Oleh: Bhakti Nagoro (Tanpa Gelar)
Rivalitas Jokowi dan Prabowo dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, sebenarnya bukan dimulai sejak detik pertama Pemili 2014. Itu hanya memasuki babak baru. Rivalitas itu bahkan dimulai sejak pertama kali Indonesia (konon) merdeka. Kok Bisa?
Soekarno yang sipil memimpin babak pertama, Soeharto yang militer babak kedua. Sementara Habibie, Gusdur, Megawati yang sipil pada babak ketiga. Kenapa ketiganya dalam satu babak? karena ketiganya tidak utuh memegang tampuk kekuasaan dari proses formal yaitu Pemilu yang normal. Lalu, barulah babak keempat didapuklah SBY yang militer dan kini babak kelima dipegang Jokowi yang sipil. Babak kelima akankah berganti ke babak enam melalui Pilpres 2019? Enahlah.
Pertanyaannya kemudian, apa iya Sipil dan Militer di Indonesia ini selalu didikotomikan dan mendikotomikan diri? Bisa iya, bisa tidak. Lho kok? Tak dapat dinafikkan jika faktanya ada kelompok sipil yang menempatkan diri sebagai elit politik, demikian juga kelompok militer menjelma elit politik. Itu ‘iya’ nya. Lalu ‘tidaknya’ adalah ketika kedua kelompok itu sama-sama menjadi elit politik maka menjadi sejenis: sama-sama elitis. Selama kepentingannya sama dua kelompok elit itu niscaya bekerjasama.
Pergantian kekuasaan di Indonesia sesungguhnya tak sulit dibaca bukan?. Yang membuat nampak sulit kan karena dibuat sulit oleh para politisi atau elit politik itu sendiri (baik dari kelompok sipil maupun militer).
Tak bisa dipungkiri pula -seperti kata presenter kondang Najwa Syihab- politisi memang kadang menyembunyikan kejelasan atau terkadang melebih-lebihkan maksud kepentingannya. Itu ia katakan saat berkelakar dengan komedian Sule dalam sebuah acara dagelan di salah satu TV Swasta.
Perebutan kekuasaan RI 1 tak ubahnya kisah Ken Arok dengan keris Anusa Pati yang penuh kutukan dari penciptanya, Mpu Gandring. Namun kisah yang sejatinya singkat itu dibuat panjang dan berkepanjangan.
Saling tikam antara anak-anak ideologis rezim elit sipil dan rezim elit militer memperebutkan kekuasaan di ibu pertiwi yang molek, jauh melebihi keseksian Ken Dedes, itu sudah jadi tradisi turun menurun. Yup! selayaknya saling tikam antara keturunan Ken Arok dan Tunggul Ametung. Akan selalu ada scuel (kisah lanjutan) Ken Arok dengan versi baru. Mungkin sebentar lagi bakal dirilis “KEN AROK REBORN 2019”! entahlah.
Apakah jangan-jangan memang Indonesia belum berubah sejak jaman nenek moyang? Ya, itu barangkali seperti Puisi Omi Intan Naomi dalam ‘Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia’ (Hal:548).
KEN AROK
saat tertikam keris anusapati
berkata ia, revolusi takkan mati
akan tumbuh bagai duit di jalan tol
ken arok – ken arok baru yang bahkan
lebih dahsyat mengukir dalam-dalam namanya diperadaban.
ia akan bunuh setiap tunggul ametung
dan akan seret setiap ken dedes ke ranjang
meraup negeri dan isinya habis-habis
lalu mulai bermimpi tentang kerajaan miliknya.
Ia kagumi diri sendiri betapa kuatnya
tangan-tangannya
yang telah mencekik kediri
menjual kelahirannya dan meninggikan singasari.
dan anak-anak haram yang akan mendepani pasukan
menyeru perang dan lapar wewenang
akan mengawini kegelapan, dan dalam kuasanya ia tertikam.
1989
Jadi kalau Anda rakyat biasa bukan elit politik, sebainya tak usah serius dengarkan mereka yang berbusa-busa bicara perubahan, apalagi perubahan untuk nasib rakyat yang lebih baik melalui Pilpres.
Ketika mereka berjanji, ditinggal ngopi saja, daripada mengharap ‘durian runtuh’ di padang pasir. Ngapain membela mati-matian jagoan yang tak mungkin peduli kalau kita mati? katanya para politisi sendiri rakyat sudah cerdas, meski mingkin itu satire alias berkebalikan (Cerdas maksudnya bodoh). Jangan lah rakyat dibodoh-bodohi terus. Buktikan rakyat cerdas dalam arti yang sebenarnya.
Kalau masih supporter jangan berasa bagian dari tim ofisial. Bagi yang mau nyoblos ya nyoblos saja, wewenangnya rakyat kecil kan cuma itu, yang mau abstain ya terserah, tapi ‘resiko ditanggung penumpang lho”. Soal mau kampanye dan berantem biarin mereka yang dibayar jadi tim yang berantem. Jangan sampai kita sesama rakyat kecil ikutan berantem, entuk opo, nggo opo?!. Perjuangan bukan berarti berantem karena beda pilihan politik. Catet itu.
Masa dari dulu rakyat kecil yang dikibulin; pada betantem soal bela dan dukung elit politik, malah yang didukung pada ngopi bareng. Gantian lah mereka yang berantem kita yang ngopi bareng. Lagipula tugas elit politik itu bukan untuk memprovokasi rakyat supaya berantem, tapi memakmurkan rakyat supaya adem ayem. (*)
Yogyakarta, 12 Agustus 2018
*Penulis Adalah Pecinta Sastra, tinggal di Yogyakarta