Oleh: : Harizul Akbar Nazwar*
SESUNGGUNYA sudah sejak dahulu kala hingga kehidupan modern saat ini, tindak kriminal selalu menjadi topik hangat dan merupakan masalah sosial yang pelik. Tindak kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, bahkan pembunuhan adalah fakta-fakta kejahatan kriminal yang terjadi dalam kehidupan saat ini. Ancaman dari tindakan kriminal ini tentu dapat membuat masyarakat merasa takut (insecure) dan juga membatasi ruang gerak masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Tindakan kriminal dan rasa takut terhadap tindakan kriminal merupakan faktor negatif yang mempengaruhi kehidupan dan pembangunan sosial di banyak kota diseluruh dunia.
Rasa aman adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Tentu kebutuhan akan rasa aman adalah hal yang fundamental dan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi bagi seluruh golongan masyarakat baik umur, agama, atau pekerjaan. Saat ini hampir 70% penduduk didunia tinggal di wilayah perkotaan, dan tindakan kriminal adalah masalah yang cukup kompleks yang harus dihadapai masyarakat perkotaan.
Setiap manusia pasti mendambakan kehidupan yang damai dan aman dilingkungan tempat mereka tinggal, khususnya diperkotaan. Lingkungan yang bebas dari kejahatan dan tindak kriminal tentu dapat membuat masyarakat memiliki kualitas hidup yang baik karena masyarakat akan merasa aman dan nyaman dalam melakukan berbagai macam aktifitas untuk menunjang kehidupannya. Kejahatan dan tindak kriminal adalah masalah yang mempengaruhi aktifitas sosial dan ekonomi masyarakat dibanyak negara. Bahkan menurut World Bank, negara Amerika Latin dan Caribbean masih dibelenggu oleh permasalahan kejahatan dan kriminalitas yang ternyata banyak terjadi di banyak kota-kota miskin (The World Bank, 2008).
Sesungguhnya kejahatan adalah suatu hal yang normal di dalam masyarakat. Artinya, masyarakat tidak akan mungkin dapat terlepas dari tindak kejahatan karena kejahatan itu sendiri terus berkembang sesuai dengan kedinamisan masyarakat (Wolfgang, Savizt dan Johson, 1970). Hal ini dapat dibahami bahwa kecenderungan manusia untuk terus mencari sesuatu yang baru untuk mencegah masalahyang terjadi sebelumnya, atau untuk mencegah suatu masalah sebelum itu terjadi. Dalam menghadapi kejahatan, manusia meningkatkan suatu sistem pengamanan, seharusnya. Namun demikian, pelaku kejahatan juga akan terus belajar dan mengembangkan teknik dan modus agar dapat melumpuhkan sistem pengamanan yang ada.
Barangkali sudah tentu merupakan tugas bagi negara-pemerintah (institusi keamanan) dan juga masyarakat itu sendiri untuk memerangi kejahatan demi mendapatkan tempat yang lebih baik untuk berkehidupan. Terlintas pemikiran bagi penulis, bahwa sesungguhnya terdapat alternatif perancangan kota untuk dapat mencegah tindak kriminal yang biasa dikenal dengan istilah CPTED (Crime Prevention Through Enviromental Design) yang diusung oleh kriminolog C. Ray Jeffery pada tahun 1971. Tidak lama kemudian, prinsip-prinsip Jeffery diadopsi oleh seorang arsitek bernama Oscar Newman pada tahun 1972 dengan bukunya “Defensible Space – Crime Prevention Through Urban Design” yang lebih mengarah pada desain lingkungan untuk mencegah kriminalitas. Walau tidak berbicara pada domain arsitektur dan perencanaan secara utuh pada tulisan ini, namun barangkali kita sama-sama perlu untuk mengetahui apa saja prinsip CPTED agar dapat dipertimbangkan sebagai bentuk perencanaan dan pembangunan lingkungan kedepan.
Secara umum prinsip-prinsip CPTED terbagi menjadi empat, yaitu:
Pertama, pengawasan alamiah (natural surveillance). Sebuah konsep desain yang ditujukan agar setiap orang yang tidak dikenal dapat diamati dengan mudah dari banyak sudut pandang. Konsep ini umumnya dapat diaplikasikan pada kawasan parkir dan pintu masuk rumah atau kawasan. Posisi pintu dan jendela yang terhubung langsung secar visual dengan jalan dan kawasan parkir kendaraan, pedestrian yang terbuka, garasi kendaraan yang mudah dilihat serta pencahayaan yang cukup terang dimalam hari.
