Oleh: Muhammad Faisal*
Tepatnya pada hari Sabtu tanggal 27 Mei 2006 atau Setu Wage 28 Bakda Mulud 1939, pukul 05.55 WIB, masyarakat seantero Yogyakarta dibuat gempar. Gempa bumi berkekuatan 5,9 Skala Ritcher yang berlangsung sekira 57 detik mengguncang. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) waktu itu, posisi gempa berada sekitar 25 km selatan-barat daya Yogyakarta.
Meski sekejap, namun bencana alam itu mampu memporak-porandakan seantero Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Sebagian wilayah Kabupaten Klaten Jawa Tengah juga mengalami dampak yang sama. Bangunan rumah maupun fasilitas umum seperti sekolah, kampus, juga mall ambruk. Kawasan wisata, situs bersejarah seperti Candi Prambanan, Kraton hingga Makam Raja-Raja di Imogiri rusak parah.
Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akibat gempa itu, lebih dari 5.800 orang meninggal dunia dan 20.000 orang mengalami luka-luka karena tertimpa reruntuhan bangunan.
Peristiwa 16 tahun silam tersebut masih membekas dalam ingatan warga Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah yang mengalaminya.
Bencana alam datangnya tak ada yang bisa menduga-duga. Seberapapun canggihnya alat pendeteksi gempa, akurasinya tidaklah 100 persen. Sebab bencana datangnya dari Tuhan. Setiap peristiwa bencana alam akan melahirkan kesadaran bagi manusia akan betapa kekuatan Tuhan maha dahsyat.
Banyak hikmah yang bisa diambil dari terjadinya bencana alam, diantaranya bahwa kita sebagai manusia perlu melakukan instrospeksi diri, merenung atau berkontemplasi atas segala perbuatan kita sebagai individu maupun masyarakat.
Bahwa menurut para pakar kebencanaan, memang Indonesia adalah negeri yang dikelilingi berbagai sumber bencana. Indonesia dikelilingi gunung berapi (ring of Fire), rawan tsunami dan sebagainya. Namun Indonesia adalah bangsa religious yang mempercayai adanya Tuhan sang Maha Pelindung.
27 Mei dikenang oleh warga DIY sebagai hari duka cita, namun mengenang bukan berarti meratapi. Mengenang lebih kepada mengingatkan masyarakat Yogyakarta akan wejangan leluhur, yaitu Eling lan Waspada.
Petuah bijak Eling lan Waspada merupakan falsafah yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa. Falsafah tersebut mengajarkan manusia untuk selalu ingat dan hati-hati dalam menjalani hidup.
Eling lan Waspada dapat diwujudkan dengan beberapa bentuk, di antaranya adalah Eling marang Gusti (selalu dekat kepada Tuhan). Sikap eling seperti mencakup eling sangkan paraning dumadi, eling sing ngenekake, eling sing nyirnaake, eling sing matekke, eling sing nguripke, dan eling sing peparing.
Wujud lain adalah Eling mring sesama (peduli kepada sesama manusia). Di dunia, manusia tidak hidup sendiri. Manusia ada bersama sesamanya. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya manusia peduli dengan sesamanya. Hal itu sejalan dengan falsafah eling mring sesami. Maka dari eling mring sesami bukan sekadar ingat, tetapi lebih mendalam, yakni peduli terhadap sesama manusia. (*)
*Penulis adalah jurnalis jogjakartanews.com