Oleh: Deni Setiawan*
Pemerintah secara resmi menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 yang diteken Presiden Joko Widodo pada Senin 13 April 2020 silam. Artinya Covid-19 sudah menghantui Indonesia dua tahun lebih hingga saat ini.
Tentu saja masyarakat terpaksa menjalani kebiasaan baru yang tentu saja tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sudah barang tentu kebiasaan seperti memakai masker, sering cuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak, disatu sisi baik. Namun di sisi lain, interaksi antar individu yang terbatasi membuat masyarakat terhambat dalam menjalankan aktivitas perekonomian. Okelah, sekarang era digital. Tapi apakah misalnya untuk membeli makanan misalnya, bisa diantar robot? Atau misalnya apakah semua orang bisa memesan makanan secara online sementara ia terpaksa menganggur karena banyak unit-unit usaha yang ikut mandek seiring kebijakan kebijakan seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Work From Home (WFH) apakah misalnya bagi buruh serabutan bisa dilakasanakan?
Bagai pegawai negeri atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dan aparat negara memang barangkali tak terlalu pusing, karena tak bakal terancam PHK dan tetap digaji bulanan. Bagaimana dengan yang lain? Orang-orang yang selama ini mengandalkan bekerja di sektor informal? Buruh, pekerja pabrik dan sebagainya. Apakah ambruknya ekonomi tidak berimbas pada kesehatan masyarakat? Apakah pertanyaan ini mengada ada?
Tentu apa yang penulis sampaikan bukanlah hal baru. Barangkali hampir setiap hari orang mengeluhkannya. Namun setidaknya tulisan ini akan menggugah pemerintah sebagai pengambil kebijakan agar memberikan keputusan yang tepat dan baik untuk semuanya. Dari berbagai kebijakan dalam mengatasi pandemi, tak ada satupun yang tidak menjadi kontroversi. misalnya saja Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat saat ini. Tak sekadar pro kontra, tapi sudah banyak bumbu isu, tak terkecuali isu politik praktis.
Tak bisa dipungkiri bahwa kesehatan menjadi hal utama. Kalau sakit, maka seseorang tidak bisa bekerja, bahkan menjadi beban keluarga. Tapi bagaimana jika sehat tapi banyak pikiran, stress kehilangan pekerjaan akibat covid, sementara harus di rumah saja agar tidak terpapar corona? Bagaimana jika lama-lama kekurangan nutrisi karena tak punya penghasilan cukup untuk membeli makanan yang baik untuk kesehatan? Atau bahkan kelaparan? Siapa bertanggungjawab? Apakah bantuan bantuan sosial dari pemerintah menyentuh mereka yang belum sempat ngurus kartu miskin tapi tiba tiba miskin? Jika hal itu yang terjadi, apakah logika sehat diutamakan, menjadi sesuatu realistis?
Di sisi lain pandemi ini menjadi sesuatu yang mengabaikan sisi kemanusiaan. Hukum lebih berperan sebagai tindakan represif ansih. Misalnya, gampang sekali orang dipidana karena mengatakan “Tidak percaya dengan Corona”.
Sudah barang tentu masyarakat biasa yang bukan tenaga medis, bukan doktet, apalagi ahli virus ketika mengatakan demikian adalah sesuatu yang wajar. Sebab, ia memang tak memiliki pengetahuan. Di sisi lain, bisa jadi ia mengatakan seperti itu karena stres. Mereka yang sudah depresi akan sangat mudah bicara; “Saya tidak takut corona” atau “Corona tidak ada” atau “Corona hanya konspirasi” atau “Tak usah vaksin, tak usah pakai masker, Corona tak bahaya”. Bayangkan andai semua orang-orang depresi seperti itu dipidanakan? apa kata dunia?
Penulis tidak akan mengutàrakan pendapat soal hukum sebagaimana juga tidak akan berkomentar soal covid-19 dari sisi medis. Sebab penulis tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam dua hal tersebut. Namun, penulis lebih melihat imbas dari Covid-19 dari realitas masyarakat dan kebijakan pemerintah, seperti PPKM darurat yang saat ini diberlakukan.
Sebagai masyarakat tentu saja kita wajib mengikuti kebijakan pemerintah. Namun sebagai masyarakat kita juga punya hak untuk menyampaikan aspirasi kepada para pemangku kebijakan. Sebab, Indonesia adalah negara demokrasi. (*)
*Penulis adalah pekerja sosial dan penggiat sosial media.