Anggaran Arsip Nasional, Kepemimpinan, dan Siasat

DALAM warisan luhur budaya Jawa, kita mengenal filsafat Hanacaraka Datawasala Padajayanya Magabathanga, yang bila dipilah berdasarkan alphabet artinya adalah bahwa manusia memiliki asal-usul penciptaan (hana) dan dibekali dengan lima modal dasar untuk menjalani kehidupan yaitu cipta (ca), rasa (ra), karsa (ka), nafsu (datawasala), dan hati nurani (padajayanya) agar hidupnya selamat dunia-akhirat (magabathanga, manunggaling kawula gusti). Konsepsi ini jelas berisikan tentang filsafat manusia. Lantas apa relevansinya antara Filsafat Hanacaraka dengan anggaran, kepemimpinan, dan siasat sebagaimana judul diatas? Berikut uraian singkatnya.

Mahmud Thoha, dalam bukunya Paradigma Baru Ilmu Sosial dan Humaniora (2004), secara ilmiah telah menemukan benang merah antara Filsafat Hanacaraka dengan teori organisasi dan manajemen. Dalam struktur organisasi, lazim kita temui beberapa unsur, antara lain ketua dan bendahara. Menurut Thoha, “Unsur cipta berkaitan dengan akal dan pengetahuan, sedangkan ketua suatu organisasi tentulah orang yang dianggap paling tahu kemana dan bagaimana organisasi akan diarahkan. Akal dan pengetahuan digunakan untuk membuat perencanaan. Unsur karsa (ruh) yang berpusat di jantung berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Fungsi bendahara juga mirip seperti itu, yaitu mendanai atau membiayai organisasi agar tetap hidup”. Dengan demikian, seorang pimpinan, dalam konsepsi Hanacaraka, haruslah seorang yang cakap dalam mengolah akal dan pengetahuan hingga mampu menghasilkan suatu perencanaan yang baik. Selain itu, ia sadar bahwa pendanaan merupakan faktor penting bagi kehidupan organisasi. Tanpa pendanaan, rencana organisasi yang telah dibuat, akan sulit untuk dilaksanakan.

Anggaran Terus Menurun, Apa Sikap Lembaga?

Arsip Nasional merupakan sebuah lembaga yang menjalankan tugas negara di bidang kearsipan. Dengan rentan kendali binaan yang terbentang dari Merauke hingga Sabang, membangun sistem, pengembangan sumber daya manusia, mengurusi urusan arsip yang bersifat perorangan hingga kelembagaan, dan yang tidak kalah penting adalah mencari dan menyelamatkan arsip bernilai sejarah, wajar bila tugas penyelenggaraan kearsipan secara nasional bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Ketidakmudahan itu semakin meluas manakala publik masih menempatkan urusan kearsipan pada urutan bawah. Setali tiga uang dengan sikap publik, perhatian Pemerintah terhadap urusan kearsipan dan lembaga kearsipan pun masih minim. Hal itu bisa dilihat dari tidak masuknya urusan kearsipan pada program prioritas perencanaan pembangunan nasional dari masa ke masa (padahal kearsipan masuk dalam komponen pendukung usaha percepatan reformasi birokrasi 2010-2014) dan terus menurunnya jatah anggaran operasional untuk Arsip Nasional dari tahun ke tahun.

Tahun 2013, anggaran Arsip Nasional sebesar Rp 152.778.989.000. Jumlah tersebut kemudian terkena pemotongan sebesar Rp 22.525.456.000. Sehingga total anggaran yang diterima menjadi Rp 130.253.532.000. Kemudian anggaran tahun 2014 sebesar Rp 125.605.418.000 dan kembali di pangkas Rp 19.899.707.000 sehingga total yang diterima Arsip Nasional hanya Rp 105.705.711.000. Dalam kurun waktu 2013 dan 2014 anggaran Arsip Nasional dikurangi Rp 25.000.000.000. Terus dikebirinya jatah anggaran untuk Arsip Nasional ini tentu bukanlah tanpa latar belakang. Penyebab dari terus berkurangnya jatah anggaran untuk Arsip Nasional tidak bisa seutuhnya di dapat dari hanya mendengar rasionalisasi Pemerintah. Bila itu satu-satunya cara untuk mencari tahu, maka jawaban klise yang di dapat: penghematan APBN. Padahal, setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa anggaran suatu lembaga terus dikurangi, pertama, anggaran yang diajukan minim proyek. Ini menjadi alasan bagi oknum anggota dewan tidak melirik anggaran yang diajukan karena dinilai tidak ada yang bisa “dimainkan”. Kedua, tidak memiliki program primadona yang bisa diajukan dalam postur anggarannya. Ketiga, tidak berdaya secara politik. Artinya, lembaga pengusul anggaran tidak memiliki pengaruh dalam pola relasi antar kelembagaan dan masyarakat sehingga kehadiran dan perannya tidak dirasakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dengan anggaran yang diterimanya itu, Arsip Nasional melakukan penghematan dalam kegiatan operasionalnya, mulai dari dihapuskannya banyak kegiatan/program, pemangkasan perjalanan dinas hingga penghematan penggunaan listrik. Kebijakan penghematan operasional tersebut pada akhirnya memunculkan keluhan di dalam tubuh Arsip Nasional sendiri. Dengan anggaran yang sangat terbatas itu, Arsip Nasional berusaha bertahan hidup! Tidak ada langkah-langkah yang bersifat penyelamatan terhadap anggaran yang terus menurun. Lembaga ini mengesankan diri untuk menerima apa adanya. Apa yang kemudian terjadi? Kualitas kinerja lembaga menjadi taruhannya. Seperti hubungan antara karsa (ruh) dengan pelaksanaan dalam Hanacaraka, tanpa anggaran, sulit bagi sebuah lembaga untuk mengeksekusi apa yang sudah dirumuskan dalam perencanaannya.

