YOGYAKARTA – Puluhan aktivis pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dari berbagai organisasi menggelar aksi peringatan hari HAM 10 Desember, di Tugu Pal Putih Yogyakarta (Tugu Jogja), Sore hingga malam kemarin.
Dalam pernyataannya, para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pejuang Hak Asasi Manusia (AMPUH) menilai pada perigatan hari HAM ke- 70 tahun ini, penegakkan HAM di Indonesia masih memperihatinkan,
“Sebagai catatan yang utama, janji Nawacita sang Presiden tinggalah janji. Belum terlihat adanya komitmen yang jelas dari Presiden untuk mewujudkan janji nawacitanya, terutama dalam agenda Hak Asasi Manusia. Bahkan pelanggaran demi pelanggaran Hak Asasi Manusia terus terjadi,” ujar Koordinator umum (Kordum) AMPUH, Heron.
Dikatakan Heron, bangsa ini juga masih punya catatan pelanggaran HAM berat di masa lalu yang terkatung-katung proses penegakannya. Dicontohkannya, seperti kasus Semanggi I dan II, peristiwa penghilangan paksa tahun 1997-1998, Tragedi Mei 1998, kasus Talang Sari, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok dan Tragedi 1965.
Heron menyebut, Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang masih banyak catatan juga belum dapat dilaksanakan. Seperangkat aturan yang pincang ini, kata dia, kemudian sengaja diciptakan sebagai formalitas belaka, agar Indonesia dipandang telah menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia dimata Negara-negara lain di dunia,
“Terdapat tarik ulur perdebatan mengenai Ratifikasi Statuta Roma yang lebih menitik beratkan pada pilihan untuk tidak melakukan ratifikasi. Padahal, itu adalah syarat penting untuk Pengadilan Kejahatan Internasional dapat memiliki yurisdiksi di Indonesia. Apabila Indonesia merasa tidak pernah melakukan pelanggaran HAM, tentu Ratifikasi Statuta Roma bukanlah hal yang berat untuk dilakukan,” ujarnya.
AMPUH memandang bahwa Negara bukan saja enggan untuk membuat seperangkat aturan untuk terpenuhinya HAM seperti melahirkan Undang- undang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, bahkan untuk mengeliminir beberapa aturan yang berpotensi melanggar HAM juga tidak,
“Namun justru menambahkan sejumlah peraturan yang menghadirkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, seperti UU ITE” tandasnya.
AMPUH mencatat terdapat 245 laporan kasus untuk membungkam ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE yang banyak dipakai oleh pejabat Negara untuk menjerat para aktivis yang kritis.
Selain itu, ia membeberkan pada sektor hak kesejahteraan pekerja, melalui PP nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dapat berpotensi melanggar hak kesejahteraan pekerja. Kemudian, pada sektor Agraria, dengan dilancarkannya program pembangunan infrastruktur, melalui UU nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dinilai telah melanggar HAM, karena lebih mengarus utamakan kebijakan dibanding penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
“Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia semakin miris dengan catatan buruk perangkat Institusi yang diciptakan oleh Negara. Komnas HAM yang diharapkan dapat mengusut tuntas dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dan mendorong Negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM, namun semakin jauh dari harapan,” imbuhnya.
AMPUH menuding Komnas HAM sudah tidak lagi konsisten dalam penegakkan HAM. Ia mencontohkan pada kasus pembangunan megaproyek NYIA Kulonprogo. Pada bulan Mei 2018, Komnas HAM menerbitkan Surat Rekomendasi kepada Gubernur DIY, Polda DIY dan Bupati Kulonprogo terkait pelanggaran HAM dalam proses pembangunan bandara NYIA Kulonprogo,
“Namun, pada bulan Oktober 2018, salah seorang Komisioner Komnas HAM, Amirrudin, menyatakan kepada media bahwa lembaganya belum bisa menyimpulkan adanya pelanggaran HAM dalam proses pembangunan NYIA. Bahkan independensi dan profesionalitas kinerja Komnas HAM dalam tindak lanjut aduan kasus yang masuk, masih diragukan,” ujarnya.
Usai aksi, para aktivis kemudian menggelar panggung HAM di pojok Tugu yang dengan diisi dengan orasi dan musik. (kt1)
Redaktur: Faisal