Lafran Pane, Tokoh Bersahaja yang (Ingin) Terlupakan

LAFRAN PANE, saya yakin tak banyak yang mengenalnya meskipun oleh Yudi Latif dalam bukunya “Intelegensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad-20” nama Lafran Pane disejajarkan dengan A. Tirtosudiro dan Juzdi Ghazali. Nama-nama ini oleh Yudi Latif disebut sebagai intelegensia muslim Indonesia generasi ketiga yang merupakan anak kandung revolusi kemerdekaan. Namun paling tidak nama Lafran Pane hari ini dikenal oleh kurang lebih 400 ribu kader aktif Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan 6 juta alumni HMI sebagai pemrakarsa berdirinya HMI, sebab dia tak mau disebut sebagai pendiri.

Lafran Pane lahir 12 April 1923 di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Meskipun belakangan diketahui kelahirannya sesungguhnya adalah pada 5 Februari 1922, namun karena ini bertepatan dengan kelahiran HMI sehingga untuk menghindari berbagai tafsiran negatif maka diubahlah tanggal kelahirannya. Hal ini diungkapkan oleh putri bungsunya Dra. Tetty Sari Rakhmiati sesaat sebelum pemakaman jenazah Lafran Pane pada tahun 1991 di hadapan Akbar Tandjung, Taufiq Dardiri (mantan dekan fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga), Agussalim Sitompul (sejarahwan HMI), dan banyak kader HMI serta alumni HMI yang hadir pada saat pemakamannya tersebut.

Lafran Pane dikenal sebagai sosok yang keras, tegas namun bersahaja. Ini tercermin dari kisah kehidupannya masa kecil hingga dewasanya yang disinggung dan diulas dalam beberapa buku, meskipun tak ada buku yang fokus menuliskan tentang Lafran Pane karena hal tersebut memang tak diinginkan oleh Lafran Pane dan keluarganya.

Jenjang pendidikan Lafran Pane pun tidak menentu, sebab masa itu adalah situasi perang. Dimulai dari pesantren Muhammadiyah Sipirok, dimana ayahnya Sutan Pangarubaan Pane merupakan salah satu pendirinya, lalu di HIS Muhammadiyah Sibolga, dan selanjutnya pindah ke Taman Antara Taman Dewasa di Medan. Sampai akhirnya dia dikeluarkan dari Taman Siswa dan berpetualang di jalanan kota Medan, tidur di emperan toko sambil menjual karcis bioskop, main kartu, dan berjualan es lilin untuk menyambung hidupnya. Sampai di tahun 1973 Lafran Pane atas pemintaan kakaknya Armijn Pane dan Sanusi Pane pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dan melanjutkan sekolah di HIS Muhammadiyah, dilanjutkan ke MULO Muhammadiyah, kemudian ke Taman Dewasa Raya Jakarta sampai akhirnya pecah perang dunia II.

Dalam proses kehidupan dari kecil hingga dewasa itulah Lafran Pane memperoleh proses pendewasaan dirinya. Dibekali keimanan yang diperolehnya dari keluarga dan masa kecilnya di pesantren, ditambah pemahaman kedekatannya dengan kondisi riil masyarakat Indonesia pada saat itu yang diperoleh dari pengembaraannya di jalanan, terbangunlah jiwa keislaman dan kebangsaan Lafran Pane.

Pada tahun 1946, pecahlah agresi militer yang menyebabkan ibukota Republik Indonesia dipindah ke Jogjakarta, dimana Sekolah Tinggi Islam (STI) juga turut pindah ke Jogjakarta. Para mahasiswa pun berdatangan ke Jogjakarta untuk melanjutkan kuliah, termasuk Lafran Pane. Dimana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya Lafran Pane juga bekerja sebagai pegawai negeri Departemen Sosial. Di STI (sekarang UII) inilah wawasan Lafran Pane berkembang, sampai akhirnya diprakarsainya pembentukan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947 dengan proses yang cukup panjang dan penuh pertentangan.

Kebersahajaan Lafran Pane dapat terlihat dari kerelaannya menyerahkan jabatan ketua umum Pengurus Besar HMI yang baru dijabatnya selama 6 bulan tepatnya pada 22 Agustus 1947 kepada M.S. Mintaredja yang merupakan mahasiswa BPT Gajah Mada (sekarang UGM) dengan pemikirannya bahwa bila tetap dia sebagai ketuanya maka HMI akan hidup hanya di universitasnya yaitu STI. Pemikiran ini terbukti dari kongres I HMI pada 30 November 1947 anggota HMI yang awalnya hanya 15 orang mahasiswa STI, meningkat pesat menjadi kurang lebih 150 orang dari berbagai kampus dan universitas di sekitaran Jogjakarta.

