Oleh: Rido Idham*
Pada 10 November 1945 terjadi pertempuran besar di Surabaya yang selalu diingat sampai saat ini. Pertempuran ini disebabkan terbunuhnya Brigjen Mallaby, seorang Brigadir Jenderal Inggris pemimpin tentara Sekutu yang diboncengi NICA (tentara Belanda) dalam upaya menduduki Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan. Tidak beberapa lama setelah tewasnya Mallaby, pihak Sekutu memberikan ultimatum agar semua pemimpin Indonesia menyerah dan meletakkan senjata.
Reaksi masyarakat di Surabaya ternyata jauh diluar dugaan. Mereka malah menganggap ultimatum itu sebagai penghinaan, bukan sebagai ancaman seperti yang diharapkan tentara Sekutu. Dalam buku yang ditulis oleh Andi Suwirta yang berjudul Revolusi Indonesia dalam News and Views, menyatakan bahwa ada dua tokoh penting yang berhasil membakar semangat perjuangan dan persatuan masyarakat Surabaya pada saat itu.
Pertama yakni pemuda bernama Sutomo atau biasa lebih dikenal dengan Bung Tomo. Melalui pidatonya, ia berhasil menggugah dan membakar semangat arek-arek Suroboyo agar bersatu untuk melawan tentara Sekutu dan mempertahankan kemerdekaan. Di antara sepenggal pidato Bung Tomo adalah “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka, semboyan kita tetap, merdeka atau mati”.
Selanjutnya, ada seorang tokoh yang mempertegas pidato dari Bung Tomo dengan kata-kata yang tenang, tapi tetap meyakinkan. Ia adalah Gubernur Soerjo. Kata Soerojo yang berhasil membakar semangat Masyarakat Surabaya yaitu “Semua usaha untuk berunding telah gagal. Dalam rangka mempertahankan kedaulatan kita, kita harus berdiri tegak dan berani menghadapi setiap situasi. Sekarang dalam menghadapi ultimatum inggris, kita akan berpegang teguh pada keyakinan itu. Kita akan berdiri tegak dan menolak menerima ultimatum itu. Marilah kita bersatu teguh antara Pemerintah, Rakyat, Polisi, TKR, dan semua kekuatan pemuda memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa supaya melimpahkan rahmatnya. Selamat Berjuang”.
Kedua tokoh diatas berhasil mengobarkan semangat juang dan persatuan antar para pemuda saat itu, walaupun dengan gaya bahasa dan penyampain yang berbeda. Dalam pertempuran 10 November 1945, para pejuang Indonesia dengan gagah berani menerjang dan melibas tentara sekutu menggunakan senjata seadanya. Hasil dari pertempuran tersebut Indonesia menang secara strategis, politik, dan psikologis karena pertempuran itu menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah memiliki tentara dan pasukan keamanan sendiri serta menunjukkan bahwa Indonesia sudah layak untuk merdeka, walaupun banyak korban jiwa yang berjatuhan.
74 tahun sudah peristiwa tersebut berlalu, tetapi semangat perjuangan dan persatuan para pejuang saat itu seolah olah mulai sirna. Hal itu dibuktikan dengan keadaan perkonomian Indonesia yang tak kunjung membaik, perpecahan dan pertikaian antar sesama.
Di bidang ekonomi, sektor manufaktur Indonesia mengakhiri triwulan III 2019 dengan catatan lemah, dengan kondisi operasional yang memburuk selama tiga bulan berturut-turut pada September. Baik produksi maupun permintaan baru terus menurun. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan mengurangi jumlah staf dan aktivitas pembelian. Halitu pernah disampaikan HIS Markit soal PMI Manufaktur Indonesia.
Perpecahan dan pertikaian antar sesama warga negara Indonesia saat ini masih rentan terjadi. Hal ini bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan pada periode 2011-2018 jumlah desa/kelurahan yang menjadi ajang konflik tercatat sekitar 3.100 desa/kelurahan. Konflik antar sesama warga negara yang masih santer terdengar juga terjadi di papua yang menelan banyak korban jiwa dan juga konflik mahasiswa dengan aparat kepolisian pada saat terjadi demonstrasi beberapa waktu yang lalu. Berbagai peristiwa tersebut menggambarkan hilangnya persatuan antar para pemuda saat ini yang jauh berbeda dibandingkan dengan pemuda pada saat peristiwa 10 November 1945.
Pada saat ini, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang berjiwa pahlawan seperti Bung Tomo dan Gubernur Soerjo diberbagai bidang, baik ekonomi, politik, dan sebagainya. Karena, untuk memajukan Indonesia butuh tokoh yang bisa mengajak dan membangkitkan semangat perjuangan serta persatuan untuk mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan.
Seorang pemimpin juga harus siap berkorban demi kepentingan bangsa dan negara agar semua yang dicita-citakan bisa tercapai. Setiap warga negara bisa menjadi pemimpin yang memiliki jiwa pahlawan asalkan mau bersungguh-sungguh dan rela berkorban demi bangsa Indonesia. Sejatinya, kemajuan suatu bangsa ditentukan warga negaranya sendiri, kalau bukan kita yang memajukan indonesia, lantas siapa lagi? (*)
*Penulis adalah Mahassiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang