Menyoal Revisi UU KPK

Oleh: I Anatur Roziqoh*

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah disahkan dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa(17/9/2019)lalu,  menimbulkan banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Pengesahan ini, ditakutkan akan melemahkan kinerja dari petugas KPK dimasa mendatang.Dianggap akan melemahkan kinerja dari petugas KPK, karena adanya pengalihan status dari petugas KPK. TerdapatTerdapat tujuh poin yang dianggap melemahkan kinerja KPK, salah satunya yaitu kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen. Keputusan ini tercantum dalam pasal 1 ayat 7, di mana pegawai KPK akan menjadi Aparatur Sipil Negara/ASN.

Hal ini dikhawatirkan akan membuat kinerja lembaga menurun karena bisa dikontrol oleh pemerintah sebagai pegawai negeri.Padahal, sebelum direvisi UU KPK ini berbunyi:“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.”Dari perbedaan di atas bisa dibilang KPK bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi, melainkan Kiamat Pemberantasan Korupsi. Hal yang serupa juga dinyatakan oleh bintang tamu diacara Mata Najwa, Laode M Syarif menyebut bahwa selama 17 tahun KPK berdiri, saat ini adalah momen tergelap KPK.

Pengesahan ini dilakukan dengan cara diam-diam dan sangat cepat. Selain itu, pengambilan keputusan ini tidak melibatkan pihak KPK, padahal KPKlah yang menjadi tokoh utama dalam peranan ini. Direktur Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (8/9/2019) menilai Revisi Undnag-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cacat secara formil, karena tidak memenuhi Undang-undang  nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan. Pengesahan ini dinilai tidak sah secara prosedural, karena disahkan secara diam-diam dan sangat cepat.

Pengesahan ini dinilai tidak sah secara prosedural, karena disahkan secara diam-diam dan sangat cepat. Seharusnya, pengesahan mengenai UU KPK tidak dilakukan secara sepihak dan diam-diam, selain itu juga harus melibatkan pihak yang , yaitu KPK. Jadi secara formil pembentukannya cacat prosedural, sesuatu yang cacat prosedural akan dianggap batal demi hukum. Jadi batal dengan sendirinya tidak dibutuhkan keputusan peradilan yang menyatakan sah atau tidak absahnya sebuah pembentukan peraturan perundang-undangan, kalau dia cacat prosedural.

Staf Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah dalam keterangan persnya menyatakan penolakan juga dicuatkan dari Pusat Kajian Hukum dan Anti Corruption dari 30 universitas di Indonesia menyurati Presiden Joko Widodo agar mengurungkan niat untuk mengirim surat presiden (surpres) dan membatalkan pembahasan revisi UU KPK. Mengingat masih banyaknya kasus korupsi di Indonesia, yang tercantum  ICW, yaituTercatat  hanya454 kasus korupsi ditangani sepanjang 2018 dan 1.087 tersangka. Melihat keadaan data kerja KPK yang berhasil menurunkan angka tindak korupsi setiap tahunnya, menyebabkan kekhawatiran yang lebih oleh para pemain peran petinggi negara. Sehingga jalan yang harus ditempuh adalah mengebiri KPK. Dengan begitu, KPK tidak bisa berkutat, melainkan hanya menjadi tokoh dari permainan penguasa negara.

Dengan pengalihan status KPK menjadi pegawai KPK menjadi ASN, dengan mudah pemerintah dapat menyetir kerja KPK, sehingga KPK tidak bisa berkutik. Seharusnya, besar sekali kesempatan presiden untuk Mencegah pengesahan ini, tetapi rupanya presiden justru menyetujui dan mendikung pengesahan ini. Hal ini bisa dilihat kembali, bahwa taktik penguasa sangatlah licik dan bersifat paten, sehingga dengan tegas mereka tidak butuh usulan dari masyarakat. Hal ini bisa dilihat ketika Jokowi  mengatakan perlu revisi terbatas UU KPK agar pemberantasan korupsi semakin efektif. Ia ingin lembaga antirasuah tetap lebih ‘kuat’ dari lembaga lain dalam mengusut korupsi.Mantan wali kota Solo itu menekankan bahwa KPK harus memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, Jokowi menyebut pengangkatan anggota dewan pengawas dilakukan cukup oleh presiden dengan membentuk panitia seleksi. Poin ini berbeda dengan draf, di mana pemilihan anggota dewan pengawas hampir sama persis seperti pimpinan KPK.Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, yang menyatakan mundur sebagai pimpinan, menilai dewan pengawas tak dibutuhkan. Saut menyebut pengawasan terhadap KPK sudah dilakukan oleh DPR, pengawas internal, dan sidang praperadilan.

Upaya-upaya pelemahan agenda KPK ini, bukan yang pertama kalinya. Berbagai macam manuper politik telah dilakukan agarkepentingan para elite negara tidak terganggu dalam melaksanakan fisi pribadinya. Koruptor memang tak pernah kehabisan cara dan jurus, tetapi jurus kali ini adalah paling mungkin untuk mencapai keberhasilan. Ini tidak bisa dibiarkan, karena penguasa akan beesuka ria memakan uang rakyat tanpa ada halangan apapun. Sebab, mereka akan mengendalikan seluruh peranan negara sendiri, tanpa ada seorang pun yang berani menghalangi.

Jika dibiarkan, masa depan pemberantasan korupsi akan semakin suram. Rakyat menderita karena menanggung keserakahan para petinggi negara. Tak mendengar dan pura-pura tidah tau dengan jeritan-jeritan para rakyat jelata. Rakyat tercekik, sementara penguasa tidur di atas tumpukan duit, hasil keringat dan kerja para rakyat yang dianggap sebagai budak. Maka dari itu, alangkah baiknya jika revisi UU KPK tidak jadi disahkan, karena alasan-alasan yang telah digaungkan para rakyat.Wallahu a’lam bi al-shawwab. (*)

*Penulis adalah Peneliti di Center for Democracy and Religious Studies (CDRS), Aktivis HMI Walisongo Kota Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com