Oleh: Agung Prihatna*
NEGARA, sebuah kata yang selalu menyiratkan romantisme untuk warga Indonesia. Saat mendengar kata negara, hampir semua orang akan membayangkan sebuah wilayah yang besar didominasi oleh kepentingan politik dan juga pengaturan politik secara konstitusional. Secara sosio-historis negara Indonesia merupakan ide politis yang didirikan berdasarkan ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Negara juga kini sudah mengalami banyak perubahan. Negara, yang senantiasa melekat dengan power menghadapi banyak tantangan yang jauh lebih kompleks. Negara tidak mempunyai kapasitas untuk menggunakan power yang mereka miliki. Franky Sahilatua misalnya menyatakan kritik untuk negara melalui lagu “Perahu Retak” bahwa negara ini punya masa depan meskipun ditengah jalan banyak masalah mendera.
David Easton dalam sudut pandang ilmu politik menyatakan konsep sistem politik saat ini dikompetisikan dengan konsep negara agar dapat lebih diterima dikalangan akademisi politik. Hal ini terjadi karena semakin banyak akademisi yang menggunakan konsep negara daripada sistem politik sebagai konsep dasar akademis mereka. Bagi negara berkembang, terdapat konsepsi bahwa negara mempunyai posisi yang penting karena dibuat atau dibentuk berdasarkan usaha dan perjuangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme sehingga perannya sering dianggap penting. Disatu sisi, terdapat kelompok yang mempersepsikan negara sebagai sejumlah institusi, mulai dari pemerintah ditingkat nasional dan lokal, lembaga legislatif, institusi yudikatif, kekuatan pertahanan dan sebagainya.
Indonesia mempunyai pengertian sendiri mengenai negara dalam konteks legalnya. Jika melihat peraturan di Indonesia, terdapat kesan bahwa entitas yang dinamakan negara berbeda dengan pemerintah, meskipun dalam kehidupan sehari-hari dua istilah tersebut sering dianggap sama. Sebagai contoh saja, Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia menyatakan bahwa Bank Indonesia merupakan institusi negara independen yang bebas dari intervensi pemerintahan. Kalimat dalam peraturan tersebut menunjukkan bahwa Bank Indonesia merupakan bagian dari struktur negara, namun bukan bagian dari pemerintah.
Jika dicermati, pemahaman terhadap negara dalam undang-undang lebih menekankan pada wilayah struktur kelembagaan negara, interakasi institusi yang diatur oleh hukum. Padahal, negara juga harus dipandang dalam konteks kesejahteraan dan juga keadilan sosial karena merupakan bagian terpenting dari tanggung jawab negara dalam melindungi warganya. Namun negara, selalu menjadi entitas dari institusionalisasi kekuasaan. Negara mengutamakan fungsi kekuasaan untuk kepentingannya. Ringkasnya, negara merupakan instrumen yang digunakan oleh beberapa kelompok politik dan kelas sosial sebagai alat untuk mengekspresikan kepentingan mereka yang beragam dan berlawanan.
Negara bukan tidak memperhatikan kesejahteraan warganegaranya. Dalam visi pemerintah saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial untuk masyarakat melalui visi misi Presiden akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui beberapa program diantaranya program “Indonesia Pintar” melalui wajib belajar 12 tahun bebas pungutan, program kartu “Indonesia Sehat” melalui layanan kesehatan masyarakat, program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” melalui reformasi agraria 9 juta hektar untuk rakyat tani dan buruh tani, rumah susun bersubsidi dan jaminan sosial. Akan tetapi, keberpihakan negara tidak tercermin dari implementasi kebijakan yang tepat sasaran untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Oleh karena itu, berbicara soal fungsi negara terhadap penyedia kesejahteraan acuan paling relevan adalah cita-cita yang tertera dalam UUD 1945.
Melihat Negara Saat Ini
Pada awalnya, negara dianggap tidak berfungsi jika tidak menggunakan monopoli kekuasaannya untuk menyediakan kesejahteraan karena kegiatan ekonomi ditransformasikan dengan menerapkan mekanisme pasar. Berbagai literatur tentang negara menyimpulkan, negara hanya merupakan konsensus yang terlalu institusionalis dalam menjalankan peraturan secara lebih seimbang untuk mencapai tujuan. Namun, semua kesimpulan tersebut hanya bersifat sementara, ketika terjadi reformasi kesejahteraan sosial kita melalui upaya pemenuhan manfaat dari jaminan sosial. Jaminan sosial lahir oleh konsesi politik untuk menjadi sumber perlindungan warganegara dan kemajuan ekonomi nasional.
