YOGYAKARTA – Pengembangan obat terus dilakukan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi umat manusia. Kendati begitu, pengembangan obat membutuhkan tahapan proses yang panjang dan tidak mudah. Bahkan perlu waktu hingga bertahun-tahun dan memakan biaya besar.
“Proses penemuan obat cukup kompleks, bisa sampai 8-16 tahun. Tidak hanya lama, tetapi juga butuh biaya besar untuk bisa merilis 1 molekul obat,”terang Guru Besar Sekolah Farmasi ITB, Prof. Apt., Daryono H. Tjahjono, Ph.D., dalam seminar daring New Perspective on Drugs Discovey and Development in Industrial Revolution 4.0 yang diselenggarakan Fakultas Farmasi UGM, Kamis (16/7).
Namun begitu, dia menyebutkan metode komputasi atau pemanfaatan komputer dapat membantu proses efisiensi dalam penemuan obat. Untuk menghasilkan 1 molekul dengan percobaan standar biaya yang dibutuhkan rata-rata sebesar 18 triliun.
“Dengan bantuan komputasi biaya bisa jadi setengahnya. Kemajuan komputasi baik software maupun hardwaree sangat berpengaruh dalam efisiensi penemuan obat ini,”terangnya.
Selain itu dengan metode komputasi juga dapat memangkas waktu dalam menyaring ribuan molekul dan menemukan senyawa potensial yang bisa digunakan sebagai obat baru. Dia mencontohkan metode tersebut telah dipakai dalam membantu menemukan senyawa yang berpotensi untuk mencegah penyakit tidur atau tripanosomiasis yang menjadi penyakit endemik di Afrika. Melalui komputasi berhasil menemukan sekitar 3-5 senyawa yang potensial dari 4.803 senyawa yang diteliti.
“Metode ini saat ini juga digunakan untuk menemukan senyawa potensial untuk membantu mencegah virus corona SARS-Cov-2,”terangnya.
Sementara Pakar herbal sekaligus Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Apt., Suwijiyo Pramono dalam kesempatan tersebut menyampaikan potensi besar tanaman herbal yang dimiliki Indonesia. Kendati begitu, potensi yang ada belum tereksplorasi dengan baik.
“Ada 30 ribu spesies tanaman yang tumbuh dari Sabang sampai Merauke dan 3 ribu diantaranya merupakan komponen jamu kita. Lalu, 300 spesies tanaman telah digunakan industri herbal, masih banyak yang belum terekspolrasi,” paparnya.
Oleh sebab itu dia mengatakan perlunya dilakukan eksplorasi secara tepat dan efektif. Beberapa diantaranya seperti tidak mengekspor bahan mentah, menetapkan strategi untuk eksplorasi secara efisien, seleksi prioritas dari program eksplorasi.
Berikutnya, memberikan kesempatan pada industri untuk memproduksi produk tanaman obat berdasarkan riset dari lembaga pendidikan tinggi dengan fasilitasi pemerintah. Langkah tersebut perlu dilakukan untuk menetapkan riset yang baik dan berorientasi pada produk.
Peneliti dan dosen Fakultas Farmasi UGM, Dr. Apt., Hilda Ismail, Ph.D., memaparkan tentang pengalaman dalam pengembangan parasetamol memanfaatan produk industri petrokimia. Selain itu dia juga menyampaikan tentang strategi kemandirian bahan baku obat dari hulu dan hilir dengan memanfaatkan bahan alam keberadaanya cukup berlimpah di tanah air. (pr/kt1)
Redaktur: Faisal