JAKARTA – Berbagai kasus Hak Azazi Manusia (HAM) di Indonesia seringkali dijadikan komoditas politik, dan kerap diangkat jelang pemilu. Daur ulang wacana usang tersebut justeru menjadi kontraproduktif dengan perjuangan penegakan HAM.
” Karena bukan memperjuangkannya secara benar dan penuh keyakinan, melainkan hanya jadi komoditas politik segelintir orang,” tandas Budayawan sekaligus politisi Nasional, Fadli Zon, dalam pers release yang diterima jogjakartanews.com, Selasa (10/12/2013) siang.
Fadli Zon mengungkapkan, setiap tanggal 10 Desember, dunia memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya, HAM harus dihormati, dijaga dan dijamin.
“Hak asasi tak semata hak politik, tapi juga hak ekonomi sosial dan budaya,” tutur Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini.
Lebih lanjut Fadli Zon menjelaskan, jika diurut ke belakang, persoalan HAM akan banyak ditemui di Indonesia, misalnya yang terjadi pada tahun 1997-1998, 1996, 1989, 1984, 1965-1966, dan 1948.
“Beberapa pelanggaran, seperti kasus 1997-1998 sudah diselesaikan di meja hukum. Pelaku sudah dijatuhi hukuman melalui Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti). Kita tidak boleh terus menerus bergelut dengan masa lalu. HAM harus dihargai tapi jangan jadi alat politik sesaat. HAM bukan alat untuk mata pencaharian. Jangan sampai atasnamakan HAM, tapi sebenarnya perpanjangan kepentingan lain, apalagi kepentingan asing,” tandas Budayawan yang juga didaulat sebagai Ketua Perhimpunan Sastra Budaya Negara Serumpun (PSBNS) ini.
Saat ini, kata Fadli Zon, hal terpenting adalah memenuhi hak rakyat atas pangan, sandang, dan papan. Jangan sampai harga kebutuhan pokok terus naik tinggi membuat daya beli lemah. Lapangan kerja susah. Pendidikan kesehatan mahal.
“Kita harus belajar kepada Nelson Mandela yang bisa berdamai dengan masa lalu. Ia menerapkan rekonsiliasi nasional untuk membuka lembaran baru,” pungkas pendiri Fadli Zon Library ini. (lia)
Redaktur: Aristianto Zamzami