Oleh : Abi Priambudi
Sejak kehadiran virus covid-19 di Indonesia membuat banyaknya perubahan sosial di tengah masyarakat. Perubahan mulai dari struktur hingga tatanan hidup masyarakat, hal itu berdampak pada seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan, kesehatan, politik, sosial, bahkan ekonomi yang paling ‘krusial’ dipengaruhi. Selain itu, dinamika organisasi juga mengalami perubahan.
Organisasi mengalami banyak dinamika akibat perubahan realitas sosial, suatu realitas sosial baru yang ‘tidak diharapkan’. Setiap organisasi berlomba untuk saling bersaing melakukan inovasi dan kreasi dalam menyelenggarakan kegiatan di masa pandemi, yang jelas para pengurus dan panitia berusaha semaksimal mungkin menyesuaikan diri dengan kondisi saat ini.
Terlihat kegiatan yang dijalankan saat ini berorientasi pada konsep virtual, dimana mengacu pada ketersediaan dan kesiapan teknologi informasi dalam mengaksesnya. Juga mengakibatkan dinamika kehidupan baru yang bersifat Daring (dalam jaringan). Kehidupan serba ‘online’ seperti rapat, musyawarah, diskusi, lomba, seminar dan sebagainya telah menjadi corak dari adanya pandemi ini.
Polemik pengurus dan organisasi di masa pandemi
Diawal pandemi, semua organisasi seolah memberikan orientasi mereka pada kegiatan Daring, terbukti dengan banyaknya diskusi, seminar, pelatihan via ‘online’. Masyarakat khususnya kalangan pemuda dan mahasiswa begitu antusias menghadapi perubahan baru tersebut. Minat bergabung pada forum grup ‘online’ menjadi lebih tinggi dibanding sebelum adanya pandemi.
Namun, saat ini masyarakat tampak bosan dan jenuh menghadapi kenyataan dunia serba ‘online’. Sebab dengan selalu menatap layar gadget untuk mengikuti kegiatan Daring malah membuat pikiran suntuk. Apabila kita terus terpapar radiasi dari layar gadget yang akan cukup melelahkan.
Adapun menurut sebagian orang, esensi dari kegiatan tersebut yang berupa ilmu atau pengetahuan baru minim ‘terserap’ oleh ingatan. Dikarenakan ada kencenderungan bahwa hal-hal yang di jalankan secara Daring hanya formalitas semata. Sehingga proses penyerapan ilmu tidak berjalan optimal.
Kemungkinan besar penyebab dari kurang efektifnya kegiatan Daring adalah persoalan konsentrasi yang semakin menurun akibat terlalu sering memperhatikan layar gadget. Faktor yang malah membuat orang enggan mengikuti kembali kegiatan ‘online’. Dibutuhkan menajemen waktu yang tepat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut.
Pada akhirnya, efektivitas dalam kegiatan Daring dipertanyakan, tentunya hal yang paling urgent ditilik kembali adalah persoalan tepat atau tidaknya diselenggarakan. Apa yang menjadi kekhawatiran, bahwa pandemi sudah mencapai titik puncak yakni titik jenuh berkegiatan melalui Daring. Sehingga ini menjadi pekerjaan rumah yang harus ditanggung pengurus dan instansi terkait.
Strategi dan dinamika dalam mempertahankan eksistensi
Siap atau tidak siap, organisasi harus mampu beradaptasi dengan kondisi apapun. Selama belum mencapai titik ‘krisis’ setiap hal perlu dipertahankan eksistensinya, termasuk kegiatan dalam organisasi ini. Persoalan organisasi hari ini bukan lagi mengenai persaingan antar organisasi semata, tetapi lebih besar dari itu, yakni mengenai ‘fleksibel’ dan ‘ketahanan’ dari organisasi, yang mampu bertahan adalah organisasi yang memiliki daya adaptasi tinggi.
Pilihannnya ingin melanjutkan ‘nafas’ organisasi dengan harus berkembang melalui adaptasi dan inovasi atau hanya memilih stagnan, menunggu zona nyaman datang kembali. Namun itu semua kembali pada pilihan masing-masing organisasi, tidak bisa kita memukul ratakan. Sebab organisasi harus melihat sisi kepentingan atau keperluan dari keberadaannya tersebut.
Selain itu, meninjau kondisi daripada pengurus, panitia, kader, dan anggota. Sebab, kita harus peduli dan melihat kesiapan perihal akses jaringan, dan kuota internet (dalam penyelenggaraan kegiatan online) dan juga jarak serta waktu (dalam penyelenggaraan kegiatan offline) yang harus dipertimbangkan matang-matang oleh semua lini yang terlibat dalam organisasi.
Perlu disadari bahwa para pengurus, panitia, kader, dan anggota tentunya memiliki kesibukan masing-masing. Ada persoalan atau pekerjaan rumah lainnya yang harus diselesaikan oleh mereka, maka tidak sertamerta bisa terus mengandalkan salah satu individu dalam menggerakan roda organisasi di masa seperti ini. Saling memahami kesibukan antar sesama, dan mau menurunkan egosentrisme dalam komunikasi organisasi menjadi hal penting saat ini.
Dengan demikian, diharapkan persesuaian antara seluruh jajaran pengurus dan anggota organisasi akan tecapai. Dengan memungkinkan organisasi akan berjalan sesuai dengan kesepatakan bersama, yang tentunya meminimalisir gesekan diantara para pengurus.
Oleh sebab itu, penting untuk berkoordinasi diantara seluruh lini yang terlibat dalam organisasi, agar mengetahui kendala dan keinginan masing-masing pihak. Jangan sampai memutuskan pilihan sendiri tanpa bermusyawarah terlebih dahulu. Mengingat kepentingan organisasi merupakan kepentingan bersama bukan perseorangan.
Sehingga dalam membawa ‘setir’ organisasi di masa pandemi ini akan tercipta penyatuan frekuensi dan persepsi, yang membuat para pengurus dapat bergerak sejalan. Harapannya dapat meminimalisir gesekan atau konflik dalam ‘tubuh’ organisasi. Ketika para pengurus sudah saling nyaman, maka akan dengan mudah koordinasi antara satu sama lain.
Lagipula, jelas yang dituju dalam organisasi adalah keharmonisan di dalam internal organisasi dan juga terciptanya sinergitas anggota menuju organisasi yang solid, kompeten, dan konsisten. Memang di masa pandemi seperti sekarang ini banyak terjadi perubahan, tetapi jika para pengurus, panitia dan anggotanya saling bahu-membahu bukan tidak mungkin halangan dapat terselesaikan. (*)
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang