Oleh: M. Faisal*
Dua hari berturut-turut di bulan Mei yang awal, hampir menjadi sebuah tradisi untuk diperingati. Ya, Pertama Hari buruh yang jatuh pada 1 Mei dan selang sehari kemudian, tanggal 2 diperingati sebagai hari pendidikan.
Antara Buruh dan Pendidikan memang tak sekadar bersanding, namun menjadi sekeping. Keduanyanya sama-sama menjadi aspek penting dalam hidup manusia. Buruh adalah cerminan cara memenuhi kebutuhan ‘perut’ sedangkan pendidikan untuk kebutuhan ‘otak’.
Bahkan sanking istimewanya buruh dan pendidikan, di negara kita ada undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang tenaga kerja dan undang-undang sistem pendidikan nasional yang sudah ada. Baru-baru ini santer aka nada omnibus law! Masing-masing juga banyak punya pakar. Kalau dinalar, dengan seabrek keistimewaan yang seolah disediakan negara, seharusnya sektor buruh dan pendidikan semakin sejahtera dan maju. Cara berpikir yang demikian memang terkesan klise, biasa sekali. Atau bahkan ada yang kemudian langsung melayangkan sangkaan bahwa pikiran itu berpretensi untuk mengkritik kebijakan negara yang dinilai gagal mensejahterakan kaum buruh dan pendidikan.
Tapi terserah saja. Pikiran manusia memang kadang selalu menyembulkan syahwat ingin menghakimi sesuatu di luar dirinya. Ia (pikiran) memang barangkali didesain untuk tidak bisa dihakimi, selama itu tidak mewujud dalam jejak dan menjadi sebuah Tindakan yang bisa dilihat dan dibuktikan kasat mata. Sebab kalau sampai termaterilkan maka ‘tangan hukum’ bisa menindaknya. Banyak sekali kritik, soal per-buruhan dan pendidikan setiap Bulan Mei tiba. Namun setelah mei isu buruh dan pendidikan mulai meredup. Apalagi saat ini, di tengah wabah Pandemi Covid-19, barangkali kritik-kritik itu bukan menjadi utama, melainkan hanya ‘ndompleng’ alias terpaksa dibung-hubungkan. Tentu saja, sesuatu yang bukan utama akan cepat terlupakan.
Kampanye Social Distancing atau baru-baru ini menjadi physical Distancing jelas akan menghalangi tradisi para yang mengaku ‘pejuang buruh’ untuk konvoi di jalanan seperti tahun-tahun yang lalu. Aktivis mahasiswa tak aksi menyoal kebijakan komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Tak ada lagi yang menjadi sorotan media.
Soal buruh dan pendidikan menjadi semakin tenggelam diulas di masa pencegahan penyebaran virus Corona, terlebih disaat Sebagian besar masyarakat Indonesia menjalankan ibadah puasa namun dilarang melaksanakan ‘tradisi mudik’. Anak-anak sekolah dan mahasiswa bisa saja belajar di rumah dengan memanfaatkan media daring. Tapi bagaimana dengan buruh? Tentu tidak bisa digeneralisasi bisa tidaknya, tapi juga jangan kemudian sesuatu yang kasuistik digeneralisasi, karena akan sangat subjektif. Misalnya ada buruh tekstil yang di rumahkan kemudian ia menjadi ‘juragan masker’, hal itu tidak bisa dijadikan simpulan jika buruhpun bisa bekerja di rumah.
Tentu saja, saat bekerja di pabrik tekstil ia menjadi buruh. Tapi saat membuat dan menjual masker, ia bukan lagi buruh, melainkan pengusaha. Namun hal itu juga jangan lantas menjadi sebuah pemikiran yang terlampau positif: “Berkat Corona Jadi Pengusaha Masker”. Lalu bagaimana jika nanti Corona berakhir? Masihkan akan menjadi pengusaha masker?
Atau bagi buruh yang bekerja di luar kota dihibur dengan “Berkat Corona Hemat Biaya Mudik”. Itu justru membuat kegelisahan, karena tentu ada yang berargumen lebih baik mudik tapi punya uang dan cukup makan, daripada tak mudik tapi tak punya uang dan khawatir kehabisan makanan.
Menjadi pengusaha memang kadang karena terpaksa, karena tak ada pilihan lain. Tapi ada juga yang menjadi pengusaha itu memang karena sudah diniati. Artinya sudah ada ‘mindset pengusaha’. Ia bisa melihat peluang pasar, bukan dalam jangka pendek, melainkan jangka Panjang. Artinya memang tidak bisa juga disimpulkan bahwa pandemic Corona melahirkan pengusaha-pengusaha masker.
Buruh yang dirumahkan, anak-anak sekolah yang belajar di rumah demi memutus mata rantai Covid-19 tentu saja tidak salah, karena itu memang protocol yang ditetapkan di Indonesia, tapi hampir di seluruh negara-negara di dunia. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang merupakan ekspresi kegelisahan adalah sebuah konsekuensi logis sebagai manusia. Manusia memang penuh dengan tanda tanya.
Pertanyaan yang menjadi perdebatan dan tak kunjung usai, bukan hal baru. Misalnya bagaimana ketika di rumah saja ada jaminan para buruh masih bisa menghidupi keluarga, memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya yang belajar online? Lebih baik mati digerogoti Corona karena berjuang untuk keluarga atau mati di rumah saja karena kelaparan dan stress? Bukankah hidup dan mati di tangan Tuhan? Bukankah di rumah saja tanpa penghasilan lalu kelaparan dan bekerja di luar dengan resiko kena Corona sama-sama berpotensi mengancam nyawa?
Memang, kelebihan manusia yang percaya dengan Tuhan adalah memiliki solidaritas yang baik terhadap sesama. Banyak kita lihat dan baca di media komunitas-komunitas masyarakat mengumpulkan donasi untuk membantu masyarakat terdampak Covid 19. Namun, hal itu juga belum sepenuhnya melenyapkan hiruk pikuk kegalauan rakyat kecil, diantaranya para buruh yang dirumahkan dan para pekerja non formal yang jika tak kerja tak dibayar.
Paling mudah memang dijawab ala kaum agamawan; “Tuhan yang menjamin…” . Itu sangat rasional mengingat kita tahu, masyarakat Indonesia penganut agama dan kepercayaan. Harusnya jawaban itu sudah cukup, dan tidak perlu lagi diperdebatan. Perkara faktanya tidak demikian, itu soal lain. Setidaknya itu baru salah satu jawaban yang ampuh, meski barangkali hanya betul-betul diinsyafi saat seseorang tengah ibadah kepada Tuhan saja. Setelah ibadah usai, galau lagi. Mikir jawaban lain lagi, sampai kemudian mempertanyakan kehadiran negara dalam situasi yang serba susah ini.
Ketika semua sistem kehidupan sosial berubah akibat wabah yang mendunia ini, mungkin semua yang tidak siap akan kaget. Disaat Corona merajalela sehingga meniscayakan jaga jarak, maka jangan dianggap aneh dan terlalu disesali jika pemerintahpun jaga jarak dengan rakyatnya! Jangan pula sesalkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak bisa menghasilkan ahli anti virus handal! Maklumi saja biar pikiran tenang, sehingga tidak stress dan membuat imunitas tubuh menurun. Jika imunitas drop, bersiap-siaplah diserang Corona, atau bahkan stroke!
Meski ada sebuah kata mutiara “A people cannot exist if there is no social solidarity”, tapi tetap Salam Jaga Jarak !
*Penulis adalah pegiat Forum Muda Lintas Iman Yogyakarta (Formuliyo).