Mencegah Dan Meningkatkan Kewaspadaan Terhadap Penyebaran Paham Radikalisme Di Masyarakat

Oleh : Purwantoro Agung Sulistyo, S.E, M.H

Radikalisme merupakan ancaman nyata dalam kehidupan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Minimnya toleransi serta pemahaman sempit terhadap sebuah keyakinan ditengarai sebagai beberapa faktor utama yang menyuburkan perkembangan radikalisme. Meningkatkan kewaspadaan akan penyebaran radikalisme di berbagai lini adalah prioritas utama. Sebab, paham dan tindakan yang dapat menyebabkan pelakunya cenderung ke arah terorisme akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh lengah lagi dalam mengawasi penyebaran ideologi anti Pancasila ini.

Radikalisme yang kini menggerus zaman mulai menunjukkan taringnya. Eksitensi paham yang identik dengan agama Islam ini perlahan berkembang pesat mengikuti perkembangan zaman. Radikalisme seolah mampu bertransformasi sesuai apa yang dihinggapinya. Mengelabui setiap korbannya untuk menjadi boneka bagi kelangsungan kelompok ekstrimis di luaran sana. Secara ontologis, kata radikal sebenarnya cenderung ke arah netral. Radikal berasal dari kata radix yang berarti “sama sekali” atau hingga ke akar-akarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V), secara terminologi kata radikal memiliki beberapa persepsi yakni, pertama ialah secara mendasar, hingga hal yang prinsip. kedua, terlampau keras menuntut perubahan. Ketiga, maju dalam berpikir maupun bertindak. Sedangkan dilihat Secara epistemologi, kata radikal berangkat kepada interpretasi pikiran maupun tindakan untuk sebuah perubahan.

Sesuai Ketentuan Pasal 43A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menyatakan, bahwa upaya pencegahan tindak pidana terorisme dilakukan oleh pemerintah yang dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia serta prinsip kehati-hatian.

Artinya, dalam melakukan upaya pencegahan tersebut pemerintah harus selalu bersikap hati-hati (prudent) guna memberikan perlindungan hukum terhadap hak perseorangan ataupun kelompok orang yang diduga terpapar radikalisme. Sikap hati-hati tersebut juga harus mempunyai ukuran dan standar perlindungan hak asasi manusia. Hal ini bertujuan agar upaya pencegahan tidak melahirkan korban dan stigma baru terhadap seseorang beserta kelompok orang yang terpapar radikalisme.

Atas upaya pencegahan ini, UU Nomor 5 tahun 2018 telah memberikan pedoman yang cukup jelas dan terinci. Undang-undang berikut menyatakan upaya pencegahan harus dilaksanakan melalui kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi dan juga deradikalisasi. Adapun maksud dan tujuan upaya pencegahan tersebut antara lain adalah, kesatu kesiapsiagaan nasional.

Upaya pencegahan melalui sistem kesiapsiagaan nasional merupakan kondisi siap siaga guna mengantisipasi berlakunya tindak pidana terorisme melalui proses yang terpadu, terencana, sistematis, dan berkesinambungan. Kegiatan melalui kesiapsiagaan nasional ini dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, perlindungan serta peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian terhadap terorisme, termasuk pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme.

Kedua, yaitu kontraradikalisasi. Upaya pencegahan dengan rencana ini mengusung proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilakukan terhadap orang maupun kelompok yang rawan terpapar radikalisme. Tujuannya guna menyetop penyebaran paham radikal terorisme. Kegiatan kontraradikalisasi ini akan dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung melalui kontrapropaganda, kontranarasi, maupun kontraideologi.

Yang ketiga ialah deradikalisasi yang mana menganut proses secara terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dipraktikkan guna menghilangkan, menekan, hingga membalikkan pemahaman radikal terorisme. Target deradikalisasi umunya ialah tersangka, terpidana, terdakwa atau narapidana, termasuk mantan narapidana terorisme maupun orang atau kelompok orang yang telah terpapar paham radikal terorisme.

Menurut Dosen di Departemen Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Zaki Arrobi menyatakan jika persoalan paling mendasar yang para pelaku radikalisme hadapi di masa lalu, ialah gagalnya komunikasi dengan orang tua, relasi gender dalam keluarga, termasuk konstruksi yang tidak setara penting untuk diatensikan.

Hal itulah yang kemudian mengagungkan ataupun mengglorifikasi penggunaan senjata, kekerasan hingga nilai- nilai yang memberi situasi kondusif bagi kekerasan dan terorisme. Maka dari itu, Zaki setuju dalam upaya deradikalisasi dengan menyentuh dimensi yang komprehensif dan segi holistik. Deradikalisasi akan dinilai lebih efektif bila sentuhan emosi dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari dilaksanakan.

Dimensi pemikiran seorang mantan narapidana teroris (Napiter), merupakan bagian terberat untuk disentuh sehingga membutuhkan pendekatan persuasif dalam jangka panjang. Dirinya menambahkan, terkait riwayat kehidupan, alasan serta motivasi utama pelaku radikalisme memutuskan untuk bergabung dengan gerakan terorisme pasti berbeda. Jadi formula pendekatan tidak bisa dibuat seragam atau satu untuk semua. Dapat dipastikan bahwa semua hal pasti akan berawal dari keluarga dengan melakukan pendekatan melalui keluarga seperti membangun Trust (kepercayaan) dalam membantu mantan narapidana terorisme kembali ke masyarakat.

Namun, saat ini penanaman sikap toleransi seakan ikut hanyut bersama derasnya perkembangan zaman. Hingga membuat pelakunya ingin membuat dunianya sendiri sesuai ekspektasi yang diingini. Meningkatkan kewaspadaan akan paparan radikalisme ini bisa dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Perkuatlah iman serta wawasan terkait radikalisme agar kita bisa melawan paham yang kini kian menggerogoti pemikiran di masyarakat.

 

Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Muda yang bertugas di Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com