Kedua, penegasan kawasan (territorial reinforcement). Sebuah desain secara fisik dapat menciptakan lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap penggunanya. Pengguna kemudian dilatih untuk mengembangkan kepekaan terhadap zona-zona yang berada di kawasannya. Aplikasi dari konsep ini dapat berupa ‘garis properti’ atau pagar yang membatasi antara kawasan privat dan kawasan publik. Secara detail aplikasi ini dapat berbentuk tanaman, desain paving block, dan gapura atau pintu masuk.
Ketiga, kendali akses secara alamiah (Natural Access Control). Konsep ini ditujukan untuk mereduksi kemungkinan kejahatan dengan cara menghambat akses kepada obyek kejahatan tersebut dan menciptakan persepsi kepada calon pelanggar/penjahat akan resiko yang harus dihadapi apabila ia melaksanakan kejahatan tersebut. Konsep ini dapat tercipta melalui desain jalan raya, pedestrian, pintu masuk utama dan pintu samping bangunan yang secara jelas dapat mengindikasikan perbedaan kawasan publik dan privat serta jalur-jalur yang dapat/boleh dilewati oleh umum, dan mampu mengurangi rasa bebas pengguna ketika memasuki kawasan privat. Secara detail konsep ini dapat diaplikasikan melalui elemen-elemen struktural kawasan seperti signage, pagar, dan tumbuhan.
Keempat, manajemen dan perawatan (Management and Maintenance). Memastikan perawatan yang tepat dari lansekap, pencahayaan dan fitur lainnya tentu sangat penting untuk memastikan bahwa unsur-unsur CPTED berjalan sesuai fungsinya. Dengan kata lain, kegagalan atau keberhasilan untuk menjaga properti perkotaan menjadi faktor penting dari berhasil atau tidaknya efektifitas CPTED. Misalnya pagar yang rusak, pagar yang ditumbuhi tanaman liar, grafiti tua dan tidak bermakna, sampah yang berserokan, jendela yang pecah, pintu yang tidak terkunci, dan bahkan CCTV yang rusak adalah beberapa item penting yang berhubungan dengan efektifitas CPTED. Semakin terawat prasarana keamanan perkotaan (elements of CPTED), maka semakin efektif CPTED dapat berjalan. Selain hal diatas, manajemen kota yang baik juga sangat penting bagi keberhasilan penerapan CPTED karena tanpa adanya manajemen dan aturan yang jelas tidak mungkin penerapan CPTED dapat efektif.
Terri Kelly (2004), Direktur National Crime Prevention Council (NCPC) Amerika Serikat, memberikan gambaran bagaimana sebuah lingkungan yang mengadopsi prinsip CPTED dapat meningkatkan kualitas hidup yang baik. CPTED sesungguhnya menawarkan solusi desain yang cukup murah dan tidak memerlukan teknologi yang rumit dan mahal dan telah diadaptasi diberbagai belahan dunia sebagai strategi yang cukup efektif untuk menanggulangi masalah kejahatan lingkungan.
Kenapa desain lingkungan menjadi penting dalam mencegah kriminalitas mungkin adalah pertanyaan yang muncul dari benak para pembaca. Sesungguhnya CPTED adalah sebuah ide yang menekankan desain fisik lingkungan agar menjadi alat kontrol kejahatan (Public Surveillance) untuk mencegah aksi kriminal. Menurut Ray Jeffery (1971) ditegaskan bahwa terdapat dua faktor penting yang memengaruhi tindakan kriminalitas, yaitu external physical environment (keadaan lingkungan) and the internal physical organism (keadaan internal organisasi/komunitas kriminal-gank motor, dsb.) yang saling memengaruhi satu sama lain. Pokoknya adalah, tindak kriminal datang tidak hanya dari niatan/motiv (crime willingness) tapi juga terhadap kesempatan (crime opportunity) yang biasanya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Akhir-akhir ini Yogyakarta sedang dilanda krisis keamanan (security crisis) dengan merebaknya wabah kriminalitas. Beberapa kasus telah menelan banyak korban, mulai dari mahasiswa hingga masyarakat umum. Jika diperhatikan, beberapa spot kriminal yang telah terbukti berlokasi disekitar kampus UGM dan juga kota Yogyakarta. Kita semua tahu bahwa Yogyakarta terkenal dengan label-nya yaitu “Jogja Berhati Nyaman”. Namun barangkali kondisi insecure yang ada sekarang sudah tidak relevan dengan label diatas.