Kepemimpinan dan Siasat

Pada Maret 2014, di sela-sela acara pemberian Piagam Penghargaan Bidang Kearsipan dari Arsip Nasional kepada Bank Indonesia atas pelaksana Alih Media Dokumen Pengawasan Perbankan yang diserahkan ke OJK, Kepala Arsip Nasional mengeluh kepada Gubernur BI, Agus Martowardoyo, mengenai minimnya anggaran yang diterima oleh lembaganya. Kala itu ada beberapa media yang memberitakan dengan kata kunci “Gubernur BI prihatin anggaran Arsip Nasional yang terus menurun setiap tahunnya”. Ya, kemudian peristiwa tersebut mendapat respon dari internal Arsip Nasional, seolah mendapat angin segar. Namun apa daya, semua yang disampaikan Gubernur BI tersebut hanyalah sebuah keprihatinan pribadi, tak punya bobot kelembagaan dan masih jauh dari gerbang DPR. Alhasil semua itu gone with the wind. Pada titik ini, Kepala Arsip Nasional harus mengingat dengan baik satu peristiwa yang terjadi pada tahun 2012. Ketika itu, Menteri Keuangan mengeluarkan Surat Nomor S-163/MK.02/2012 tentang Pemotongan Anggaran Kementerian/Lembaga dalam RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2012. Melalui surat itulah Menteri Keuangan hendak memotong anggaran Kementerian PAN & RB, BKN, LAN, dan Arsip Nasional. Menteri Keuangan saat itu mengusulkan untuk memotong anggaran Arsip Nasional sebanyak Rp 22.525.456.000. Kemudian yang menarik adalah, siapakah Menteri Keuangan yang mengusulkan pemotongan anggaran tersebut? Ya, dialah Agus Martowardoyo, orang yang kini menjabat Gubernur BI. Pertanyaannya, bagaimana bisa Kepala Arsip Nasional mengeluh mengenai minimnya anggaran kepada orang yang dulu pernah memotong anggaran lembaganya? Perlu diingat juga, Gubernur maupun lembaga BI tak punya kewenangan dalam menentukan naik atau turunnya anggaran Arsip Nasional. Terlalu naif bila hanya melihat BI sebagai uang. Kepala Arsip Nasional tak boleh keliru dalam menentukan kepentingan lembaganya, termasuk harus jeli kepada siapa, kapan dan dengan cara apa kepentingan itu bisa terwujud. Who get what, when and how.

Di atas sempat disinggung mengenai beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab terus menurunnya anggaran Arsip Nasional, yaitu (1) postur anggaran yang minim proyek, (2) tidak ada program unggulan, dan (3) lemahnya sumber daya politik yang dimiliki lembaga. Mari kita coba ulas secara singkat ketiga hal tersebut.

