, Tolitoli 1919, Tesis, Yogyakarta: Pasca Sarjana UGM.
Kamandoko, Gamal. 2007. Kisah 124 Pahlawan & Pejuang Nusantara. Yogyakarta:Pustaka Widyatama
Priatna,Angga & Hakim,Fauzan,Aditya.2013.Nama dan Kisah pahlawan Indonesia dari masa VOC, Hindia Belanda, Jepang, hingga masa Pembangunan. Jakarta:PT. Trans Media.