Oleh: Ari Pradana
PERSOALAN Korupsi di negeri ini sudah jamak menadi pembicaraan masyarakat. Obrolan korupsi di warung-warung kopi menjadi lebih menarik jika melibatkan kalangan elit politik, khususon Partai Politik (Parpol) berbasis massa ummat Islam, mengingat sebagian besar warga Indonesia beragama Islam.
Dalam Islam, korupsi bisa dikatakan sebagai al – ghulul (perbuatan penyalahgunaan kewenangan) atau riswah (gratifikasi atau suap). Keduanya sama – sama merupakan perbuatan yang terlarang, akan tetapi masuk kategori jarimah ta’jir, yaitu kejahatan yang sifat tercelanya sudah ada dalam Al Quran dan Hadist, tapi hukumannya belum ditentukan.
Karena hukumannya belum ditentukan, maka diserahkan kepada ulil amri atau pemimnpin yang diberi amanah untuk menentukan kebijakan. Dalam konteks kasus korupsi di lingkungan Parpol, ulil amri bisa juga para pimpinan Parpol, baik di Dewan Pimpinan Cabang (DPC), Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), Hingga Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
Intinya didalam Islam sebuah kejahatan korupsi yang belum ditentukan hukumannya boleh ditetapkan oleh ulil amri termasuk hukuman mati dengan syarat, harus memenuhi aspek keadilan, aspek efek jera, dan aspek pertaubatan.
Lalu bagaimana jika pemimpinnya juga bermental korup? Tentu korupsi tak akan hilang bahkan selalu diberi ‘angin segar’. Banyak dibeitakan media massa, dari level elit Parpol pusat hingga daerah, kasus korupsi yang melibatkan kadernya tak diselesaikan secara cepat. Misalnya saat ini banyak anggota dewan terpilih hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 yang tersangkut korupsi tak segera diberhentikan dari keanggotaan partai. Di level Senayan (pusat) ada 5 Anggota DPR dan 2 anggota DPD terpilih yang direkomendasikan KPK agar tidak dilantik, namun beberapa diantaranya masih belum diputuskan Pengganti Antar Waktu (PAW) oleh Parpolnya hingga saat ini.
Dalih para elit Parpol tidak memberhentikan kader yang terjerat kasus korupsi tersebut, biasanya karena alasan kemanusiaan; “Sudah tersangka, dipecat, kasihan keluarganya”. Ini adalah alasan yang sangat tidak manusiawi sekaligus kegagalan Parpol melakukan pendidikan politik terhadap kader-kadernya dan masyarakat. Kalau tersangkut masalah hukum ya konsekuensi logisnya dipecat, itu jika memang ingin menunjukkan partainya berintegritas.
Atau dalih konstitusi partai atau Aturan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai yang menerapkan pasal karet dengan alasan praduga tak bersalah, dan ini hampir semua AD/ART Parpol peserta Pemilu 2014 kemarin mencantumkannya. Ada penekanan jika diancam hukuman di atas 5 tahun harus diberhentikan tapi dengan ketentuan sudah berketetapan hukum.
Ini pemahaman praduga tak bersalah yang dipolitisir sehingga salah kaprah di mata hukum yang berkeadilan. Istilah “diancam” hukuman dalam penyidikan apparat penegak hukum biasa disebut “dijerat”. Dan untuk menjerat seseorang, penegak hukum harus mengedepankan praduga tak bersalah, serta harus memenuhi dua alat bukti dan saksi.
Lagipula, jika dalam pengadilan kemudian tersangka yang kemudian menjadi terdakwa dinyatakan tidak bersalah, hakim tentunya akan menyertakan putusan untuk mengembalikan nama baik terdakwa. Jika keputusan pengadilan demikian, tentu Parpol juga bertanggung jawab mengembalikan nama baik dan hak-hak kader seperti sedia kala, seperti keanggotaan dan jabatan yang diembannya sebelum dilakukan pemberhentian. Namun, dalam sejarah pengadilan di Indonesia, jarang sekali terdakwa kasus korupsi dari kalangan politisi divonis tidak bersalah.
Parpol harus sadar posisi dimana seharusnya tidak bertindak sebagai penentu hukuman dalam perkara Korupsi yang menjerat kadernya. Seharusnya Parpol sebagai lembaga politik lebih mengedepankan dan menunjukkan komitmen untuk mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan mendukung terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and good government).
Dengan tidak segera memberhentikan dan bahkan memberikan bantuan hukum terhadap kadernya yang tersangkut kasus korupsi, maka Parpol justru dipertanyakan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
Kasus korupsi yang terjadi di lingkaran elit politik selama ini polanya hampir serupa, dimana tersangka akan menyeret tersangka lain yang terlibat, seperti yang banyak diungap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Latar belakang seseorang melakukan korupsi bisa dari diri sendiri karena serakah tidak puas dengan harta yang dimiliki, atau adanya dorongan dari partai politik untuk mencukupi kas partai nya, semua nya bisa terjadi tapi korupsi termasuk dalam kategori kejahatan kerah putih ciri nya motif pelaku dalam melakukan korupsi dilatar belakangi tujuan untuk memperoleh keuntungan berupa finansial, orang yg melakukannya cenderung orang berpendidikan dan memiliki kekuasaan tertentu, cara nya pun tidak menggunakan cara tradisional akan tetapi menggunakan modus – modus yang ‘canggih’.
Berdasarkan hal tersebut, tentu masyarakat atau konstituen tidak bisa dipersalahkan jika menduga pimpinan Parpol yang tidak segera memecat dan menindak tegas kadernya yang terjerat kasus korupsi juga terlibat atau paling tidak menikmati aliran dana korupsi. Jadi, jika Parpol ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat dan menunjukkan sebagai partai yang berintegritas dan berkomitmen memberantas korupsi, maka wajib hukumnya memberhentikan atau memecat kader-kadernya yang tersangkut kasus korupsi. []
*Penulis adalah Wirausahawan, pegiat lintas diskusi politik, sosial, dan budaya, Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tinggal di Yogyakarta.