(1) Dalam persoalan pengajuan anggaran di DPR, sudah menjadi rahasia umum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam penganggaran bahwa jumlah proyek dalam usulan anggaran berbanding lurus dengan tingkat persetujuan DPR. Artinya, semakin banyak jumlah proyek yang masuk dalam usulan anggaran, maka semakin besar pula peluang disetujuinya usulan anggaran tersebut. Ini memang sulit untuk dibuktikan karena politik –menurut Pepe Escobar (wartawan senior Amerika)– adalah tentang segala sesuatu yang tersirat, bukan tersurat. Untuk masalah proyek dalam anggaran, sayangnya Arsip Nasional punya sejarah yang kurang baik. Proyek tahun 2010, “Digitalisasi Khasanah Arsip (Telecine Digital Transfer) 16/36 dalam rangka Digitalisasi Film ke Digital Video” terindikasi merugikan negara sebesar 10 milyar karena kekeliruan dalam pengadaan barang akibat proses tender yang sarat kejanggalan. Begitulah hasil temuan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Laporan mengenai temuan ini tidak diketahui berakhir di Kepolisian atau Kejaksaan. Dibutuhkan kepemimpinan yang berani untuk berkata jujur atas sejarah lembaganya. Pada satu sisi, sedikit atau tidak adanya proyek dalam anggaran akan berdampak pada “ketertarikan” DPR dalam mengurusi anggaran Arsip Nasional. Di sisi sebelahnya, jumlah proyek yang banyak seolah memberi peluang pada munculnya praktik-praktik koruptif di lembaga. Baiklah, banyak atau sedikitnya proyek dalam anggaran, rupanya merupakan dua hal yang sama-sama merugikan untuk Arsip Nasional.

(2) Tidak adanya program unggulan dalam postur anggaran bisa menjadi penyebab dari terus menurunnya jatah anggaran Arsip Nasional. Menciptakan program unggulan yang dimasukkan dalam anggaran juga belum cukup bila tidak di dukung oleh argumentasi yang bagus pada saat pembahasan di DPR. Namun, argumentasi yang bagus juga pada praktiknya bukan merupakan jaminan utama suatu anggaran akan disetujui oleh DPR. Sebagai contoh, dalam program yang berkaitan dengan sumber daya manusia, Arsip Nasional telah menghitung bahwa dari sekitar 142.000 arsiparis yang dibutuhkan, baru tersedia 3.500 arsiparis. Program dalam sektor sumber daya manusia ini merupakan hal penting dan bersifat strategis untuk kepentingan nasional yang sejak lama diperjuangkan. Namun karena kecilnya anggaran yang diterima Arsip Nasional, maka program tersebut pun hingga kini masih terbengkalai. Sebagai perbandingan, pada RAPBN P TA 2012, Kementerian PAN & RB mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 10.195.400.000,- untuk kegiatan pelatihan analis jabatan terhadap 4.125 pegawai terpilih dari Kementerian/Lembaga/Pemda. Permohonan tambahan anggaran tersebut disetujui oleh DPR. Sama-sama program di sektor sumber daya manusia, tapi program pengembangan sumber daya manusia Arsip Nasional tak pernah digubris. Pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi? Pastilah ada faktor lain yang lebih mampu memberikan garansi terhadap persetujuan suatu anggaran. Kepemimpinan harus hadir dalam situasi semacam ini!

(3) Faktor lain yang dimaksud adalah sumber daya politik yang dimiliki oleh suatu lembaga. Sumber daya politik pada lembaga negara bisa diperoleh melalui (a) optimalisasi kewenangan, (b) pola relasi yang efektif antar lembaga, dan (c) penguasaan informasi.

(a) Dalam UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, Arsip Nasional memiliki kewenangan yang luar biasa. Dalam undang-undang tersebut, arsip tidak didudukkan hanya dalam urusan kearsipan atau keadministrasian, melainkan ditempatkan pada ruang yang membuatnya menjadi lebih kontekstual sebagaimana tercermin dalam pasal 34 ayat (2), “Negara, —melalui Arsip Nasional— secara khusus memberikan pelindungan dan penyelamatan arsip yang berkaitan dengan kependudukan, kewilayahan, kepulauan, perbatasan, perjanjian internasional, kontrak karya, dan masalah-masalah pemerintahan yang strategis”. Lihat, bukankah semua urusan yang tertera dalam pasal tersebut merupakan persoalan penting yang kini menjadi masalah bersama?. Pasal ini pula yang kemudian membuat perusahaan multi nasional semacam Freeport, Exxon Mobile, Newmont, dan yang lainnya merasa terusik. Bayangkan, perusahaan-perusahaan raksasa tersebut dipaksa untuk menyerahkan seluruh arsip selama mereka beroperasi di setiap tahunnya. Termasuk arsip perjanjian antara mereka dengan Pemerintah Indonesia –arsip yang hingga kini tak pernah diketahui oleh DPR secara jelas seperti apa bentuknya. Kewenangan yang dimiliki Arsip Nasional ini merupakan sumber daya politik yang potensial. (b) Andai kewenangan Arsip Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Kearsipan, salah satunya pasal 33, “Arsip yang tercipta dari kegiatan lembaga negara dan kegiatan yang menggunakan sumber dana negara dinyatakan sebagai arsip milik negara” dijalankan, bukan suatu hal yang mustahil Arsip Nasional menjadi lembaga yang menjadi simpul informasi paling penting. Dengan demikian, lembaga ini tak kalah dengan Badan Intelejen Negara dalam mengolah dan memproduksi informasi. Ketika Presiden RI bertanya dan meminta bukti arsip tentang suatu hal yang berkaitan dengan kependudukan, kewilayahan, kepulauan, perbatasan, perjanjian internasional, kontrak karya, dan masalah-masalah pemerintahan yang strategis, dalam hitungan tak berapa lama Arsip Nasional mampu menyajikannya di hadapan Presiden!. (c) Di republik ini, Arsip Nasional hanyalah satu dari sekian banyak lembaga penyelenggara negara. Oleh sebab itu, adalah wajar bila lembaga ini menjalin komunikasi dan membangun pola relasi antar lembaga yang baik. Dalam konteks kelembagaan, komunikasi dan pola relasi antar lembaga bisa diciptakan dengan berdasar kepada tugas dan fungsi Arsip Nasional, yaitu penyelenggaraan kearsipan nasional. Melalui pembinaan kearsipan diseluruh Kementerian dan BUMN dan membantu mereka dalam menata arsipnya dengan benar adalah bagian dari bagaimana Arsip Nasional membangun komunikasi dan pola relasi dengan lembaga lain. dampaknya adalah tidak lain tidak bukan: eksistensi dan pengakuan.

