Stagnasi Demokrasi di Masa Kepemimpinan Jokowi

{"uid":"08AD155A-7A53-4A77-A89A-9C58DE878771_1602444450312","source":"other","origin":"unknown"}

Oleh : Zidna Azzahra*

“Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat, dan melaksanakannya” (Ir. H. Joko Widodo)

Kalimat bijak tersebut merupakan ungkapan yang dilontarkan oleh Presiden Republik Indonesia ke-7 ketika masih menjadi calon presiden enam tahun lalu. Dan saat ini Jokowi tengah melaksanakan tugasnya sebagai presiden di periodenya yang kedua setelah kembali terpilih di Pemilu presiden tahun 2019. Tidak ada yang salah dari ungkapan tersebut jika memang sesuai dengan implementasinya. Maka dari itu, perlu adanya peninjauan terhadap kondisi Indonesia dan masyarakatnya saat ini.

Tolok ukur negara menjalankan demokrasi bukan hanya dibuktikan dengan keberhasilan pelaksanaan Pemilu saja, akan tetapi juga kesejahteraan rakyatnya. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat adalah makna demokrasi sesungguhnya. Bagaimana masyarakat diikutsertakan dalam pembuatan kebijakan, hingga bagaimana kebijakan tersebut betul-betul dirasakan dampak positifnya oleh masyarakat itu sendiri.

Indonesia adalah negara dengan sistem demokrasi, dan ketika membaca kembali ungkapan petahana di atas memang seperti sangat meyakinkan. Namun untuk saat ini apakah hal tersebut sesuai dengan implementasinya? Ataukah ungkapan tersebut justru sebuah utopia? Dan apakah pemerintah saat ini dapat menciptakan demokrasi yang sebenar-benarnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab jika kita bersedia melihat kondisi Indonesia saat ini melalui kebijakan yang disusun oleh pemerintah, hingga keadaan masyarakatnya.

Kebjiakan Kontroversial

Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang yang telah diberi wewenang yang nantinya hal tersebut akan mempengaruhi kehidupan setiap orang. Maka dari itu seorang pemangku kebijakan tidak boleh seenaknya dalam mengambil sebuah keputusan. Sebelum dibuat dan betul-betul disahkan, terlebih dahulu dilakukan riset kondisi lapangan maupun masyarakatnya. Mulai dari seberapa penting suatu kebijakan dibuat, apa tujuan kebijakan tersebut dibuat, dan apa dampak yang akan ditimbulkan jika kebijakan tersebut dibuat dan disahkan.

Suatu kebijakan baiknya dibuat sesuai dengan realita kondisi di lapangan, dan dapat dipastikan bahwa kebijakan yang telah disahkan tersebut tidak merugikan suatu kelompok masyarakat. Seperti yang telah kita ketahui bahwa di masa kepemimpinan Jokowi periode ke dua ini telah menghasilkan beberapa kebijakan. Mulai dari kebijakan yang dapat diterima dampak positifnya oleh masyarakat hingga kebijakan yang menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan akademisi maupun masyarakat sipil.

Kebijakan kotroversial di periode kedua Jokowi ini antara lain; menaikkan tarif iuran BPJS. Kenaikan tarif iuaran BPJS ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dan hal ini justru dinilai bertolak belakang dengan janji Jokowi saat kampanye Pemilu Presiden lalu. Kebijakan lainnya yaitu pemindahan Ibu Kota Negara, yang mulanya terletak di DKI Jakarta akan dipindahkan ke Kalimantan Timur. Sejumlah tokoh dan masyarakat sipil menolak kebijakan tersebut karena dinilai belum diperlukan dan hanya akan menghabiskan dana yang besar.

Kebijakan selanjutnya yang mendapatkan protes cukup besar adalah Revisi UU KPK dan penolakan atas penerbitan Perppu KPK. DPR dengan pemerintah merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di akhir masa jabatan Jokowi yang pertama. Kebijakan tersebut bahkan membuat para mahasiswa turun ke jalan menuju gedung DPR RI untuk melakukan demontrasi nasional penolakan terhadap RUU KPK. Para mahasiswa menilai bahwa RUU KPK mengebiri independensi KPK dalam pemberantasan korupsi.

Tidak hanya kebijakan tersebut yang memunculkan demonstrasi, namun juga pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Demonstrasi terhadap penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja ini terjadi di berbagai daerah dalam skala nasional. Para demonstran tersebut bukan hanya dari kalangan mahasiswa namun juga kalangan buruh. Mereka menilai bahwa dari penyusunan UU Cipta Kerja terkesan terburu-buru serta mengandung aturan yang dapat memangkas hak-hak pekerja dan hanya menguntungkan para penguasa.

Selain kebijakan-kebijakan di atas, juga terdapat kebijakan kontroversial lainnya seperti; pemberian grasi kepada koruptor, penunjukan sejumlah menteri dan staf khusus, pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19, hingga proyek pembangunan Jurassic Park di Pulau Rinca Kepulauan Nusa Tenggara. Namun dapat dilihat bahwa dari semua itu pemerintah seolah menutup mata dan menutup telinga ketika rakyatnya menyuarakan aspirasinya.

Menyelamatkan Demokrasi

Reformasi 1998 dibayar dengan nyawa mahasiswa dan kemudian menciptakan Pemilu demokratis pasca orde baru. Hal tersebut juga yang menjadi percontohan demokrasi oleh negara lain. Namun pelaksanaan demokrasi tersebut kiranya tidak bertahan lama jika menengok kondisi Indonesia sekarang ini. Stagnasi atau bahkan regresi demokrasi terjadi akibat beberapa problematika yang melanda Indonesia.

Problematika yang dihadapi Indonesia sehingga berdampak pada stagnasi atau bahkan regresi demokrasi antara lain; partisipasi publik yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dapat dilihat bahwa tidak adanya respon atau i’tikad baik dari pemerintah atas beberapa protes masyarakat terhadap penolakan kebijakan. Selain itu, kebebasan sipil yang seolah dibatasi juga dibuktikan dengan munculnya buzzer-buzzer yang mendukung pemerintah ketika banyak masyarakatnya yang mengkritik kebijakan pemerintah melalui sosial media.

Hal ini tentunya diusahakan agar tidak terjadi lagi untuk kedepannya demi perbaikan demokrasi di Indonesia. Maka dari itu peran semua pihak sangatlah dibutuhkan, baik masyarakat maupun pemerintah itu sendiri. Dimulai dari penguatan partisipasi publik secara aktif, dan jaminan kebebasan sipil dalam menyampaikan aspirasi maupun kritik terhadap pemerintah. Selain itu, perbaikan hukum juga perlu dilakukan dan dikembalikan martabatnya. Dan terakhir, penghapusan korupsi yang merajalela juga diperlukan dalam perbaikan demokrasi di Indonesia. (*)

*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Walisongo Semarang

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com