Seiring perjalanan waktu, negara Indonesia tak sekedar mengahadapi “involusi” dan masalah pemerataan kemiskinan (poverty sharing), tetapi juga gangguan globalisasi. Kini, yang tersisa dari negara adalah kisah soal ketidakadilan ekonomi dan juga ketidakadilan sosial. Ketika involusi perlindungan sosial direformasi melalui sistem jaminan sosial, hal yang berubah bukan hanya segi metode pemberian asas manfaat, melainkan juga aspek kepemilikan ekonomi yang akan terus berlangsung untuk melestarikan ekonomi pasar. Pada perkembangannya, sebagian besar negara yang menerapkan sistem jaminan sosial dikenal memiliki cakupan sistem jaminan secara universal. Negara kemudian berperan kembali sebagai fungsi penyedia kesejahteraan, sedangkan masyarakat tidak sepenuhnya memperoleh akses kesejahteraan itu sendiri.
Dengan mayoritas pembayaran iuran melalui mekanisme jaminan sosial, logikanya masyarakat Indonesia menjadi pihak pertama yang merasakan manfaat dari perlindungan sosial tersebut. Namun, yang terjadi saat ini adalah pengulangan masa lalu. Pemerintah semakin condong mengutamakan pelestarian ekonomi pasar tanpa melihat apakah program jaminan sosial itu sudah tepat sasaran. Perlindungan sosial untuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) seperti pengemis, gelandangan, anak jalanan, dan kategori PMKS lain yang belum bisa merasakan dampak dari jaminan sosial tersebut. Hal ini semakin jauh masyarakat menjangkau akses kesejahteraan sosial.
Untuk lebih memahami potret negara saat ini, ada baiknya melihat sekilas apa yang terjadi di negara selama kurun waktu 20 tahun terakhir. Mengapa? Karena dalam waktu 20 tahun terakhir inilah terjadi proses yang mengubah wajah negara saat ini. Pertama, berlangsungnya pemerataan pembangunan dan hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi rakyat. Pembangunan nasional tidak saja menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat tetapi juga mengahsilkan kesejahteraan yang makin meningkat dan merata. Negara dikontruksikan sebagai objek dan menjadi prioitas pembangunan yang dikendalikan secara politik. Kedua, para pembuat kebijakan menempatkan negara sebagai prioritas pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Namun, hal ini terasa kontras dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Nyatanya, negara Indonesia menyumbang perlambatan peringkat Human Development Index (HDI) yang berada diposisi 108 dari 287 dan besaran 0,684 berdasarkan laporan IPM 2014. Peringkat Indonesia masih dibawah Singapura urutan ke-9 dan Brunei yang berada diposisi ke-30. Kategori Human Development Index (HDI) didasarkan pada evaluasi tiga dimensi utama yaitu kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi itu merupakan bentuk pelayanan dasar dari jaminan sosial.
Kesejahteraan negara tidak akan pernah tercapai jika aspek keadilan sosial tidak ditempatkan menjadi bagian penting dalam arah kebijakan jaminan sosial. Selama akses terhadap jaminan sosial (kesehatan, pendidikan, ekonomi) sulit ditembus, maka negara tidak akan menghidupi warganegaranya. Untuk menyelesaikan masalah negara dapat dimulai dengan melakukan reorientasi kebijakan pengelolaan sumber dana jaminan sosial. Hal itu dengan mengedepankan prinsip kesetaraan dalam pemenuhan akses warganegara terhadap perlindungan sosial. Kesehatan, pendidikan, kehidupan yang layak merupakan fondasi utama dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia.
Menakar Kesejahteraan Negara: Sebuah Gagasan
Negara Indonesia sejak dulu memiliki otoritas dalam mengelola tata kuasa dan tata kelola atas warganegara dan sumber daya ekonomi. Negara mempunyai cita-cita bersama masyarakat Indonesia zaman dulu untuk mewujudkan negara sejahtera. Hal ini terlihat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV yang menjadi dasar dan juga amanah konstitusi yang tidak bisa kita lupakan begitu saja. Oleh karena itu, pemerintah membuat peraturan perundang-undangan sosial dimana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 sebagai payung dari segala peraturan perundang-undangan sosial lainnya.
Otoritas negara dan kesejahteraan yang dibingkai dengan undang-undang kesejahteraan sosial bukan sekedar perkara kelembagaan, melainkan memiliki dasar filosofis yang dalam. Kita membutuhkan bangsa yang mandiri bermartabat, butuh negara yang kuat dan demokratis. Upaya penguatan negara menjadi bagian dari cita-cita itu, sekaligus hendak membangun imajinasi Indonesia yang kuat. Reformasi kebijakan dibutuhkan untuk melakukan konfrontasi terhadap masa lalu, memperbaiki masa kini negara, sekaligus menatap masa depan negara yang lebih baik. Oleh karena itu, diharapkan ada regulasi baru yang lebih baik, responsif kepada negara, dan maju dalam memberikan penyedia kesejahteraan sosial. []
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Center of Social Security Studies (CSSS), Pemerhati Jaminan Sosial