Kembali lagi dengan keadaan lingkungan Yogyakarta, khususnya pada spot kriminalitas yang terbukti secara empirik, memperlihatkan kepada kita semua betapa rentannya lingkungan Yogyakarta dan sekitar UGM terhadap tindakan kriminalitas. Berdasarkan beberapa teori CPTED diatas, dapat kita lihat dengan kasat mata bahwa terdapat beberapa kelemahan lingkungan terkait keamanan di sekitar UGM yaitu : kurangnya penerangan pada jalan kolektor dan jalan lingkungan, tidak adanya CCTV, tidak adanya pagar pedestrian dan juga rendahnya patroli keamanan oleh pihak yang berwenang (Kepolisian dan SKKK UGM). Namun tidak hanya ditempat sepi dan gelap, tercatat juga oleh penulis bahwa beberapa tindak kriminalitas terjadi di jalan-jalan utama yang cukup ramai dan padat. Lalu kira-kira kenapa ini bisa terjadi dan apa motifnya?
Secara eksplisit, diperkirakan motif yang digunakan adalah pencurian benda materiil seperti barang elektronik (handphone, tablet, laptop), sepeda motor, dan harta benda lainnya. Namun sesungguhnya motif implisit yang patut dicurigai adalah merebaknya rivalitas sosial antara pemuda Yogyakarta dengan mengatasnamakan komunitas antar pemuda (gank motor, dsb.). Kecenderungan untuk memperkuat eksistensi adalah beberapa alasan yang sekiranya dapat diasumsikan dengan tindakan kriminal, semakin banyak berbuat tindakan kriminal dan anarki maka sebuah komunitas (gank) akan semakin eksis dan ditakuti, paling tidak hipotesis ini menurut penulis berangkat dari kecenderungan tindakan (aktifitas sosial) dari para pelaku.
Agar sekiranya tulisan ini solutif dan bermanfaat, maka ada baiknya penulis memberikan beberapa saran bagi pemerintah, intitusi keamanan, dan masyarakat sekitarnya agar tindakan kriminal dapat dicegah bersama-sama. Yang pertama adalah, pemerintah harus sunggu-sungguh mempertimbangkan tidak hanya kenyamanan namun juga aspek keamanan pada tiap langkah perencanaan dan pembangunan di perkotaan dengan melengkapi prasarana infrastruktur jalan antara lain seperti penerangan jalan, CCTV, pagar pedestrian, telepon darurat dan lainnya. Kedua, mendorong pihak kepolisian untuk sungguh-sungguh melakukan tugas pokok dan fungsinya sebagai aparat keamanan agar dapat mempercepat pengembalian situasi keamanan Yogyakarta menjadi aman dengan melakukan patroli serta menjaga kawasan-kawasan yang dirasa rawan kriminalitas. Ketiga, sebagai mahasiswa dan masyarakat sipil harus siap membantu pihak kepolisian dan keamanan yang terkait dengan cara melaporkan hal-hal yang mengindikasikan adanya tindakan kriminal di lingkungan sekitar dan tidak memberikan provokasi yang dekonstruktif kepada masyarakat lainnya agar situasi kondusif tetap terjaga. Selain itu juga masyarakat harus lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitasnya seperti membawa peralatan keamanan standar, aware terhadap barang bawaan, menghindari berkendara terlalu larut di jalan-jalan yang sepi dan sebisa mungkin tidak berkendaraan sendirian (khususnya pengendara sepeda motor) pada jam larut. (*)
*Penulis adalah Menteri Koordinator Internal BEM KM UGM 2014, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Teknik UGM 2014, Peneliti Pusat Studi Perencanaan dan Pembangunan Regional UGM (2013-sekarang), dan Sekretaris Jenderal Himpunan Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UGM 2013