Dengan ulasan singkat diatas, terlihat bahwa kepemimpinan menjadi aktor utama yang harus hadir pada situasi sulit dengan membawa jawaban atas persoalan yang dihadapi. Kepala Arsip Nasional harus memahami bahwa dua penyebab turunnnya anggaran lembaganya –(1) postur anggaran yang minim proyek dan (2) tidak ada program unggulan— bukanlah penyebab utama karena kedua penyebab itu tak akan menjadi kendala bila lembaga yang dipimpinnya memiliki sumber daya politik. Sumber daya politik Arsip Nasional bisa di dapat dari (a) optimalisasi kewenangan, (b) komunikasi dan pola relasi yang efektif antar lembaga, dan (c) penguasaan informasi. Dalam pendekatan kekuasaan, ketiga hal tadi merupakan kekuasaan potensial yang dimiliki lembaga. Dan tugas Kepala Arsip Nasional lah yang harus merubahnya menjadi kekuasaan aktual lembaga. Inilah yang kemudian memperkuat posisi tawar Araip Nasional dalam pengajuan anggaran.

Kesadaran akan lemahnya sumber daya politik Arsip Nasional sebenarnya sudah disadari oleh Kepala Arsip Nasional sebagaimana tercermin dalam pidatonya di Hari Kearsipan Ke-43 Juni, 2014, “Kepemimpinan kedepan (Presiden terpilih) harus di dorong untuk memiliki wawasan kearsipan. Dengan demikian, urusan kearsipan berpotensi besar bisa masuk dalam arus utama pemikiran para pengambil kebijakan nasional. Harus ada penguatan institusi dari dalam, penguatan relasi antar lembaga, dan memaksimalkan kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang agar tercipta lembaga yang kuat. Kuncinya ada pada bagaimana lembaga ini memiliki kekuatan secara politik”.

Namun hingga saat ini, apa yang disampaikannya itu masih belum menemui tanda-tanda pelaksanaannya. Anggaran Arsip Nasional untuk tahun 2015 pun dipatok tak jauh berbeda dengan anggaran tahun sebelumnya. Kekhawatiran kemudian menyeruak, apakah jatah anggaran yang minim ini adalah bagian dari skenario untuk melemahkan peran dan fungsi Arsip Nasional sebagai sebuah lembaga negara? Kemungkinan seperti ini berangkat dari kenyataan bahwa UU Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan merupakan satu-satunya undang-undang kearsipan di dunia yang berani menyinggung banyak dimensi, termasuk dimensi politik dan ekonomi. Dengan pasal-pasal nya yang tegas menuntut transparansi untuk sebuah akuntabilitas, tak berlebihan bila banyak perusahaan yang terlibat dalam kontrak karya merasa terusik karena arsipnya harus diserahkan ke Arsip Nasional. Bukan tidak mungkin ada kekuatan-kekuatan yang hendak mematikan lembaga ini secara sistematis. Kekhawatiran berikutnya datang dari internal Arsip Nasional. Dengan lemahnya langkah-langkah yang diambil untuk memperjuangkan anggaran, apakah bisa menjadi sebuah tengarai bahwa Kepala Arsip Nasional menganggap kecilnya anggaran bukan sebuah persoalan? Wallahu’alam.

Penulis: Fauzan Anyasfika, Peneliti Indonesia Arsip Watch

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com