Tak hanya sampai disitu, kebulatan tekad Lafran Pane untuk menggapai apa yang dicita-citakannya juga patut dijadikan teladan. HMI yang bagi Lafran Pane merupakan alat perjuangan bangsa Indonesia dan umat Islam yang pada waktu itu masih merupakan organisasi baru membutuhkan pembinaan ekstra dan Lafran Pane merasa paling bertanggungjawab atas hal tersebut. Karenanya dengan SK. Kementrian Sosial RI No. D/135/P tanggal 30 April 1947, atas permintaannya Lafran Pane diberhentikan dengan hormat. Sebab pekerjaannya sebagai pegawai negeri yang diharuskan berdinas setiap hari akan menyita waktunya dalam mengembangkan HMI. Saat itu Lafran Pane sudah menjabat sebagai pegawai menengah tingkat II.

Tak hanya di masa muda, di masa tuanya pun Lafran Pane tetap bersahaja dan rendah hati. Digambarkan Sulastomo dalam tulisannya berjudul “Mengenang Mas Lafran, Mahmud Yunus dan Soleh Widodo” (Koran Pelita Jakarta, 4 Februari 1991), bahwa suatu sore ia berbincang dengan Akbar Tandjung (Menpora waktu itu) mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI dimana Lafran Pane salah satu anggotanya. Dimana diceritakan setelah bertugas sebagai DPA, Lafran Pane tetap menunjukan keluguannya. Pada suatu syukuran di kediaman Menpora (waktu itu) Akbar Tandjung, Lafran Pane menceritakan honorarium sebagai DPA yang diterimanya waktu itu terlalu tinggi dan dia berkata, “buat apa uang sebesar itu?”. Mendengar ungkapan itu, ibu-ibu KAHMI (Korps Alumni HMI) berbisik, kasihkan “gue” biar habis di Pasar Baru, ujar salah satunya.

Masih banyak cerita tentang betapa bersahajanya Lafran Pane. Mulai dari selalu bersepeda dalam menjalankan tugas sehari-harinya, baik saat menjadi dosen IKIP Jogjakarta, ataupun setelah diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara IKIP Yogyakarta pada 1964. Atau juga sosok Lafran Pane dalam menjalankan tugas sebagai DPA RI, apabila menghadiri sidang-sidang di Jakarta lebih memilih menginap di penginapan-penginapan yang sederhana ketimbang di hotel berbintang. Ataupun kisah lucu namun mengharukan saat Kongres ke-8 HMI di Solo pada 1966, dimana Lafran Pane ditahan dan dilarang masuk karena tak membawa identitas dan undangan, serta petugas keamanan yang juga kader HMI tak mengenal Lafran Pane. Sampai serombongan Pengurus Besar HMI datang dan mengatakan pada keamanan bahwa itu Lafran Pane (pemrakarsa HMI). Kejadian serupa juga dialami Lafran Pane pada Konferensi HMI Cabang Yogyakarta ke-27 tahun 1974 dimana tak ada seorang pun yang mengenal Lafran Pane, dan dia justru dicurigai sebagai mata-mata militer. Sampai salah seorang tamu undangan mengenalnya dan akhirnya seluruh peserta konferensi meminta maaf. Lafran Pane tidak marah apalagi tersinggung atas perlakuan tersebut, sebagaimana umumnya budaya senioritas pada sebuah organisasi. Dia justru berkomentar bahwa dia bangga diantara ratusan ribu kader HMI banyak yang tidak mengenalnya, karena dengan demikian berarti banyak generasi baru di HMI yang terus bertambah dan akan menentukan estafet perjuangan HMI dari waktu ke waktu, sehingga wajar bila banyak yang tidak mengenal saya.

Demikian rendah hatinya sosok Lafran Pane, dimana hari ini sangat sulit ditemui orang-orang yang demikian. Orang yang merelakan jabatannya demi sebuah kemajuan. Orang yang tak gila akan harta dan kekuasaan. Orang yang tak ingin menonjol dan tak haus pengakuan. Orang yang bahagia melihat apa yang dirintis dan dibangunnya menjadi besar sementara sosok dirinya semakin tenggelam. Demikianlah sejatinya seorang pemimpin. Dan hari ini kita hanya bisa membayangkan seandainya pemimpin-pemimpin bangsa ini memiliki jiwa yang demikian.[*]

Penulis: Agam Imam Pratama

Penulis adalah kader Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Purwokerto, Mahasiswa Fisipol UNSOED

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com