Oleh: Firman Firdhousi*
Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan posisi yang demikian, Indonesia disebut sebagai “the fastest-growing religion in the word” dan menjadi agama mayoritas mutlak serta trend setter bagi perkembangan kehidupan keagamaan negara-negara muslim dan umat Islam lainnya. Hal ini disebabkan nilai-nilai ajaran Islam yang tumbuh di Indonesia dinilai sebuah ajaran yang moderat terhadap ajaran agama lainnya. Sehingga antarpenganut agama yang satu dengan penganut agama yang lain dapat hidup harmonis berdampingan tanpa ada sekat yang membatasi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantakkan WTC dan Pentagon membuat citra Islam banyak diasosiasikan dengan kekerasan, tidak ramah dan mendukung teror. Banyak pihak yang menyudutkan umat Islam sebagai tertuduh, terutama di kalangan Barat. Sehingga muncul sebuah istilah yang sering disebut “Islamophobia” terhadap Islam. Berkaitan dengan situasi dan kondisi perkembangan keagamaan di tingkat internasional ini berdampak negatif terhadap perkembangan Islam di Indonesia yang sejauh ini dikenal negara yang dapat menampilkan citra Islam yang ramah.
Reformasi 1998 selain membawa dampak positif bagi perkembangan demokrasi, kebebasan berekspresi dan kebebasan berserikat bagi masyarakat, ternyata juga masih menyisahkan pekerjaan rumah yang tidak sedikit. Munculnya berbagai kelompok keagamaan beraliran konservatif dan ekstremis pascareformasi bak cendawan di musim hujan, membuat perkembangan keagamaan di Indonesia yang dikenal toleran mundur ke belakang. Selain itu juga, tragedi Bom Bali I dan Bom Bali II yang terjadi pada tahun 2002 dan 2003 yang disusul berbagai teror di tempat lain, menjadikan Indonesia dalam posisi yang dilematis. Bilamana situasi seperti ini terus berkembang, tentu bisa membawa dampak negatif untuk umat Islam dan Indonesia sendiri.
Membaca kecenderungan mainstream pemahaman muslim di Indonesia ada dua, yaitu pemahaman kelompok Islam yang bercorak radikal dan pemahaman kelompok Islam yang bercorak liberal. Setidaknya dua kelompok ini yang mewarnai perkembangan keagamaan Islam di Indonesia dewasa ini. Tampilnya berbagai gerakan yang menggunakan label Islam dengan berbagai karakteristiknya menarik untuk dikaji apakah fenomena ini menjadi pertanda kebangkitan Islam atau Islam hanya dijadikan sebagai komoditas dan kekuatan legitimasi untuk tujuan tertentu. Fenomena munculnya kedua model corak pemahaman keagamaan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam di Indonesia. Bukan hanya karena faham keduanya terbukti membawa dampak buruk bagi umat Islam Indonesia, namun lebih jauh dari itu pemahaman keagamaannya telah menyimpang dari prinsip-prinsip universalisme Islam.
Radikalisme agama dalam banyak hal telah terbukti berdampak pada munculnya sikap ekstremisme, di mana sikap tersebut sangat berpotensi memunculkan tindakan terorisme.
Dalam konteks ini, fakta yang terjadi menunjukkan bahwa akibat ulah segelintir orang Islam yang melakukan aktifitas kekerasan dengan mempergunakan simbol Islam pada kenyataannya menimbulkan kerugian bagi umat Islam pada umumnya. Dampaknya, umat Islam terstigma negatif akibat ulah segelintir orang Islam tersebut. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan segelintir orang pada akhirnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk mendiskreditkan umat Islam. Padahal hakekatnya, agama Islam sama sekali tidak ada kaitannya dengan gerakan radikal apalagi terorisme dan tidak ada satu pun pesan moral Islam yang menunjukkan adanya ajaran radikalisme dan terorisme.
Sedangkan liberalism agama juga tidak kalah seriusnya dapat berakibat buruk pula bagi umat Islam. Kelompok ini menuntut kebebasan tanpa batas dalam pemahaman keagamaannya.
Pola pikir keagamaan kelompok ini berpandangan bahwa tidak ada aturan yang baku dalam memahami nash ajaran Islam. Sehingga kelompok ini berkeyakinan nash dalam ajaran Islam merupakan teks yang terbuka. Setiap orang bebas dalam menafsirkan nash ajaran keislaman tanpa menggunakan pilar-pilar kerangka berfikir yang sesuai dengan epistemologis ajaran Islam. Salah satu contoh distorsi kelompok ini dalam memahami ajaran Islam seperti pemahaman seputar pluralisme agama yang berarti semua agama benar. Tentu pemahaman ini bertentangan dengan ajaran Islam.
Untuk menyikapi dari apa yang terjadi dalam konteks perkembangan keagamaan di Indonesia, sebagai sebuah negara yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam, Indonesia mempunyai tanggung jawab moral untuk memperbaiki dan mengkampanyekan bahwa ajaran Islam yang hidup di Indonesia adalah ajaran Islam yang toleran, cinta damai dan menghargai pluralitas keagamaan, bukan pluralisme. Dengan menempatkan Islam dalam posisinya yang tepat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diharapkan muncul sebuah kesadaran sikap keberagamaan yang inklusif di kalangan umat Islam. Sehingga benturan pemahaman antar umat Islam yang sering berujung konflik di Indonesia dapat dihindari.
Kondisi masyarakat Indonesia yang “berbhineka tunggal ika” membutuhkan arah pemikiran keagamaan yang dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat bahwa memaknai Islam Indonesia adalah berusaha untuk memahami ajaran Islam yang “Rahmatan Lil ‘Alamin”, Islam yang moderat, yang menghargai kebebasan dan toleransi dalam praktik kehidupan keberagamaan.
Kesimpulannya, di tengah memburuknya citra Islam dewasa ini diperlukan sebuah alternatif model pemahaman dan kontektualisasi Islam yang diharapkan mampu menjadi rujukan dan mengayomi semua kalangan.
*Penulis adalah Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) 2013-2015